Sabtu, 04 Juli 2015

Reformasi, Kekuatan, Dan Peran Politik TNI



Description: unair-warnaOrde Baru pada era kepemimpinan Soeharto yang menempatkan posisi militer sebagai kekuatan politik yang sangat dominan memberikan jalan bagi militer tidak hanya untuk mengakumulasi kekuasaan politik tetapi juga kekuasaan ekonomi. Orde Baru muncul dengan mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or dislike dari keputusan para elit negara telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Kekuatan militer pada zaman Soeharto berada dalam satu komando. Bahkan militer memasuki hampir ke semua aspek kehidupan secara sangat signifikan. Hal itu bisa dilihat dari 27 anggota kabinet yang diangkat Suharto pada Juli 1966 terdapat 12 menteri yang merupakan anggota ABRI. Dan yang menduduki posisi strategis pada saat itu di tingkat pusat misalnya, dari 20 departemen yang berurusan dengan sipil terdapat 11 anggota ABRI yang menduduki jabatan Sekretaris Jendral.
Pada era orde baru, militer juga banyak mempengaruhi bidang-bidang lainnya. Yang pertama dalam bidang politik, pada masa orde baru, militer memiliki kekuatan yang baik dalam hal politik. Karena ada kata “dwifungsi” itulah yang menyebabkan militer memiliki peran yang cukup penting dalam pengambilan keputusan – keputusan politik. Masalah kapasitas lembaga-lembaga yang baru dibuat untuk mengendalikan sisa kekuatan angkatan bersenjata yang mungkin mempunyai jaringan melalui non-institusional. Lembaga-lembaga politik dibebankan dengan kesalahan militer, sebagaimana kelompok masyarakat sipil yang menginginkannya sebagai “anjing penjaga”, hanya dapat digunakan secara tepat jika mereka memiliki kemampuan untuk memenuhi tugas-tugas mereka. Kurangnya keahlian, pengalaman, dana, infrastruktur, tenaga pendukung, teknologi, dan informasi dapat menyebabkan kerangka lembaga yang canggih sekalipun bisa lumpuh atau tidak berfungsi. Sehingga, reformasi generasi kedua sangat penting. Generasi kedua menggabungkan kerangka-kerangka tersebut untuk kesalahan militer yang telah dibentuk untuk pertama kali; dengan kata lain, ini menyediakan bahan demokrasi kepada struktur lembaga yang dibentuk oleh keputusan politik. Sehingga tantangan reformasi generasi kedua difokuskan pada sekitar kapasitas dari kedua lembaga-lembaga negara dan masyarakat sipil pada pelatihan kuasa demokrasi sipil pada militer.
Yang kedua adalah dalam bidang ekonomi dan sosial : pada bulan Oktober 2004, empat puluh lima anggota Kongres Sekretaris Negara Colin Powell (TNI) menulis "Lembaga besar-besaran korupsi," dan banyak pendapatan "berasal dari kegiatan ilegal dan semi-legal, termasuk prostitusi, obat-dealing, penebangan yang merusak lingkungan, dan penjualan bebas manusia "(East Timor Action Network / US 2004).
Setelah orde baru runtuh, terjadi reformasi – reformasi militer yang dilakukan oleh presiden – presiden setelahnya, diantaranya yaitu saat pemerintahan Presiden BJ. Habibie, Wahid Hasyim, Mega Wati, Susilo Bambang Yudhoyono yang dapat dikatakan memiliki andil dlaam perjalanan reformasi militer di Indonesia.
Sejak berakhirnya rezim orde baru Soeharto pada 1988, Indonesia berinisiatif untuk mereformasi angkatan bersenjata terkuat sebelumnya. Reformasi-reformasi tersebut terlihat pada perubahan politik secara nyata, tetapi telah dipengaruhi debat panas di Indonesia and ibu kota negara-negara barat. Kedua kubu sering maju dengan sangat antagonis dari proses reformasi militer. Pada satu sisi, kelompok hak asasi manusia dan aktivis politik telah menentang meskipun reformasi resmi, hampir tidak ada perubahan pada cara pengoperasian angkatan bersenjata. Mereka menegakkan bahwa militer berjalan terus untuk mempengaruhi, bahkan mendominasi urusan-urusan politik dan ekonomi. Sebaliknya, pendukung-pendukung luar negeri dari perbaikan hubungan kemiliteran dengan Indonesia mengatakan bahwa angkatan bersenjata sekarang ini secara penuh diperbudak untuk mengontrol demokrasi orang sipil, dan kemajuan besar telah dibuat pada penjatuhan standar internasional hak asasi manusia pada tentara.
Adanya ‘Transfer Kekuasaan’ dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden B.J Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berpengaruh dalam relasi antara militer dan politik di Indonesia. Secara simbolis, peristiwa ini menunjukkan adanya transfer kekuasaan dari pemerintahan yang ‘dikendalikan oleh militer’ yang dijalankan oleh Jenderal Soeharto ke pemerintahan yang ‘dikendalikan oleh sipil’ yang dijalankan oleh Prof. B.J. Habibie.
            Peristiwa seperti itu sering dipandang publik sebagai ‘transfer kekuasaan’ yang tidak menyeluruh karena Habibie juga merupakan bagian penting dari pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Habibie dengan demikian dianggap sebagai “duplikat” dari Pemerintahan Soeharto (Haramain, 2004:111). Tetapi, peristiwa itu lebih bermakna bagi perkembangan demokrasi di Indonesia kalau dibandingkan dengan skenario lain, misalnya transfer kekuasaan ke Jenderal Wiranto.
            Bukan hanya menyoroti pencapaian-pencapaian dalam usaha reformasi, tetapi juga menunjukkan pada masalah-masalah yang belum terselesaikan, dan bahkan regresi di beberapa area penting. Walaupun perubahan lembaga penting diimplementasikan antara tahun 1998 dan 2002, proses reformasi telah secara keseluruhan berhenti sejak saat itu. Kemacetan ini dikarenakan beberapa pokok perkembangan pada hubungan sipil-militer pada masa post-Soeharto. Beberapa pokok perkembangan ini termasuk cara terjadinya perubahan rezim tahun 1998, fragmentasi yang mendalam diantara elit politik sipil, kemunculan ideologi nasionalis-konservatif dari pemimpin-pemimpin politik dan masyarakat secara keseluruhan, dan resistansi lembaga ditawarkan oleh kesenangan pribadi di dalam angkatan militer. Yang terpenting, kesalingpengaruhan antara tema yang beragam menjelaskan mengapa isu pokok dari reformasj militer, seperti struktur komando teritorial dan masalah keuangan pribadi militer,tidak ada hubungannya dengan sejak permulaan pada transisi politik dan sekarang ini meninggalkan masalah yang tak berujung.
            Perubahan-perubahan itu tidak lepas dari adanya tuntutan yang sangat kuat agar ABRI (TNI) melakukan reformasi besar-besaran di dalam lembaganya (Asfar, 2003; Fattah, 2005; Honna, 2003; Machfudz, 2001; Rinakit, 2005; Samego, et al., 1998) dari kelompok-kelompok pro-demokrasi atau yang disebut oleh Alfred Stepan (1998) sebagai ‘civil society’. Hal ini dilakukan karena TNI dianggap terlalu jauh terlibat dalam dunia politik dan menghambat jalannya demokrasi selama lebih dari tiga dekade. Bahkan, militer dianggap sebagai penyebab matinya demokrasi di Indonesia. Di samping itu, TNI dianggap bertanggung jawab terhadap masalah-masalah pelanggaran HAM. Tidak hanya itu, militer juga terlalu jauh merambah ke pekerjaan di luar masalah-masalah pertahanan, seperti memasuki dunia bisnis (Iswandi, 1998).
            Secara substansial, TNI berusaha menanggapi tuntutan itu. Hal itu terlihat dari upaya serius dari kalangan para perwira penting TNI untuk melakukan diskusi internal tentang apa yang harus dilakukan di masa pemerintahan baru. Diskusi serius itu difokuskan pada perbincangan tentang ‘redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi’ peran TNI.
            Hasil diskusi internal itu, pada tahap awal, dirumuskan ke dalam empat paradigma baru ABRI sebagaimana diumumkan oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto pada akhir Agustus 1998. Keempat paradigma baru itu adalah sebagai berikut :
1.      Militer akan mengubah posisi dan metode untuk tidak harus di depan dan mendominasi. Posisi yang mereka nikmati saat Orde Baru diserahkan kepada institusi fungsional yang lebih kompeten.
2.      Mengubah konsep menduduki menjadi memengaruhi. Artinya, posisi militer yang dahulu menguasai posisi strategis, saat ini harus dibatasi. Memengaruhi bukan berarti mengintervensi, tetapi lebih pada kontribusi TNI terhadap pembangunan.
3.      Mengubah cara memengaruhi secara langsunh (direct influence) menjadi tidak langsung (indirect influence). Hal ini penting dilakukan untuk menghindari keterlibatan TNI yang berlebihan dalam berbagai kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas utamanya.
4.      Kesediaan untuk secara bersama-sama melakukan pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan (political and role sharing) dengan komponen bangsa lainnya (Haramain, 2004: 125-26)
Usaha untuk merombak ABRI kembali sesuai dengan tuntutan reformasi terus menerus dilakukan. Sebagai bagian penting untuk membangun ABRI yang terkonsentrasi pada masalah-masalah pertahanan, pada 1 April 1999, secara resmi ABRI melepaskan Polisi dari tubuhnya. Sejak saat itu pula istilah ABRI tidak lagi digunakan dan diganti menjadi TNI. Pemisahan demikian merupakan jawaban terhadap kririk bahwa sepanjang pemerintahan Orde Baru, TNI terlihat cukup jauh terhadap penanganan masalah-masalah keamanan dalam negeri yang seharusnya menjadi tanggung jawab polisi.
Kemajuan dari reformasi akan dievalusi menggunakan model komparatif dari kontrol demokrasi terhadap angkatan bersenjata, terutama pada debat mahasiswa pada perbedaan reformasi generasi. Secara umum, akhir-akhir ini, kepustakaan pada hal tersebut telah membedakan antara dua generasi yang berubah. Banyak negara yang telah berinisiasi reformasi demokratis setelah periode panjang dari military-backed, peraturan otoriter memulai proses transisi dengan merubah kerangka lembaga mereka: penghapusan hukuman dari lembaga keaman yang bekerja sama dengan rezim lama, pembuatan badan-badan sipil baru untuk mengontrol angkatan bersenjata, merubah sistem komando, dan pemberdayaan DPR. Fase pertama dari langkah lembaga ini secara khas disebut “generasi pertama” dari reformasi sipil-militer. Generasi perrtama dari reformasi sangat penting untuk pembongkaran struktur kekuatan lama dan untuk menjelaskan tujuan akhir dari transisi demokratis.
            Yang cukup signifikan adalah pengumuman yang dilakukan oleh Panglima TNI Widodo Adisburoto pada 20 April 2000 tentang penghapusan peran sosial politik TNI yang sudah lama dipegangnya. Pengumuman ini juga memberi kejelasan tentang keputusan TNI yang meninggalkan perannya sebagai aparat keamanan dan ketertiban dalam negeri pun ditinggalkan karena peran demikian telah diserahkan kepada polisi. Melalui keputusan ini TNI lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah pertahanan dan kedaulatan. Wujud konkrit dari keputusan ini adalah TNI-Polri tidak lagi menempatkan wakilnya di DPR maupun DPRD sejak tahun 2004. Terhadap perwira TNI yang menduduki jabatan di lembaga-lembaga sipil, diberi pilihan: pensiun dini atau mundur dari dinas militer/polisi.
Setelah masa jabatan Presiden BJ. Habibie telah selesai, dilanjutkan oleh presiden Wahid Hasyim. Warisan dari presiden Wahid untuk reformasi militer di Indonesia bisa hampir tidak berlebihan. Hal ini berlaku untuk kedua kebijakan reformis itu dalam menggugat dan konsekuensinya terjadi kegagalan. Pemerintahan Abudarrahman Wahid meluncurkan reformasi militer paling berani di beberapa dekade, hanya untuk menyaksikan keruntuhan yang memicu stagnasi dan kemunduran.
            Secara konseptual, TNI berusaha mendekonstruksi mengenai peran politik mereka. Mereka menyebutnya sebagai ‘politik negara’. Konsepsi demikian tidak berbeda jauh dengan peran politik NU dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini, secara formal menyatakan  tidak akan terlibat di dalam politik praktis, tetapi  mereka masih memiliki peran politik.
            Secara empiris, politik negara itu terlihat pada kasus ketidakpatuhan TNI terhadap Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid pada 22 Juli 2001. Menghadapi tuntutan yang sangat kuat untuk mundur, dan lempangnya jalan Sidang Istimewa MPR yang akan meng-impeach-nya, Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden. Tetapi, berbeda dengan Dekrit Presiden Soeharto pada 1959 yang memperoleh dukungan kuat dari TNI, Dekrit Gus Dur itu justru tidak memperoleh dukungan dari TNI. Sebaliknya, TNI justru mendukung berlangsungnya Sidang Istimewa MPR (Haramain, 2004:303), yang berujung pada pemecatan Presiden Abdurrahman Wahid.
            Dilihat dari sisi kepentingan, penolakan terhadap Dekrit dan dukungan terhadap Sidang Istimewa MPR itu, tidak lepas dari resistensi sejumlah jenderal TNI terhadap kebijakan-kebijakan Gus Dur. Di dalam pandangan mereka, Gus Dur dianggap terlalu jauh mencampuri masalah internal TNI, terutama sekali berkaitan dengan penempatan-penempatan orang di dalam jabatan-jabatan kunci di tubuh TNI. Pengangkatan Agus Wirahadikusumah sebagai Pangkostrad, termasuk yang dipermasalahkan. Hal ini tidak lepas dari ketidaksukaan sejumlah jenderal terhadap Agus yang dipandang sering kebablasan dan tidak pada tempatmya di dalam melontarkan gagasan-gagasan mengenai perubahan-perubahan dalam tubuh TNI.
            Tetapi, secara formal, TNI menganggap bahwa sikap untuk menolak dekrit itu didasari oleh pandangan bahwa dekrit itu bukanlah jalan terbaik untuk mengatasi kemelut politik saat itu.
            Peran politik TNI pasca-pemerintahan Soeharto akan terlihat berkaitan dengan penggunaan hak pilih dan dipilih di dalam pemilu. Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa TNI-Polri sudah tidak memiliki jatah kursi di DPR/D sejak Pemilu 2004. Merujuk pada realitas bahwa banyak negara-negara demokratis yang memberikan hak memilih kepada militer, bahkan di sejumlah negara juga ada hak untuk dipilih, terdapat gagasan untuk memberikan hak pilih kepada TNI-Polri mulai Pemilu 2009.
            Presiden SBY sendiri pada akhirnya tidak setuju diberikannya hak pilih TNI-Polri pada Pemilu 2009. Konfigurasi politik yang ada, juga memiliki pengaruh yang sangat kuat. Terdapat kekhawatiran, diberikannya hak pilih TNI-Polri akan memberikan keuntungan calon tertentu, khususnya di dalam Pilpres 2009. Dengan demikian, anggota TNI-Polri yang berkeinginan untuk mengggunakan hak pilihnya, harus menunggu sampai ada kompromi dan keputusan politik yang memungkinkan hal itu terjadi.
            Ada tiga kemungkinan kapan akan diberiannya hak pilih kepada TNI-Polri. Pertama, ketika reformasi di tubuh TNI mendekati fase tuntas, kalau tidak disebut selesai. Kedua, terdapat pada penerimaan oleh kelompok-kelompok pro-demokrasi. Terlepas dari adanya pandangan bahwa kelompok lama telah mampu membangun kembali kekuasaan yang bercorak oligarkis (Robison dan Hadiz, 2004), tidak dapat dipungkiri bahwa suara-suara kelompok pro-demokrasi memiliki pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Ketiga, manakala TNI-Polri mampu membangun jarak dengan para politisi, termasuk dengan para purnawirawan yang terlibat di dalam persaingan untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan politik.
            Di bawah kepemimipinan Megawati, beliau berusaha untuk menciptakan harmonisme hubungan antara institusi sipil dengan militer. Megawati merangkul militer dengan menunjuk beberapa perwira senior untuk menduduki jabatan menteri di kabinet gotong royong seperti Susilo Bambang Yudhyono yang menjadi Menko Polsoskam dan Hari Sabarno yang menjadi Mendagri. Selain itu, Megawati juga menaikkan anggaran belanja untuk bidang pertahanan dan keamanan. Tindakan elit untuk memelihara dukungan militer bisa dipahami sebagai bentuk kesadaran elit akan pentingnya posisi militer dalam panggung politik nasional. Di era Megawati, proses reformasi militer yang begitu masif dan cepat sebagaimana ditunjukkan oleh Wahid mengalami stagnansi. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh tokoh-tokoh yang menjadi motor reformasi militer era reformasi seperti Wiranto dan Yudhoyono sudah tidak lagi berada di lingkungan TNI.
            Melanjutkan tradisi yang telah dibangun oleh Kepresidenan Wahid, Megawati juga menunjuk Menteri Pertahanan dari kalangan sipil, yaitu Matori Abdul Djalil. Posisi Panglima TNI dikembalikan Megawati pada Angkatan Darat yang dijabat oleh Jendral Endriartono Sutarto pada pergantian yang berlangsung 2002. Dengan demikian, Megawati melestarikan tradisi lama di tubuh TNI. Sementara itu, posisi KSAD dengan seizin Megawati diduduki oleh Jendral Ryamizard Ryacudu yang dikenal luas oleh kalangan militer.[21] Dengan kapabilitasnya yang tergolong rendah mengenai aspek konseptual dan teknis militer, Matori sadar diri dengan mengakomodasi keinginan elit militer dalam pembuatan kebijakan.
            Masa kepemimpinan Megawati ditandai oleh pelbagai ancaman yang mengganggu stabilitas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga meningkatkan dependensi sipil terhadap militer. Dalam menangani konflik komunal yang terjadi di Maluku, Gerakan Separatis di Aceh, serta tindakan terorisme dari kelompok Islam radikal Megawati melibatkan peranan militer. Pada 2002, secara khusus pemerintah memutuskan transfer wewenang pelaksanaan operasi keamanan di Maluku dari tangan polisi ke tangan TNI yang terbukti efektif untuk memulihkan stabilitas keamanan. Pada 2003, Megawati menetapkan status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer dengan dukungan penuh dari parlemen. Sekitar 30.000 personel TNI dan 12.000 personel Polri dikirim ke Aceh untuk melakukan operasi kontra-pemberontakan dan supervisi urusan sipil. Bom Bali 2002 telah menjadikan tindakan anti-terorisme prioritas politik pemerintahan Megawati. Hal ini membuka peluang bagi TNI untuk melakukan intervensi politik. KSAD Jendral Ryamizard melakukan influence terhadap Presiden dengan menyarankan dihidupkannya kembali kemampuan intelijen di tingkat komando territorial. Setelah pengeboman terhadap Kedutaan Besar Australia di Jakarta 2004, Megawati memutuskan untuk mengikutsertakan militer dalam unit kontraterorisme.
            Namun demikian, masa kepemimpinan Megawati menorehkan tinta emas dalam penataan hubungan sipil-militer di Indonesia. Keputusan Panglima TNI Endriartono Sutarto di tahun 2002 bahwa TNI tidak akan duduk di MPR mulai tahun 2004, lima tahun lebih cepat dari rencana semula, yaitu tahun 2009 menjadi catatan yang sangat positif. Di samping itu, pada tahun 2004 DPR-RI berhasil menuntaskan dan mengesahkan UU No. 34 tahun 2004 mengenai TNI. UU TNI ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemisahan TNI dari panggung politik nasional.
            Demikian juga, dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat dikatakan bahwa reformasi militer sangatlah berhasil. Bahkan militer Indonesia sampai mendapatkan pujian dari militer internasional atas hal ini. Jadi untuk militer Indonesia saat ini, sudah bisa dikatakan bahwa terdapat perubahan yang berbeda dari pada militer saat era orde baru dan reformasi militer saat awal – awal terjadi. Militer dan sipil sekarang ini juga sudah bisa bekerjasama dengan baik untuk melindungi integrasi, ketahanan Negara Indonesia. Mereka saling bekerjasama untuk melindungi Indonesia dari serangan dalam negeri maupun dari luar negeri. Antara sipil dan militer sudah memiliki tugas dan wewenang sendiri-sendiri dalam bidangnya. Dan dalam menjalankan tugas dan wewenang itu, mereka harus saling bekerjasama untuk mewujudkan Indonesia yang lebih damai dan baik lagi. Dengan demikian, Pemerintahan Yudhoyono juga menunjukkan komitmennya dalam penciptaan profesionalisme karena jika kesejahteraan terjamin oleh negara, prajurit tidak perlu mencari tambahan pendapatan lain yang bisa merusak profesionalismenya.
Kekuatan Militer Indonesia belakangan ini terus mengalami peningkatan yang cukup significant hasil program modernisasi militer Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Program modernisasi militer Indonesia ini telah membawa perubahan berarti dengan bertambahnya alutsista-alutsista terbaru yang menambak kekuatan militer Indonesia. Tercatat sepanjang tahun 2014 ini saja ada banyak sekali alutsista TNI yang didatangkan. Belum lagi pada tahun 2015 nanti juga akan banyak sekali alutsista-alutsista baru untuk TNI.
            Kekuatan Militer Indonesia terbaru sekarang ini bisa dikatakan sudah mulai mengejar ketertinggalan dengan tetangga sehingga sudah sejajar dengan tetangga. Bukan tidak mungkin dalam waktu dekat ini, kekuatan militer Indonesia kemungkinan akan menyalip dan mendahuli kekuatan militer negara tetangga. Jika dulu kekuatan militer Indonesia masih cukup tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Singapura dan lainnya, maka dengan kekuatan militer Indonesia terbaru 2015 nanti, sepertinya kekuatan militer Indonesia sudah sejajar dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura tersebut.
            Penambahan kekuatan militer Indonesia melalui penambahan alutista TNI untuk ini bisa dikatakan mengalami peningkatan signifakan di tahun 2014 ini sebagai hasil dari belanja alutsista yang dilaksanakan pemerintah memalui program Minimum Essential Force (MEF) Restra I yang sudah dijalankan pada tahun 2009 sampai 2014 ini. Hasil dari belanja alutsista TNI pada MEF I ini bisa kita lihat dalam event HUT TNI ke-69 yang dirayakan beberapa waktu lalu di Surabaya. Dalam event ini terlihat
jelas kekuatan militer Indonesia yang sebenarnya. Dalam event ini ada banyak sekali alutsista kelas wahid yang baru tiba di Indonesia yang dipamerkan kepada rakyat Indonesia, diantaranya MBT Leopard, KRI Bung Tomo Class, Su-30/27, dan masih banyak lagi alusista-alutsista milik TNI yang dipamerkan kepada umum.
            Namun penambahan kekuatan militer Indonesia ini tidak akan berhenti hanya sampai tahun 2014 saja. Bisa dipastikan bahwa kekuatan militer Indonesia 2015 nanti juga akan mengalami peningkatan terus menerus bahkan sampai dengan tahun 2024 nanti. Jika tidak ada kendala berarti kita akan melihat kekuatan militer Indonesia 2024 yang sangat ditakuti dan disegani oleh negara lainnya.
Sumber: Bram Wiratma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar