Dalam
kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan
keutamaan.Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai
apakah suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk.
a)
Etika
Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan
apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban.Etika deontologi tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah
ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh
yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel
Kant (1734-1804). Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai
dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak
menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu
tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban
moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam
dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal.Manusia dalam dirinya
secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau
buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan
harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban
moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat
yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya
tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang
sudah memahami bahwa korupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun.
Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari
oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih
apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran
kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan
otonomi bebas.Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena
didasari oleh kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik
bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk
melakukan perbuatan itu, dan tindakan yang baik adalah didasarkan atas
otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.
b)
Etika
Teleologi
Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika
deontologi, yaitu bahwa baik buruk
suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu.
Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila
dihadapkan pada situasi konkrit ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban
yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu
memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai
norma yang lain.
Ketika
bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos.Dalam keadaan seperti
ini maka memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban
mengenakan helm bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena
lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan. Kewajiban membayar
pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan seluruh harta
benda.Dalam keadaan demikian etika teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi
akibat baik, beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan
yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa? Apakah
baik menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika
teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme
1) Egoisme etis memandang
bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral
setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah
atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
2) Utilitarianisme menilai bahwa
baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak
orang. Tindakan dikatakan baik
apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi
sebanyak mungkin orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang
dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian
paling kecil dan kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi
banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati
oleh sebagian kecil orang saja. Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada
nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat mungkin
memiliki keragaman. Namun setiap
tindakan selalu dilihat apakah akibat yang ditimbulkan akan memberikan manfaat
bagi banyak orang atau tidak.
Kalau
tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan
merugikan maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika
utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap beragam alternatif
tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan
banyak orang. Utilitarians try to produce maximum pleasure and minimum
pain, counting their own pleasure and pain as no more or less important than
anyone else’s (Wenz, 2001: 86).
Etika
utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan
banyak oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan
sewajarnya, karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme,
meskipun demikian, juga memiliki kekurangan. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat
ada enam kelemahan etika ini,
yaitu:
(1)
Karena alasan kemanfaatan untuk
orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang dirugikan, dan itu
dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan adanya ketidakadilan
terutama terhadap minoritas.
(2)
Dalam kenyataan praktis, masyarakat
lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang kuantitasmaterialistis, kurang
memperhitungkan manfaat yang non-material seperti kasih sayang, nama baik, hak
dan lain-lain.
(3)
Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material
yang tentu terkait dengan masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi
tersebut hal-hal yang ideal seperti nasionalisme, martabat bangsa akan
terabaikan, misalnya atas nama memasukkan investor
asing maka aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama
meningkatkan devisa negara maka pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang
menimbulkan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan
masyarakat.
(4)
Kemanfaatan yang dipandang oleh
etika utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek, tidak melihat akibat
jangka panjang. Padahal,misalnya dalam persoalan lingkungan, kebijakan
yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang akan
datang.
(5)
Karena etika utilitarianisme tidak
menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada orientasi hasil, maka
tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan yang besar,
misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6)
Etika utilitarianisme mengalami
kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan kemanfaatan yang besar namun
dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih banyak dirasakan
banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme
membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka :
1.
Setiap kebijakan dan tindakan harus
dicek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak. Kalau bertentangan
maka kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki
kemanfaatan yang besar.
2.
Kemanfaatan harus dilihat tidak
hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan
mental, moralitas, kerusakan lingkungan dan sebagainya.
3.
Terhadap masyarakat yang dirugikan
perlu pendekatan personal dan kompensasi yang memadai untuk memperkecil
kerugian material dan non-material.
a)
Etika
Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak
juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral
universal, tetapi pada
pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.Orang tidak hanya
melakukan tindakan yang baik, melainkan menjadi orang yang baik. Karakter moral
ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan
oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah
yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru
oleh masyarakatnya. Kelemahan
etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka
tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan
menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan
benturan sosial.
Kelemahan
etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada
figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri,
sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu
seperti apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar