Minggu, 26 Juli 2015

Kontribusi Indonesia bagi ASEAN



Berbicara mengenai kontribusi Indonesia bagi ASEAN, dapat dipahami bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memprakarsai terbentuknya organisasi internasional tersebut. Diwakili oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia saat itu, Adam Malik, bersama dengan keempat menteri luar negeri dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, mendeklarasikan terciptanya ASEAN yang tertuang dalam Dekalrasi ASEAN. Penandatanganan deklarasi tersebut menjadi hari lahir dari ASEAN pada 8 Agustus 1967 di gedung utama Departemen Luar Negeri Thailand di Bangkok. Sebagai salah satu pencetus ASEAN, Indonesia tentunya memiliki banyak kontribusi terhadapnya. Pada saat itu, Adam Malik dalam pidatonya mengatakan bahwa Indonesia memiliki pandangan terhadap ASEAN yaitu “a region which can stand on its own feet, strong enough to defend itself against any negative influence from outside region.”. Dari pendangan tersebut dapat dilihat bahwa Indonesia memiliki keinginan agar Asia Tenggara ini dapat hidup secara mandiri tanpa ketergantungan dari negara lain, dan dapat bertahan dari segala pengaruh dari pihak asing. Sebagai wakil Indonesia, ia berharap dengan adanya ASEAN, negara – negara Asia Tenggara akan dapat bekerja sama secara efektif, mengingat wilayah Asia Tenggara ini memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Meskipun negara – negara Asia Tenggara ini memiliki banyak perbedaan, namun perbedaan tersebut dapat diatasi dengan pemahaman dan niat baik dari antar negara.
Erlina Widyaningsih dan Chrisopher Roberts menyebutkan bahwa Indonesia sudah sejak lama dipahami sebagai natural born leader, atau setidaknya menjadi negara pertama yang berpengaruh dalam ASEAN. Dengan berakhirnya konfrontasi dengan Malaysia dan adanya keinginan untuk membentuk ASEAN, Indonesia seolah mendapat tempat yang krusial dari negara – negara Asia Tenggara pada waktu itu, sesuai dengan kebijakan Presiden Soeharto yang ingin menciptakan kerja sama yang baik antar negara dalam kawasan Asia Tenggara. Dewi Fortuna Anwar mengatakan bahwa dengan adanya keinginan Indonesia untuk membentuk ASEAN, hal tersebut menandai adanya keinginan untuk menahan diri dan membatasi hegemoni Indonesia di kawasan Asia Tenggara sehingga Indonesia malah menerima respek dan pengakuan dari negara – negara Asia Tenggara.
Lebih lanjut, Widyaningsih dan Roberts  secara umum membagi peran Indonesia dalam sektor politik dan  keamanan dalam tiga bagian. Bagian yang pertama adalah peran Indonesia sebagai pihak yang menangani krisis dan sebagai mediator dari konflik. Indonesia memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk mengambil peran dalam setiap konflik dan krisis yang dapat mengancam stabilitas kawasan. Sebagai contoh, saat konflik antara Malaysia dan Filipina pecah pada tahun 1968 yang dikarenakan Malaysia menganggap Filipina mendanai gerakan separatisme di Sabah, Presiden Soeharto kemudian mengajukan proposal dalam ASEAN Ministerial Meeting akan adanya periode cooling-off  diantara kedua negara yanbg berselisih. Sejak menjadi negara baru yang demokrasi, Indonesia meningkatkan intensitasnya untuk iikut mengatasi krisis di sektor kemanusiaan. Sebagai contoh, disaat Myanmar junta memblokir bantuan asing yang diberikan untuk korban Badai Nargis pada 2008, Menteri Luar Negeri Indonesia berhasil menegosiasikan hal tersebut dengan Menteri Luar Negeri Myanmar yang mengatakan bahwa bantuan tersebut sudah menjadi tanggung jawab dari ASEAN untuk membantu sesama. Contoh lain dapat diambil ketika Indonesia menjadi mediator dari konflik antara Thaiiland dan Kamboja mengenai sengketa kuil Preah Vihear pada 2011. Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu, mengunjungi dan berdiplomasi dengan kedua negara. Indonesia kemudian mengadakan ASEAN Informal Foreign Ministerial Meeting di Jakarta pada 22 Februari 2011 demi menyelesaikan kasus tersebut yang menghasilkan bahwa kedua negara setuju militer dan observer dari Indonesia masuk untuk mengamati perkembangan kasus tersbut di perbatasan kedua negara.
Peran yang kedua dari Indonesia adalah pembentukan dan pengembangan norma dan institusi ASEAN. Dapat dibuktikan dengan pembentukan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan Perjanjian Bali I oleh Indonesia. Menurut dokumen perjanjian tersebut, ASEAN harus berkomitmen untuk terciptanya tatanan regional dimana anggotanya membagi harapan akan terciptanya perdamaian dan tidak menggunakan kekerasan sebagai pemecahan masalah dengan tujuan terciptanya ASEAN Security Community. Pada Perjanjian Bali II pada 2003 terlahir sebuah tujuan untuk membentuk sebuah masyarakat ekonomi dan masyarakat sosio-kultural dari negara – negara ASEAN. Lalu dengan lahirnya ASEAN Charter pada 2007 membawa dampak signifikan yang membuat ASEAN memiliki status hukum yang mengikat dari anggota ASEAN. Pada 2009, Indonesia mengusulkan dibentuknya sebuah badan hukum yang menangani masalah hak asasi manusia yang disebut dengan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) yang kemudian akan dibentuk diantara 2012 – 2015 yang juga menjadi salah satu tujuan dari ASEAN Charter.
Peran ketiga yang disebutkan oleh Widyaningsih dan Roberts adalah implikasi dari ASEAN terhadap perkembangan kekuatan Indonesia. Terdapat usulan mengenai pelebaran wilayah dari ASEAN hingga mencakup wilayah Indo-Pasifik. Dengan adanya usulan untuk perjanjian Indo-Pasifik tersebut dimaksudkan untuk menjaga sentralitas ASEAN dengan memperluas dan mengkonsolidasikan norma Asosiasi mengenai penyelesaian sengketa secara damai dan tidak menggunakan  kekuatan di wilayah Indo-Pasifik yang lebih luas. Hal tersebut selaras dengan pandangan Natalegawa bahwa dengan memperluas regional architecture akan melibatkan hubungan yang komprehensif dari negara dengan kekuatan kuat dan menengah untuk aktif dalam sektor keamanan, politik, lngkungan, ekonomi, dan sosial-budaya. Selain itu, kepemimpinan Indonesia juga menjadi vital dalam pembentukan Konferensi Asia Timur dan ASEAN yang juga termasuk Australia, New Zealand, Amerika Serikat dan Rusia. Munculnya pengaruh di Indonesia di luar batas wilayah Asia Tenggara telah menyebabkan beberapa analis untuk menggambarkan itu sebagai negara poros yang memiliki satu 'ketahanan' dan 'fleksibilitas' untuk memposisikan dirinya untuk beradaptasi dengan pergeseran kebutuhan strategis, yaitu, 'fleksibilitas untuk poros antara mitra potensial’. Peran Indonesia sebagai “arsitek” yang menggagaskan ide – ide membuat ASEAN menjadi sebuah organisasi yang dinamis sehingga dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dalam permasalahan, baik intra-regional maupun extra-regional.

Rezim-Rezim Internasional: Rezim ASEAN Region Forum



Dunia internasional membutuhkan sebuah atau sekumpulan rezim guna mengatur dan menata tatanan dunia menjadi lebih teratur dan damai. Rezim yang dibuat dapat bertemakan berbagai aspek, seperti ekonomi, keamanan, politik, kelingkungan, dan rezim lainnya. Penulis akan membahas seputar rezim dalam ranah keamanan tingkat regional. Salah satu rezim yang terfokus pada keamanan regional ialah ASEAN Regional Forum (ARF). ARF merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan (Kemlu.go.id, tt). ARF merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lain seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Jepang, Rusia dan Uni Eropa (UE). ARF menyepakati bawa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional. Peserta ARF berjumlah 27 negara yang terdiri atas seluruh negara anggota ASEAN (Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina), 10 negara Mitra Wicara ASEAN (Amerika Serikat, Kanada, China, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Uni Eropa) serta beberapa negara di kawasan yaitu: Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara, Pakistan, Timor-Leste, Bangladesh dan Sri Lanka (Kemlu.go.id, tt).
ARF memiliki beberapa tujuan sebagai suatu wahana utama dalam mewujudkan tujuan ASEAN dalam menciptakan dan menjaga stabilitas serta keharmonisan kawasan, seperti mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama, serta memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujdkan confidence building dan preventive diplomacy di kawasan Asia Pasifik (Kemlu.go,id, tt). Meskipun termasuk dalam ARF, ia telah menjadi kontributor yang berharga bagi pemeliharaan harmoni dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. Kinerja ARF dilengkapi oleh aktivitas Track 2 yang dilakukan oleh entitas non-pemerintah dalam lingkup ARF. Track 2 dalam konteks ini ialah salah satu track dari konsep multi-track dalam strategi berdiplomasi, yang mencakup kalangan non-pemerintah atau professional dengan tindakan non-pemerintah yang professional untuk mencoba menganalisis, mencegah, mengatasi dan mengelola konflik internasional (McDonald, 2012).
ARF merupakan penolakan dari model keamanan ala Eropa yang didasarkan atas kombinasi kekuatan politik besar dan intitusionalisme yang terlegalkan (Garofano, 1999: 74). Sebaliknya, ASEAN menggunakan caranya sendiri, yakni ASEAN Way dalam setiap tindakannya. Tujuan dari ARF adalah untuk membantu perkembangan dialog yang konstruktif dan juga konsultasi dalam bidang politik-keamanan yang menjadi kepentingan dan fokus bersama, serta berkontribusi dalam upaya menuju pembangunan kepercayaan diri dan diplomasi preventif di wilayah Asia-Pasifik. Sebagai contoh, ARF ingin membangun interkonektivitas antar anggotanya. Beberapa hal yang kemudian disangsikan oleh berbagai pihak berkaitan dengan ARF ini adalah tentang isu gangguan keamanan kawasan. Seperti dalam kasus Laut Cina Selatan yang melibatkan negara kawasan Asia Timur yang belum tentu ingin berkompromi dengan ASEAN Way. Bukan hanya negara kawasan Asia Timur saja, negara-negara Asia-Pasifik pun belum tentu menerima cara yang ditawarkan ARF tersebut. Usulan dari Australia dan Kanada untuk membentuk hal yang serupa seperti di Eropa di tolak oleh ASEAN dengan alasan perbedaan dalam banyak hal antara Asia dan Eropa. Model Eropa yang menggunakan resolusi konflik dalam penyelesaian problematika internalnya tidak dapat digunakan di Asia, khususnya Asia Pasifik. Adanya gangguan stabilitas keamanan terkait perebutan wilayah territorial di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara harus ditanggapi dengan tindakan yang tepat, sebab akan mempengaruhi banyak hal.
Kembali pada konsep awal didirikannya ARF, bahwa seluruh anggota ARF menginginkan adanya wadah yang menampung berbagai macam pandangan mengenai isu-isu kemanan tradisional dan non-tradisional, ekonomi, hingga politik. Dalam Pertemuan Tingkat Meneri ke-27 ASEAN tahun 1994, para Menteri Luar Negeri menyetujui “ARF could become an effective consultative Asia-Pacific Forum for promoting open dialogue on political and security cooperation in the region”. Seluruh anggota ARF sepakat bahwa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional (www.ditpolkom.bappenas.go.id). Dalam pelaksanaannya, ARF menciptakan sebuah transparansi informasi sehingga meningkatkan rasa saling percaya diantara anggotanya. Dengan begitu, resiko akan salah pengertian dan saling curiga dapat terhindarkan, mengingat begitu majemuknya politik – keamanan di wilayah Asia-Pasifik. Di masa mendatang, ARF juga diarahkan untuk menjadi sarana bagi penyelesaian konflik. Dengan demikian, ARF dapat menjadi wahana utama untuk meningkatkan suatu budaya dialog, pengertian dan toleransi dengan cara damai.

PBB sebagai organisasi internasional menetapkan struktur global bagi setiap international Governmental Organization (IGO) dalam menangani isu keamanan. Kesadaran negara-negara terhadap isu keamanan internasional dibuktikan dari keberadaan setidaknya satu IGO di setiap lima wilayah kawasan geografi utama. Beberapa IGO pada tingkat regional tersebut antara lain NATO, CIS, WEU di kawasan Eropa; ASEAN dan ARF di kawasan Asia; Liga Arab dan GCC di Timur Tengah; AU dan ECOWAS di Afrika; dan OAS di kawasan Amerika Latin. Sedangkan pada tingkatan internasional, yang berada di bawah naungan PBB adalah Dewan Keamanan (Security Council) dengan International Atomic Energy and Agency (IAEA), Majelis Umum dengan Departement of Peacekeeping Operations (DPKO), Secretary-General dengan Office for Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), dan Internaional Court of Justice melalui High Commisssioner for Refugees (UNHCR). Selain IGO pada tingkatan regional maupun global, Non-Governmental Organization (NGO) juga telah sejak lama muncul dan menaruh perhatian pada penyelesaian konflik secara damai, disarmament, dan humanitarian relief. Beberapa diantaranya ialah Stockholm International Peace, Greenpeace, International Physicians for the Prevention of Nuclear War, Save the Children Federation, Catholic Relief Services, CARE, dan masih banyak lagi.

Dalam konteks ini ARF memiliki relasi yang erat dengan integrasinya yaitu ASEAN dan PBB. Sehingga  rezim yang berkaitan dengan kedua organisasi internasional tersebut memiliki pengaruh atau relasi dengan eksistensi ARF. Disini ARF memiliki peranan sebagai IGO pada tingkat regional dalam menangani isu keamanan.  Sehingga ARF sejalan dengan PBB, sebagai organisasi global, yang menetapkan struktur global bagi setiap international Governmental Organization (IGO) dalam menangani isu keamanan. Declaration on Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN, 1971) di ASEAN juga mendorong peran ARF sebagai eksekutor dari keamanan dan stabilitas ASEAN.

Keberadaan rezim ekonomi di ASEAN yaitu AFTA juga tak lepas dari pengaruh aspek keamanan dan politik. Logikanya bila stabilitas perpolitikan dan keamanan terpengaruh oleh peristiwa pemboman yang terjadi 11  September 2001 yang dilakukan oleh teroris maka mekanisme perekonomian pasti juga ikut labil dan tidak kondusif. Untuk itu dibutuhkan relasi peranan rezim keamanan ARF dan sejenisnya untuk mengembalikan kepercayaan investor dalam dan luar kawasan. ARF yang dibentuk pada tahun 1994 sebagai forum yang membahas mengenai stabilitas keamanan kawasan serta penyatuan pandangan bersama terhadap visi dan misi dari ASEAN itu sendiri. Dimana dengan dibentuknya ARF, diharapkan ASEAN menjadi komunitas yang sejati serta terlegitimasi di internasional dan menjadi lembaga yang kuat yang dapat menjaga stabilitas keamanan regionalnya dan saling menciptakan simbiosis mutualisme. Dalam Garofano (1999) disebutkan bahwa ARF terbentuk dengan harapan dalam bentukan komunitas sejati, lembaga yang kuat, dan yang terjadi hanya politik kekuasaan. Dalam hal ini dibentuknya ARF dipandang oleh kaum konstruktivis sebagai sebuah forum yang keberadaannya jelas menurut anggota-anggota yang terikat di dalamnya. Hal tersebut kemudian menciptakan sebuah kemanan dalam kawasannya dan juga bentuk kerjasama yang terjadi akan semakin kooperatif.

Lebih lanjut, korelasi ARF dalam legitimasi ASEAN tertuang dalam upaya mendorong RRC untuk melaksanakan tindakan positif di ranah internasional. Alasan yang mengarah pada keberadaan China tersebut karena China merupakan salah satu negara yang mengalami kebangkitan setelah Uni Soviet mengalami keruntuhan dan Amerika sebagai negara yang memiliki kemiliteran yang kuat menjadi jatuh pasa Perang Dingin (Garofano, 1999). Rezim ASEAN-China Free Trade Area juga menekankan kerjasama ekonomi antara kedua belah pihak. Sehubungan dengan ARF, pada mulanya China berperan sebagai mitra konsultatif karena adanya anggapan bahwa ARF tak ubahnya bentuk upaya Barat untuk menyebarkan nilai liberalisme dan kapitalisme. Namun seperti telah dijelaskan sebelumnya, China bersedia menjadi mitra dialog. Hal ini juga tak lepas dari adanya peranan Amerika Serikat yang relatif insignifikan dalam pengambilan keputusan di ARF. Dengan demikian, China turut berperan aktif dalam kerjasama dalam rangka mewujudkan keamanan, preservasi lingkungan hidup, dan pertumbuhan ekonomi. 

Keamanan, preservasi lingkungan hidup, dan pertumbuhan ekonomi oleh China tidak serta merta berarti ketiadaan konflik di antara China dan negara-negara ASEAN. Konflik Laut China Selatan yang menyimpan sumber daya berlimpah merupakan konflik panjang yang terjadi antara China dan ASEAN. Kepemilikian pulau Spratly dan Paracel yang menyimpan potensi ekonomis dan strategis, isu pelayaran, navigasi, dan batas territori nasional menjadi hal-hal yang diperebutkan dalam konflik ini. China yang pada awalnya menolak untuk membicarakan kasus ini secara multilateral, akhirnya setuju untuk menandatangani perjanjian The Declaration on the Conduct of Parties in South-China Sea. Ancaman militer Cina yang beroperasi di wilayah Laut China Selatan menjadi poin yang melatarbelakangi deklarasi ini. Deklarasi tersebut mengedepankan kerjasama dan prinsip-prinsip Treaty of Amity and Cooperation (TAC) in Southeast Asia. Meskipun demikian, status kepemilikian kedua pulau yang diperebutkan tersebut masih belum jelas, terutama dengan kedua belah pihak yang mempertahankan posisi. China berupaya untuk mempertahankan dominasinya melalui negosiasi bilateral, sementara ASEAN mengajukan proposal untuk melakukan perundingan secara multilateral. Keberadaan ARF yang juga menjadi alat pertemuan dari negara-negara besar yang menjadi bagian dari Mitra Wicara ASEAN menjadi sebuah bentukan yang mampu melaksanakan sebuah perimbangan dalam hal kekuatan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan keinginan ASEAN mengenai keberlanjutan dari kehadiran AS-Jepang dan RRC dan mengajak seluruh negara di kawasan Asia Pasifik untuk memberkan kontribusi terhadap kestabilan kawasan (Chandrawati 2008, 139).
Dalam konteks global kini, ARF menjadi amat rentan atas ancaman kepentingan sesaat negara-negara besar. ARF bisa jatuh ke dalam instrumen ”kepentingan sesaat” negara adidaya, seperti Amerika Serikat. Sedangkan dalam konteks ”perang melawan terorisme” mudah sekali bagi Amerika memanfaatkan ARF menjadi kepentingan politik luar negerinya. Bahkan dikhawatirkan ARF dapat menjadi sarana lobi Amerika untuk mencari dukungan kehadirannya di Irak. Kenyataan ini harus diwaspadai sebab selain mengkhawatirkan, juga ada tendensi meningkatkan kapabilitas militer dari negara ASEAN sebagai payung perlindungan untuk melakukan serangan terhadap terorisme. Sikap konsisten ASEAN amat diperlukan guna menjaga kredibilitas ASEAN sebagai organisasi multilateral.
Sebagai aktor di kawasan Asia Tenggara, ASEAN seharusnya tidak perlu mengikuti pilihan yang diambil Amerika Serikat, seperti pernah dilakukan ketiga negara ASEAN saat menanggapi wawancara Presiden AS George W. Bush dengan ABC News Desember 2001. Dalam wawancaranya, Bush ingin menempatkan pasukannya di Filipina, Malaysia, dan Indonesia guna memerangi terorisme yang berkaitan dengan jaringan Al-Qaeda di Asia Tenggara. Namun, ketiga negara ASEAN itu menolak dengan alasan, antara lain, konstitusi melarang, tidak sesuai kebijakan negara bersangkutan, dan mengganggu kedaulatan suatu negara. Penolakan ASEAN dinilai mampu menciptakan pengertian tentang pentingnya integritas nasional, stabilitas politik, dan pertahanan keamanan ke dalam lingkungan regional

Male Breast Cancer & Conclusion

Even though males do not develop milk producing breasts, a man’s breast cells and tissue can still develop cancer. Even so, a male breast cancer is very rare. Less than one percent of all breast cancer cases develop in men, and only  a thousand men will ever be diagnosed with breast cancer.
Breast Cancer in men is usually detected as a hard lump underneath the nipple and areola. Men carry a higher mortality than women do, primarily because awareness among men is less and they are less likely to assume a lump is breast cancer, which can cause a delay in seeking treatment.
Although treatment outcomes are very similar to women at the same stage of detection, A man diagnosed with breast cancer should also consider seeing a genetics counselor for a consultation. If a man test is positive for a defective gene (most commonly either BRCA 1 or BRCA 2) that can lead to a fiture diagnosis of breast cancer and his children have a 50% chance of carrying the gene.

Conclusion
In recent years, we have seen a gradual reduction in female breast cancer incidence rates among women aged 50and older. Death rates from breast cancer have been declining since about 1990, in part to better due to screening and early detection, increased awareness and continually improving treatment options.

kelebihan dan kekurangan partai politik yang bercorak partai massa



Partai massa merupakan kebalikan dari partai kader karena mereka lebih lebih menekankan pada pencarian jumlah dukungan yang banyak di masyarakat atau dengan kata lain lebih menekankan aspek kuantitas.

Kelemahan partai massa : bahwa disiplin anggota itu bersifat lemah, juga lemahnya ikatan organisasi antar sesama anggota, bahkan kadangkala tidak saling kenal karena luasnya dukungan dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat.(tidak berdasarkan asas kekeluargaan, kurangnya tenggang rasa antar sesame anggota)

Kelebihan partai massa : kekuatan partai massa yang disandarkan pada besarnya jumlah pendukung, semakin banyak anggota yang tergabung dalam partai tersebut, maka semakin kuat pula keberadaan partai tersebut di tengah masyarakat, begitu juga sebaliknya.

Streptococcus Viridans

Ciri khas organism bakteri ini sifat hemolitik, tetapi dapat juga nonhemolitik. Pertumbuhannya tidak terhambat oleh optokin, koloninya tidak larut dalam empedu(deoksikolat).  Streptococcus viridians merupakan anggota flora normal yang paling banyak ditemukan disaluran napas atas dan penting untuk menjaga kesehatan membrane mukosanya. Organisme ini dapat juga dapat menyintesiskan polisakarida besar seperti dektran atau levans dari sukrosa dan berperan penting dalam pembentukan karier gigi(Jawest,dkk 1996)
Streptococcus viridans tidak mengalami lisis sehingga dibedakan dari pneumokokus. Pada medium padat, pertumbuhan pneumokokus dihambat sekitar diskus optokin sedangkan Streptoccocu viridians tidak dihambat oleh optikin.

Jumat, 24 Juli 2015

Kepentingan Indonesia di Asia Tenggara dan ASEAN



Indonesia merupakan negara di kawasan Asia Tenggara yang termasuk dalam salah satu anggota dari ASEAN. Sebagai salah satu negara yang turut menjadi pioner dalam terbentuknya ASEAN, Indonesia tentunya memiliki kepentingan nasional yang hendak dicapai yang nantinya akan dibawa ke ASEAN. Hal ini sejalan dengan tujuan dari geopolitik sebuah negara, yaitu hegemoni. Kepentingan nasional Indonesia sebagai sebuah negara yang turut memprakarsai berdirinya ASEAN, Indonesia tentunya akan berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dibangun di Asia Tenggara.
Kepentingan nasional merupakan sebuah kepentingan negara yang akan dicapai melalui kebijakan nasional sebuah negara. Kepentingan nasional sendiri merupakan sebuah refleksi dari keinginan pemerintah sebuah negara dalam melindungi kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Kepentingan nasional sebuah negara biasanya terkandung dalam cita-cita, aspirasi, dan tujuan negara dalam menentukan sikap serta melakukan hubungan dengan bangsa lain. Implementasi dari kepentingan nasional ini biasanya dilakukan oleh negara melalui kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, terbentuknya ASEAN dan keberadaan Indonesia sebagai salah satu negara pemprakarsa, tentunya terdapat beberapa kepentingan nasional yang hendak dicapai oleh Indonesia melalui kerjasama regional ASEAN ini. Seperti yang diketahui dimasa pemerintahan Presiden Soeharto, melalui pendekatan lingkaran konsentris, Indonesia menempatkan ASEAN sebagai lingkungan utama dan pilar utama bangsa Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya serta untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam mengimplementasikan kabijakan luar negeri Indonesia, Departemen Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa dalam pencapaian kepentingan nasional Indonesia di kawasan reginoal Asia Tenggara dilakukan melalui kerjasama diplomatik.
Seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, kepentingan Indonesia yakni melindungi kedaulatan dan menjaga keutuhan wilayah NKRI, melindungi keselamatan serta kehormatan bangsa, serta berperan aktif dalam menjaga perdamaina dunia. Lebih lanjut, dalam mewujudkan kepentingan nasional tersebut, Indonesia merefleksikannya melalui tiga aspek yakni stabilitas keamanan, politik, serta ekonomi. Indonesia berkeinginan untuk menciptakan suatu kawasan regional yang stabil dan aman guna mencapai kemakmuran ekonomi. Dengan terciptanya kawasan regional yang kondusif, maka Indonesia dapat menata kehidupan politik domestik serta ekonomi nasional. Gangguan keamanan seperti terorisme, konflik komunal, dan radikalisme dapat mengganggu stabilitas keamanan regional.
Menurut Suryadianata ASEAN dapat dikatakan sebagai fondasi dasar politik luar negeri Indonesia yang penting bagi terciptanya stabilitas dan keamanan Indonesia serta regional. Eksistensi ASEAN dapat menjamin keberlangsungan hidup negara anggota di kawasan Asia Tenggara, selain itu diharapkan keberadaan ASEAN ini mampu membuat negara anggota semakin berkembang dengan meminimalisir campur tangan kekuatan-kekuatan besar di luar kawasan Asia Tenggara. Bhakti menyebutkan terdapat beberapa kepentingan Indonesia dalam ASEAN yakni untuk meningkatkan citra baik Indonesia di mata inernasional. Hal ini dapat diwujudkan melalui peran aktif Indonesia dalam menciptakan stabilitas regional kawasan Asia Tenggara. Selain itu Indonesia berkepentingan untuk menciptakan keharmonisan regional Asia Tenggara, yang mana hal ini berarti penting sebagai langkah preventif agar tidak terjadinya konflik bahkan perang yang melibatkan negara di kawasan Asia Tenggara. Kepentingan yang ketiga adalah mencegah masuknya serangan dan subversi asing. Maksudnya adalah dengan adanya ASEAN dan terbentuknya hubungan baik  antar negara Asia tenggara, maka Indonesia dapat terhindar dari serangan asing dari utara. Hal ini mengacu pada fungsi ASEAN sebagai penjaga stabilitas keamanan, dengan demikian juga dipertimbangkan sebagai sumbangsih yang berarti bagi negara di kawasan Asia Pasifik yang juga memiliki kepentingan yang sama. Kemudian adalah mengenai kebutuhan Indonesia akan adanya alat tawar menawar internasional yang merujuk pada kepentingna Indonesia untuk berhubungan dengan kekuatan asing. Terakhir adalah peningkatan bobot hubungan internasional Indonesia dalam diplomasi internasional, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun keamanan.
Lebih lanjut, Suryadinata menambahkan bahwa kepentingan Indonesia di kawasan Asia Tenggara adalah untuk mencegah dan memerangi paham komunis yang dapat diakomodasi melalui kerjasama dengan negara Asia Tenggara, khususnya dalam ASEAN. Namun kepentingan kerjasama antar negara di Asia Tenggara ini tidak akan mengesampingkan kepentingan nasional Indonesia. Dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, Indonesia mengambil langkah dengan menjadi salah satu pemrakarsa terciptanya hubungan baik antara negara-negara di Asia Tenggara. Kepercayaan diri Indonesia ini merupakan perwujudan dari kemampuan Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara. Luas wilayah dan jumlah penduduk sumber daya alam, posisi geopolitik yang strategis dan tradisi budaya serta warisan sejarah ini dapat dijasikan sebagi modal bagi Indonesia untuk bertindak sebagai salah satu negara yang memegang peranan penting di Asia Tenggara.