Militer adalah sebuah alat yang digunakan guna
mempertahankan kedaulatan sebuah bangsa, tak terkecuali Indonesia memiliki
satuan militer yang di sebut TNI. Fungsi dasar dari satuan militer adalah untuk
menjaga dan mempertahankan negara agar tetap dalam keadaan yag stabil,
menciptakan keadaan aman perang sehingga aktivitas sebuah negara dapat berjalan
normal. Militer bukanlah sebuah instuisi sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan dan keamanan,
dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu yang menduduki
posisi dalam organisasi militer.Tentara
terdiri kelompok orang yang terorganisasi dengan disiplin untuk melakukan
pertempuran yang tentunya berbeda dengan kelompok orang-orang
sipil. Militer adalah orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk
menjaga keamanan dan ketertiban serta melakukan tugas pembelaan negara dan
bangsa guna mempertahankan eksistensi dari sebuah negara.
Pada masa
kepresidenan Jendral Soeharto, militer memiliki posisi dan peran yang sangat
strategis dalam kehidupan politik di Indonesia.Militer merupakan salah satu
instrument utama untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan, khususnya di
dalam menciptakan dan mempertahankan stabilitas politik.Posisi yang strategis
yang dimiliki oleh ABRI menyebabkan banyak sekali permasalahan yang timbul
dalam jalannya perpolitikan di Indonesia pada masa itu.Mulai banyak intervensi
intervensi yang dilakukan oleh pihak militer untuk mempertahankan posisi
strategis mereka dalam pemerintahan.Efek buruk yang ditimbulkan pada masa itu salah
satunya adalah hilangnya demokrasi pada masyarakat, pada masa itu masyarakat
sangat tertekan dengan adanya militer disekitar mereka.Namun untuk mengaburkan
keadaan tersebut pemerintah menciptakan sebuah kondisi yang mana pada
masyarakat dengan tanpa sadar telah menciptakan kondisi militeristis.Tidak
hanya pada mayarakat sipil yang di intervensi oleh pemerintah pada masa itu,
mahasiswa yang meruapakan pengawas jalannya pemerintahan juga di tekan.
Sehingga untuk menghalangi mahasiswa melakukan demo pemerintah menciptakan
peraturan (NKK/BKK) , pemerintah
menciptakan keadaan dinamis di kampus dan membentuk resimen mahasiswa guna
mengawasi jalannya peraturan tersebut.
Partai pengusung
Soeharto adalah partai Golkar, pada masa itu perta Golkar selalu memenagi
pemilihan di setiap daerah. Alasan utama adalah pada masa itu proses kampanye
yang dilakukan oleh Golkar berada dari kota hingga desa, namun utuk partai yang
lain hanya dibolehkan melakukan kampaye pada tingkat desa. Alasan lain adalah
para pegawai sipil (PNS) pada masa itu diwajibakan untuk memilih Golkar,
apabila ditemukan salah satu PNS itu tidak memilih partai Golkar maka dapat
dipastikan dia akan di pecat atau akan diturunkan pangkatnya.Sehingga
pendapatan suara Golkar disetiap daerah mampu melampaui 40% suara.
Orde Baru tampil dengan mengedepankan
dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap
reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik
yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga
politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan
berdasarkan like or dislike dari keputusan para elit negara
telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru
yang militeristik. Kekuatan militer di zaman Soeharto berada dalam satu
komando.Bahkan militer memasuki hampir ke semua ranah kehidupan secara sangat
signifikan.Pos-pos penting selalu dipegang militer, bahkan di dunia bisnis
sekalipun. Hal itu terlihat dari 27 anggota cabinet yang diangkat Suharto pada
Juli 1966 terdapat 12 menteri yang merupakan anggota ABRI, yakni 6 menteri
berasal dari Angkatan Darat. Dan yang menduduki posisi strategis pada saat itu
di tingkat pusat misalnya, dari 20 departemen yang berurusan dengan sipil
terdapat 11 anggota ABRI yang menduduki jabatan Sekretaris Jendral.
Dengan kekuasaan
yang begitu besar, Soeharto harus mencari konsensus dalam banyak hal, melakukan
pertemuan panjang dengan para pemimpin dari berbagai kelompok sosial dan
politik serta sebisa mungkin agar mereka menerima kehendaknya. Hingga akhirnya untuk memperkokoh powernya serta
untuk menciptakan stabilitas politik dalam birokrasi, maka pemerintah Orde Baru
memberikan peran ganda kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda
ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI
dikukuhkan Ketetapan No.XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan dalam
Bidang Pertahanan dan Keamanan, Keputusan Presiden No/132/1967 (24 Agustus
1967) tentang pokok-pokok organisasi Departemen Pertanahan dan Keamanan,
yakni pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang
kekuasaan dan mengatur negara pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara
dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara.. Dwifungsi ABRI”
mengandung arti bahwa ABRI mempunyai dua tugas, yakni sebagai militer, dan juga
sebagai sipil. Dengan kata lain, disamping sebagai kekuatan pengamanan
(stabilisator), juga bertindak sebagai kekuatan penggerak pembangunan
masyarakat (dinamisator).
Pada
masa ini ABRI selain menjadi mitra masyarakat sipil mereka juga masuk ke ranah
politik, sehingga kekuatan ABRI sangat dominan mas itu. Banyak pendapat yang
menyatakan bahwa Dwi fungsi ABRI hanya sebuah dalih yang buat oleh pemerintah
agar militer menempati posisi yang srategis. Pendapat lain menyatakan bahwa
Dwifungsi ABRI ini tidak memiliki landasan yang kuat dan sangat tidak
demokrasi. Menurut pandangan para pengamat luar negeri pada masa ORBA ini
Indonesia tidak ada demokrasi yang diberikan pada masyarakat.penempatan ABRI di
posisi yang sangat strategis menurut pemerintah merupakan sebuah langkah yang
efektif agar masyarakat dapat dilayani secara langsung, namun yang terjadi
adalah sebaliknya, kecenderungan ABRI menggunakan security approach malah banyak memunculkan banyak konflik dalam
masyarakat itu sendiri.
Dalam ABRI ada sebagian yang menganggap
bahwa setiap demonstrasi, unjuk rasa maupun berbagai bentuk penyampaian
aspirasi adalah sebuah hal yang harus ditindak dan dihentikan.Unjuk rasa
apabila tidak menimbulkan sebuah hal yang negatife maka tidak ada pengamanan
dari militer namun hal sebaliknya apabila demokrasi dan kerusuhan yang menuntut
keadilan.Kemungkinan terjadinya bentrok sangatlah besar apabila demontrans
berhadapan dengan militer pada masa itu. Sungguh kita sayangkan militer
menggunakan doktrin mereka “ to killed or
to be killed” dalam menghadapain anak bangsa yang melakukan demo, para anak
bangsa di anggap sebagai musuh oleh ABRI
saat itu. Sanggat disayangkan tindakan mereka, penggunaan doktrin itu
digunakan tidak hanya dalam melawan para separatis namun juga dalam menghadapai
sipil dan mahasiswa yang seharusnya mereka lindungi dalam berispirasi
Posisi militer masa ini sangatlah tidak
sesuai dan tidak seharusnya mereka duduki.Sehingga dalam memberikan suatu
strategi pembangunan mereka juga menggunakan strategi militer. Dalam sebuah
contoh dapat kita ambil ketika mereka membentuk kebijakan AMD(ABRI Masuk Desa)
sekilas tampak bahwa pemerintah memberikan pelayan secara langsung kepada
masyarakat. Namun semua itu hanya sebuah kedok militer guna mengendalikan
setiap sendi dalam masyarakat desa sehingga militer dapat mengawasi segala
bentuk gerakan gerakan yang membahayakan posisi pemerintah.
Pada masa ORBA sanggat berpenggaruh
dalam segala sendi sendi dalam masyarakat.Dalam politik terutama, seperti yang
telah saya sampaikan dalam sebuah contoh diatas bagaimana mereka berpengaruh
dalam pengambilan setiap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah
pusat.Masalah kapasitas lembaga – lembaga yang baru dibuat untuk mengendalikan
sisa kekuatan angkatan bersenjata yang memungkinkan mempunyai jatingan melalui
non-institusional jaringan tersebut adalah politik( Herd dan Tracy 2005).
Setiap kelompok diawasi oleh militer, kelompok yang bertujuan menjadi “watchdog” bagi pemerintah apabila mereka
tidak memiliki keahlian, pengalaman, dana, insfrastruktur, dukungan teknologi
serta informasi dapat menyebabkan lembaga tersebut runtuh dan menjadikan merka
lembaga yang disfungsional.
Dalam perekonomian Indonesia pada masa
ORBA ketahanan pangan Indonesia sangat stabil dengan dibuktikan pada masa itu
masyarakat dapat dikatan sejahtera. Pada masa itu juga indonesia berhasilmencapai masa swasembada pangan,
sampai pula Indonesia melakukan export ke luar negeri. Pada masa itu tidak begitu terlihat bagaimana militer
berpengaruh dalam perekonomian masa itu. Namun dapat dikatan bahwa masa ORBA
Indonesia mencapai swasembada pangan hingga di sibut dengan MACAN ASIA. Saat
masa akhir ORBA tahun 1996 Indonesia masuk ke krisis perekonomian, bahan pangan
dan bahan pokok lainnya melonjak naik, banyak terjadi kelaparan dimana mana
serta utang luar negeri Indonesia mencapai sekian triliun dolar.
Tahun 1998 setelah runtuhnya masa ORBA
terjadilah reformasi – reformasi dalam tubuh militer yang dilakukan oleh presiden-presiden
setelahnya, pada masa BJ. Habibie, Wahid Hasyim(Gus Dur), Mega Wati, Susilo
Bambang Yudhoyono yang memiliki andil dalam reformasi militer di
Indonesia.Berikut ulasan reformasi pasca ORBA.
Pada masa BJ.Habibie pada tahun
1998-1999, merupakan titik awal dalam perkembangan reformasi militer dalam
pemerintah pasca ORBA. Banyak sekali reformasi yang dilakukan oleh Bj habibie
yang berdampak pada angkatan bersenjata secara langsung, menolak pradigma
militer yang tertanam dari korporatisme politik dan control sosial, Meskipun pemotongan ini ke
traditional daerah hegemoni militer, bagaimanapun, pemerintahan Habibie
membuatkonsesi kepada angkatan bersenjata kepemimpinan di bawah Wiranto cukup
luas.Kompromi mencerminkan karakter ambivalen dari perubahan rezim,yang telah
meninggalkan unsure Orde Baru dan memungkinkanangkatan bersenjata untuk terus
memberikan pengaruh terhadap politik yang cukup besar.
Hubungan antara bersenjata dan BJ
habibie adalah salinge ketergantungan satu dengan yang lain. BJ Habibie
mengandalkan dukungan dari kekuatan militer gunan menstabilkan pemerintahannya,
menangkis tantangan sosial legitimasi, dan mencegah petugas individu yang ingin
merusak kebijakan reformasinya dalam tata usaha. Disisi lain militer
menginginkan kebijakan dari presinden agar diberikan kekuasaan konstitusional
untuk menunjuk pimpinan, mendistribusikan sumber daya , serta mnegatur agenda
politik. saling menguntungkan ini menghasilkan sebuah keselarasan dalam pengambilan
kebijakan penting. Sejauh reformasi militer, militer diberikan hak untuk
merumuskan agenda reformasi sendiri. Dengan tibal balik militer akan berjanji
mendukung pemerintahan BJ habibie
Transfer kekuasaan dari masa
soeharto ke BJ Habibie telah memberikan perubahan perubahan yang sangat berarti
dalam relasi militer dengan politik Indonesia. Sehingga dapat
mengidentifikasikan bahwa adanya transfer pemerintah yang otoriter ke
pemerintah yang dikendalikan oleh sipil dengan simbolnya dalah BJ habibie. Perubahan
ini tidak lepas dari banyaknya tuntutan yang dilayangkan oleh masyarakat agar
ABRI melakukan reformasi besar – besaran dalam dirinya dari kelompok kelompok
prodemokrasi atau oleh Alfred Stepen disibut civil society.Hal ini dilakukan agar militer tidak terlibat terlalu
jauh dalam politik Indonesia dan yang telah menghalangi adanya demokrasi selama
lebih dari tiga dekade.Sebagian kalangan beranggapan bahwa militer adalah
sumber dari matinya demokrasi di Indonesia. Militer selama orba juga dianggap sebagai
penyebab berbagai masalah-masalah
pelanggaran HAM yang terjadi di
berbagi daerah terutama daerah daerah Aceh dan Papua. Selain itu militer
terlalu jauh dalam merambah pekerjaan diluar ranah militer.
TNI merespon tuntutan tersebut
dengan serius, dapat dilihat bagai mana para perwira perwira yang sebagai kunci
gerak militer melakukan diskusi tentang
apa yang harus mereka lakukan dalam pemerintahan yang baru. Diskusi tersebut
terfokus pada” redifikasi, rposisi dan
reaktualisasi” peran militer dalam masyarakat.Hasil dari
diskusi internal itu, pada tahap awal dirumuskan ke dalam empat paradigm baru
ABRI sebagaimana diumumkan oleh panglima ABRI Jenderal Wiranto pada akhir
Agustus 1998.Keempat paradigm baru ABRI itu bahkan kemudian menajdi dokumen
resmi keputusan Mabes ABRI sebagaimana diumumkan pada 5 Oktober 1999. Keempat
paradigm baru itu adalah sebagai berikut :
Pertama,
militer akan mengubah posisi dan metode tidak selalu harus di depan dan
mendominsai. Posisi yang mereka dapatkan saat mas orba mereka serahkan pada
institusional yang lebih berkopeten. Kedua mengubah konsep menduduki menjadi
mempengaruhi.Artinya kedudukan militer harus dibatasi tidak sperti masa ORBA
saat mereka memiliki posisi yang strategis.Mempengaruhi disini tidak berarti
dalam mengintervensi, tetapi lebih ke bagaimana kontribusi militer dalam
pembangunan. Ketiga, mengubah cara memengaruhi secara langsung (direct
influence) menjadi tidak langsung (indirect influence). Hal ini bertujuan untuk
menghindarkan militer terlibat dalam kegiatan diluar tugas utama mereka.
Keempat kesediaan untuk secara bersama – sama melakukan pengambilan keputusan
penting kenegaraan dan pemerintahan (political and role sharing) dengan
komponen bangsa lainnya (Haramain, 2004: 125-26 dalam buku Sistem Politik Indonesia,
Prof. Dr. Kacung Marijan). Upaya tersu dilakukan agar ABRI dapat sesuai dengan
tuntuta reformasi yang dilakukan pemerintah yang baru.Salah satu konsentrasi
dalam ABRI adalah membangun ABRI pada masalah masalah pertahanan, pada 1 April
1999, secara resmi ABRI melepaskan polisi dari kesatuan.Ini merupakan jawaban
dari tuntutan yang diajukan oleh masyarakat yang mengkritik selama pemeritahan
ORBA TNI terlalu terlibat jauh dalam masalah keamanan yang seharusnya menjadi
tanggung jawab dari satuan kepolisian.
Pada
bulan November 1998, kebijakan baru ditetapkan tidak akan ada perwira aktif
yang diperbolehkan memegang posisi sipil dalam birokrasi. Dalam kedudukan di
DPR angkatan bersenjata mengurangi jumlahlegislatif mereka, dari 38 delegasi di parlemen(turundari 75 persen )
dan 10 persen dari kursi DPRD. Wiranto pula yang meprakarsai pemisahan polisi
dengan militer semenjak tahun 1962 ini sehingga wiranto dapat mengubah nama
ABRI (angkatan bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI ( Tentara Nasioanal
Indonesia).
Secara
formal TNI menyatakan bahwa perubahan ini bukan dikarenakan sebuah tekanan
tekanan dari oknum oknum tertentu melainkan dikarenakan suatu kesadaran dari
diri militer itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh markas bersat TNI :
“Reformasi
internal TNI lahir, bukanlah karena adanya tekanan dan desakan dari pihak luar,
dan tidak juga karena adanya tuntutan reformasi dan demokratisasi. Tetapi,
lebih dari itu, hakikat reformasi
internal ini merupakan komitmen dan
kesadaran TNI untuk menjawab tantanan
masa depan bangsa dalam era globalisasi yang penuh persaingan antar bangsa”(Mabes, TNI
2001a: 2; huruf cetak tebal diambil asli dari pernyataan itu)
Pandanagn
seperti ini meruapakn upaya TNI dalam memperbaiki citra buruk mereka yang
dianggap sebagai antireformasi, melaikan ikut andil dalam melakukan
perubahan-perubahan.
Setelah masa jabatn BJ Habibie telah
habis dan dilanjutkan oleh presiden Abdurahman Wahid.Warisan yang diberikan
kepada presiden Wahid untuk reformasi militer di Indonesia bisa hampir tidak
berlebihan.Hal ini berlaku untuk kedua kebijakan reformis itu dalam menggugat
dan konsekuensi terjadi kegagalan. Dalam pemerintahan Abdurahman Wahid
meluncurkan reformasi yang paling berani
di beberapa dekade, hanya untuk menyaksikan keruntuhan yang memicu
stagnasi dan kemunduran. Pada
masa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid memberikan kunci untuk memahami
konsolidasi kepercayaan diri militer setelah tahun 2001, kebangkitan ideologi
konservatisme seluruh elit penguasa, dan munculnya pensiunan jenderal sebagai
pesaing politik.Prospek yang lebih baik untuk reformasi sipil-militer
dipercepat.Dimulai dengan pembentukan eksekutif yang dipilih secara demokratis sejak
tahun 1955 dihapus.Selain itu, partisipasi sebagian besar partai politik di
kabinet muncul untuk memberikan "kesatuan tujuan demokrasi di kalangan
sipil elite "yang oleh Diamond dan Plattner dilihat sebagai prasyaraant
untuk suksesnya reformasi militer dalam transisi demokrasi.
TNI juag mengalami kekalahan di
Timor Timur, yang menyebabkan benyak tekanan dari dalam tubuh Indonesia untuk
mereformasi militer. Pada akhirnya presiden memiliki mandat politik tersendiri
mengenai apa yang diperlukan dalam mempercepat reformasi militer. Abdurahman
Wahid secara luas dipandang sebagai demografi dalam pembaruan demokrasi,
meskipun peran yang kontroversi pada masa akhir ORBA.Wiranto dianggap oleh
AbdurahmanWahid sebagai kendala dalam reformasi militer dan dapat menjadi
penyebab kehancuran utama dalam reformasi militer dan menhancurkan penyebaran
jaringan patronase. Dalam masalah ini beliau meminta kepercayaan kepada Matori
Abdul Djalil, ketua PKB NU, ia dimintai oleh Abdurahman Wahid guna memberikan
rekomendasi terhadap perwira yang dapat diharapkan untuk memimpin dan membenai
struktural kelembagaan militer. Dari 21 daftar yang di ajukan oleh Matori Abdul
Jalil yang memdapatkan rekomendasi tertinggi adalah Agus Wirahadikusumah, salh satu anggota lingkaran kecil
reformasi militer pada masa akhir akhir pemerintahan Soeharto.Ia pula tidak
puas dengan lambatnya wiranto dalam faktor internal reformasi.
Faksionalisme
pada masa Abdurahman Wahid belum pernah terjadi sebelunya dan ruang lingkupnya
upaya reformasi dipicu oleh fragmentasi yang paling luas dari elit militer
sejak Mei 1998.Pasukan bersejanta yang berada di bawah Wiranto relatife homogen
pada masa peralihan Habibie, tekana untuk melakukan reformasi membawa perbedaan
dalam paradigm dalam perwira.ketidak sepakatan antara para jenderal yang sebelumnya
berada di bawah wiranto, pada masa lalu telah dipersiapkan untuk melakukan
oposisi oleh Prabowo, sekarang memunculkan beberapa faksi yang berbeda dan
antagonis. Agus Wirahadikusumah, yang menurut Bourchier dan Hadiz (2003: 280)
adalah "mendukung reformasi jauh lebih luas daripada komandannya petugas
siap untuk wajah, "memimpin faksi reformis yang cepat.Tujuan kelompok ini
adalah untuk mempercepat asimilasi struktur militer dan norma-norma dengan
kondisi pemerintahan demokratis yang baru. Untuk mencapai hal ini,
Wirahadikusumah bertujuan untuk berinteraksi dengan para politisi dan
lembaga-lembaga negara, menciptakan citra publik yang menguntungkan di media,
dan mengembangkan hubungan dengan sipil kelompok masyarakat
Para
reformis melakukan definisi terhadap agenda mereka guna melawan saingan utama
mereka, para petugas konservatif yang menentang secara luas para milis
reformasi militer. Dikompromikan sebagian besar jendral memiliki kekuatan
hubungan dengan wiranto, sacara dominan dalam kubu ini adalah bahwa reformasi
yang telah dilakukan semenjak tahun 1998 telah memadai, dan dalam beberapa
kasus bahkan dilakukan dengan cara berlebihan. Banyak petugas di kamp percaya
bahwa pengahapusan Soeharto tidak dapat dilakukan.Militer harus menyesuaikan
diri dengan keadaan yang sekarang, jika mereka mau bertahan hidup meraka harus
ikut dalam rezim reformasi baru.Mereka juga harus memastikan bahwa tidak ada
campur tangan pemerintah dan sipil agar tidak merusak reformasi militer
kedepannya.Jenderala Wiranto telah di hapuskan jabatannya dari pimpinan militer
dan di dalam cabinet.Para loyali wiranto secara bertahap di gantikan oleh para
reformis.Para jenderal konservatif mulai melihat agenda mereka sebagai ancaman,
tetapi juga mulai takut dengan karir mereka masing masing.Kelompok yang di
anggap sebagai reformis mualai melakukan pengorbanan kepentingan TNI guna
tujuan pribadi mereka dan menentang secara keras untuk mendorong Wirahadikusumah
mempercepat perubahan dalam angkatan bersenjata.
Setelah pemberentian terhadapa wiranto,
Djaja Suparman muncul sebagai pemimpin informal-faktor konservatif.Tidak hanya
kehilangan perintah dari kostradnya untuk Wirahadikusumah, tetapi juga menjadi
sasaran tuduhan korupsi yang diprakarsai dan dipublikasikan oleh penggantinya.
Suparman merasa bahwa reputasi dan karir telah hancur, dan ia menuduh
Wirahadikusumah bertanggung jawab untuk ini.
Selama
perjalanan reformasi yang berani dan kegagalan yang cukup daramatis ini,
Presiden Abdurahman Wahid terkena dua realitas antara sipil dan militer di
transisi postuthoritarian Indonesia.Pertama , militer yang berada di ranah
politik naik dan turun secara dengan tingkat konflik dalam sipil. Dengan
dukungan dari partai pengusung dan koalisinya, presiden dengan berani
meluncurkan program reformasi terhadap satuan bersenjata secara ambisus di awal
masa jabatan beliau.Sebagai aliansi berantakan, begitu pula prospek substansial
mereformasi angkatan bersenjata.Rizal Sukma dan Edi Prasetyono (2002: 25)
menyimpulkan bahwa ini "ketegangan berlarut-larut dan persaingan di antara
kekuatan politik sipil dan elit "yang membahayakan" tawar posisi
warga sipil TNI.Studi lain bahwa "meskipun ada komitmen formal untuk
mengakhiri keterlibatan militer pragmatis dan mencari dukungan dari TNI untuk
menghadapi lawan politik mereka” (Anwar 2002: 213).
Kedua, peran sentral yang dimiliki oleh militer dalam
reformasi masa kepresidenan Abdurahman Wahid mengungkapkan terdapat batasan
dari generasi pertama reformasi militer.Kepemimpinan TNI mampu menggunakan
pengaruh politik yang signifikan meskipun lembaga yang sedang berlangsung
depolitisasi nasional angkatan bersenjata, menunjukkan bahwa kekuatan mereka
beristirahat lebih pada fungsi keamanan tradisional mereka dari pada jumlah
kabinet atau kursi parlemen yang mereka miliki.Untuk elit militer, keadaan ini
memberikan bukti bahwa kepentingan yang sempurna dengan struktur dan dinamika
pemerintahan yang demokratis.Tidak ada pemerintah mampu mengasingkan angkatan
bersenjata, dan kelompok-kelompok oposisi teratur mendekati pemimpin militer
untuk menarik mereka ke pihak mereka.Apapun hasil dari konflik politik,
angkatan bersenjata yang tertentu untuk mendapatkan keuntungan dari
mereka.Setelah mengulas reformasi militer pada pemerintahan pasca orde baru,
disini juga mengulas bagaimana reformasi militer saat ini, apakah tetap ada
perubahan, atau malah tetap atau bahkan kembali seperti era orde baru.
Tahap selanjutanya terjadi pada masa
pemerintahan SBY, pada masa ini presiden beranggapan bahwa Jenderal
Ryamizard Ryacudu yang berasal dari pasukan elite senagai salah satu tokoh yang
anti terhadap reformasi dalam tubuh militer.Ryacudu sering berbicara tentang
isu-isu mulai dari kekurangan sipil dalam pemerintahan terhadap ancaman
disintegrasi nasional (Liddle dan Mujani 2005: 124). Sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat, ia tidak hanya sebagai simbol yang terlihat keengganan militer
untuk lebih reformasi, tetapi ia juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi
hasil penting proses kebijakan.
Pada masa
jabatan presiden SBY dapat dianggap pencapaian yang paling berhasil dalam
reformasi militer. Dapat kita ambil contoh sebagai bukti keberhasilan itu dari
kasus pemberontakan GAM, terlihat
bagaimana militer bekerja sama dalam jalannya ketertiban disana. Semua ini
tidak lepas dari pencopotan okmun-oknum yang dianggap persinden sebagai oknum
yang menghalangi jalannya reformasi militer di Indonesia.Karena keberhasilan
ini, militer Indonesia mendapatkan banyak pujian dari militer internasional
atas hal ini.sudah dapat dikatakan bahwa pada saat ini militer Indonesia sudah
terdapat banyak sekali perubahan dari masa ORBA dan pada saat awal awal
reformasi. Sekarang suadah dapat kita saksikan bagai mana sipil dan militer
mulai bekerja sama dan hidup dengan harmonis serta saling membantu dalam
integrasi dan pertahan Indonesia. Kerjasama dalam penjagaan dalam maupun luar
negeri.Sipil maupun militer disini sudah memiliki weweang masing – masing dan
menjalankan wewenang tersebut agar terciptanya sebuah keadaan yang harmonis,
demi terwujudnya keadaan Indonesia yang lebih baik.
Pada tahap awal
reformasi dalam tubuh militer pasca ORBA, dimana didahului dengan bagaimana
keadaan dan posisi militer masa ORBA, sehingga kita dapat membandingkan militer
masa ORBA dengan militer yang telah di reformasi saat ini.patutlah kita
berbangga dengan keberhasilan reformasi militer di Indonesia, dan kita patutlah
mendukung keberhasilan tersebut dengan menjalankan setiap wewenang kita pada
tempatnya dan ikut menjaga keamanan nasional Indonesia.
Sumber: Moh.
Giofani Fahrizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar