Istilah sindrom gedung sakit (Sick Building
Syndrome) pertama dikenalkan oleh para ahli di negara Skandinavia di awal
tahun 1980-an. Istilah ini kemudian digunakan secara luas dan kini telah
tercatat berbagai laporan tentang sindrom ini dari berbagai negara Eropa,
Amerika dan bahkan negara tetangga kita Singapura (Aditama dan Hastuti, 2002).
Environmental Protection Agency (EPA)
mendefinisikan Sick Building Syndrome (SBS) atau yang disebut juga dengan Tight Building Syndrome atau Building
Related Illness / Bulding Related Occupant Complaints Syndrome adalah
situasi dimana penghuni gedung (bangunan) mengeluhkan permasalahan
kesehatan dan kenyamanan yang akut, yang timbul berkaitan dengan waktu
yang dihabiskan dalam suatu bangunan, namun gejalanya tidak spesifik dan penyebabnya
tidak dapat diidentifikasikan.
Gejala
atau Keluhan Sick Building Syndrome
Gejala atau keluhan dari Sick
Building Syndrome memang berhubungan dengan tidak sehatnya udara di dalam
gedung. Keluhan yang ditemui pada sindrom ini antara lain dapat berupa batuk
kering, sakit kepala, iritasi pada mata, hidung dan tenggorokan, kulit yang
yang kering dan gatal, badan lemah. Keluhan tersebut biasanya menetap
setidaknya dua minggu. Gejala ini akan hilang jika penderitanya berada di luar
gedung tersebut, misalnya pulang ke rumah, begitu dia kembali ke dalam gedung,
penyakit itu timbul lagi. Sindrom ini belum banyak disadari dan biasanya
pengobatannya masih simtomatik, pengobatan berdasarkan gejalanya saja. Sindrom
gedung sakit atau Sick Building Syndrome baru dapat dipertimbangkan bila
lebih dari 20% atau bahkan sampai 50% pengguna suatu gedung mempunyai
keluhan-keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka
mungkin sedang terkena flu biasa. Sick Building Syndrome juga dapat
dipertimbangkan apabila setidaknya terdapat tiga gejala/ keluhan dari
pengelompokkan gangguan kesehatan, minimal satu gejala/keluhan pada
masing-masing gangguan, baik gangguan kulit, mata, pernafasan, syaraf,
pencernaan (Aditama dan Hastuti, 2002).
Gejala SBS sebagai dampak
pencemaran udara dalam ruangan terhadap tubuh terutama pada daerah tubuh atau
organ tubuh yang kontak langsung dengan udara meliputi organ sebagai berikut
(Aditama dan Hastuti, 2002):
1.
Iritasi selaput lendir
Iritasi mata, mata pedih, mata merah, mata berair.
2.
Iritasi hidung, bersin,
gatal
Iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, batuk kering.
3.
Gangguan neurotoksik
Sakit kepala, lemah, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi.
4.
Gangguan paru dan
pernafasan
Batuk, nafas berbunyi atau mengi, sesak nafas, rasa berat di dada.
5.
Gangguan kulit
Kulit kering, kulit gatal.
6.
Gangguan saluran cerna
Diare atau mencret
7.
Gangguan lainnya
Gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, sulit belajar.
Keluhan tersebut biasanya
tidak terlalu parah dan tidak menimbulkan kecacatan tetap, tetapi jelas terasa
amat mengganggu dan bahkan mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja pada
karyawan.
Menurut EPA (1991), SBS dapat
ditandai dengan rasa lelah, sakit kepala, mata kering dan keluhan-keluhan
pernafasan yang mengenai pekerja dalam gedung tertentu dengan ventilasi
terbatas. Gejala tampaknya disebabkan oleh kombinasi agen kimia dalam
konsentrasi rendah, bukan oleh iritan yang spesifik. Dimana salah satu dari
gejala tersebut dirasakan sedikitnya 30% dari pengguna gedung. Apabila pekerja
merasakan gejala yang memenuhi kriteria kasus dan salah satu gejala tersebut
dialami oleh 30% dari total responden.
Penyebab
Sick Building Syndrome
Sampai saat ini masih sulit
untuk menentukan suatu penyebab tunggal dari sindrom gedung sakit, namun
sebagian besar keluhan yang timbul dari terjadinya Sick Building Syndrome diakibatkan
oleh pencemaran udara yang terjadi dalam ruangan. Menururt hasil penelitian
dari Badan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Amerika Serikat atau The National
Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) ada enam sumber utama
pencemaran udara di dalam gedung, yaitu (Aditama dan Hastuti, 2002):
1.
52% pencemaran akibat
ventilasi yang tidak adekuat dapat berupa kurangnya udara segar yang masuk ke
dalam ruangan gedung, distribusi udara yang tidak merata dan buruknya perawatan
sarana ventilasi;
2.
17% pencemaran udara dari
alat-alat di dalam gedung seperti mesin fotokopi. Kertas tisu, lem kertas dan
lem wallpaper, zat pewarna dari bahan cetakan, pembersih lantai serta pengharum
ruangan;
3.
11% pencemaran berasal dari
luar gedung yang dapat masuk ke dalam ruangan. Hal ini karena tidak tepatnya
penempatan lokasi masuknya udara segar dalam ruangan;
4.
3% pencemaran dari bahan
bangunan yang meliputi pencemaran formaldehid, lem, asbes, fiberglass,
dan bahan lain yang merupakan komponen pembentuk gedung tersebut;
5.
5% pencemaran akibat
mikroba yang berupa bakteri, jamur, protozoa dan produk mikroba lainnya yang
dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin beserta seluruh sistemnya;
6.
12% dari sumber yang tidak
diketahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar