Sabtu, 04 Juli 2015

SEJARAH POLITIK DAN MILITER “Dengan referensi dari Jurnal The Politic of Militarry Reform in Indonesia”


Militer adalah sebuah alat yang digunakan guna mempertahankan kedaulatan sebuah bangsa, tak terkecuali Indonesia memiliki satuan militer yang di sebut TNI. Fungsi dasar dari satuan militer adalah untuk menjaga dan mempertahankan negara agar tetap dalam keadaan yag stabil, menciptakan keadaan aman perang sehingga aktivitas sebuah negara dapat berjalan normal. Militer bukanlah sebuah instuisi sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu yang menduduki posisi dalam organisasi militer.Tentara terdiri kelompok orang yang terorganisasi dengan disiplin untuk melakukan pertempuran yang tentunya berbeda dengan kelompok orang-orang sipil. Militer adalah orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban serta melakukan tugas pembelaan negara dan bangsa guna mempertahankan eksistensi dari sebuah negara.
Pada masa kepresidenan Jendral Soeharto, militer memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam kehidupan politik di Indonesia.Militer merupakan salah satu instrument utama untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan, khususnya di dalam menciptakan dan mempertahankan stabilitas politik.Posisi yang strategis yang dimiliki oleh ABRI menyebabkan banyak sekali permasalahan yang timbul dalam jalannya perpolitikan di Indonesia pada masa itu.Mulai banyak intervensi intervensi yang dilakukan oleh pihak militer untuk mempertahankan posisi strategis mereka dalam pemerintahan.Efek buruk yang ditimbulkan pada masa itu salah satunya adalah hilangnya demokrasi pada masyarakat, pada masa itu masyarakat sangat tertekan dengan adanya militer disekitar mereka.Namun untuk mengaburkan keadaan tersebut pemerintah menciptakan sebuah kondisi yang mana pada masyarakat dengan tanpa sadar telah menciptakan kondisi militeristis.Tidak hanya pada mayarakat sipil yang di intervensi oleh pemerintah pada masa itu, mahasiswa yang meruapakan pengawas jalannya pemerintahan juga di tekan. Sehingga untuk menghalangi mahasiswa melakukan demo pemerintah menciptakan peraturan (NKK/BKK)  , pemerintah menciptakan keadaan dinamis di kampus dan membentuk resimen mahasiswa guna mengawasi jalannya peraturan tersebut.
Partai pengusung Soeharto adalah partai Golkar, pada masa itu perta Golkar selalu memenagi pemilihan di setiap daerah. Alasan utama adalah pada masa itu proses kampanye yang dilakukan oleh Golkar berada dari kota hingga desa, namun utuk partai yang lain hanya dibolehkan melakukan kampaye pada tingkat desa. Alasan lain adalah para pegawai sipil (PNS) pada masa itu diwajibakan untuk memilih Golkar, apabila ditemukan salah satu PNS itu tidak memilih partai Golkar maka dapat dipastikan dia akan di pecat atau akan diturunkan pangkatnya.Sehingga pendapatan suara Golkar disetiap daerah mampu melampaui 40% suara.
Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or dislike dari keputusan para elit negara telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Kekuatan militer di zaman Soeharto berada dalam satu komando.Bahkan militer memasuki hampir ke semua ranah kehidupan secara sangat signifikan.Pos-pos penting selalu dipegang militer, bahkan di dunia bisnis sekalipun. Hal itu terlihat dari 27 anggota cabinet yang diangkat Suharto pada Juli 1966 terdapat 12 menteri yang merupakan anggota ABRI, yakni 6 menteri berasal dari Angkatan Darat. Dan yang menduduki posisi strategis pada saat itu di tingkat pusat misalnya, dari 20 departemen yang berurusan dengan sipil terdapat 11 anggota ABRI yang menduduki jabatan Sekretaris Jendral.
Dengan kekuasaan yang begitu besar, Soeharto harus mencari konsensus dalam banyak hal, melakukan pertemuan panjang dengan para pemimpin dari berbagai kelompok sosial dan politik serta sebisa mungkin agar mereka menerima kehendaknya. Hingga akhirnya untuk memperkokoh powernya serta untuk menciptakan stabilitas politik dalam birokrasi, maka pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI dikukuhkan  Ketetapan No.XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan, Keputusan Presiden No/132/1967 (24 Agustus 1967) tentang pokok-pokok organisasi Departemen Pertanahan dan Keamanan, yakni pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara.. Dwifungsi ABRI” mengandung arti bahwa ABRI mempunyai dua tugas, yakni sebagai militer, dan juga sebagai sipil. Dengan kata lain, disamping sebagai kekuatan pengamanan (stabilisator), juga bertindak sebagai kekuatan penggerak pembangunan masyarakat (dinamisator).
   Pada masa ini ABRI selain menjadi mitra masyarakat sipil mereka juga masuk ke ranah politik, sehingga kekuatan ABRI sangat dominan mas itu. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Dwi fungsi ABRI hanya sebuah dalih yang buat oleh pemerintah agar militer menempati posisi yang srategis. Pendapat lain menyatakan bahwa Dwifungsi ABRI ini tidak memiliki landasan yang kuat dan sangat tidak demokrasi. Menurut pandangan para pengamat luar negeri pada masa ORBA ini Indonesia tidak ada demokrasi yang diberikan pada masyarakat.penempatan ABRI di posisi yang sangat strategis menurut pemerintah merupakan sebuah langkah yang efektif agar masyarakat dapat dilayani secara langsung, namun yang terjadi adalah sebaliknya, kecenderungan ABRI menggunakan security approach malah banyak memunculkan banyak konflik dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam ABRI ada sebagian yang menganggap bahwa setiap demonstrasi, unjuk rasa maupun berbagai bentuk penyampaian aspirasi adalah sebuah hal yang harus ditindak dan dihentikan.Unjuk rasa apabila tidak menimbulkan sebuah hal yang negatife maka tidak ada pengamanan dari militer namun hal sebaliknya apabila demokrasi dan kerusuhan yang menuntut keadilan.Kemungkinan terjadinya bentrok sangatlah besar apabila demontrans berhadapan dengan militer pada masa itu. Sungguh kita sayangkan militer menggunakan doktrin mereka “ to killed or to be killed” dalam menghadapain anak bangsa yang melakukan demo, para anak bangsa di anggap sebagai musuh oleh ABRI  saat itu. Sanggat disayangkan tindakan mereka, penggunaan doktrin itu digunakan tidak hanya dalam melawan para separatis namun juga dalam menghadapai sipil dan mahasiswa yang seharusnya mereka lindungi dalam berispirasi
Posisi militer masa ini sangatlah tidak sesuai dan tidak seharusnya mereka duduki.Sehingga dalam memberikan suatu strategi pembangunan mereka juga menggunakan strategi militer. Dalam sebuah contoh dapat kita ambil ketika mereka membentuk kebijakan AMD(ABRI Masuk Desa) sekilas tampak bahwa pemerintah memberikan pelayan secara langsung kepada masyarakat. Namun semua itu hanya sebuah kedok militer guna mengendalikan setiap sendi dalam masyarakat desa sehingga militer dapat mengawasi segala bentuk gerakan gerakan yang membahayakan posisi pemerintah.
Pada masa ORBA sanggat berpenggaruh dalam segala sendi sendi dalam masyarakat.Dalam politik terutama, seperti yang telah saya sampaikan dalam sebuah contoh diatas bagaimana mereka berpengaruh dalam pengambilan setiap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah pusat.Masalah kapasitas lembaga – lembaga yang baru dibuat untuk mengendalikan sisa kekuatan angkatan bersenjata yang memungkinkan mempunyai jatingan melalui non-institusional jaringan tersebut adalah politik( Herd dan Tracy 2005). Setiap kelompok diawasi oleh militer, kelompok yang bertujuan menjadi “watchdog” bagi pemerintah apabila mereka tidak memiliki keahlian, pengalaman, dana, insfrastruktur, dukungan teknologi serta informasi dapat menyebabkan lembaga tersebut runtuh dan menjadikan merka lembaga yang disfungsional.
Dalam perekonomian Indonesia pada masa ORBA ketahanan pangan Indonesia sangat stabil dengan dibuktikan pada masa itu masyarakat dapat dikatan sejahtera. Pada masa itu juga indonesia  berhasilmencapai masa swasembada pangan, sampai pula Indonesia melakukan export ke luar negeri. Pada masa itu  tidak begitu terlihat bagaimana militer berpengaruh dalam perekonomian masa itu. Namun dapat dikatan bahwa masa ORBA Indonesia mencapai swasembada pangan hingga di sibut dengan MACAN ASIA. Saat masa akhir ORBA tahun 1996 Indonesia masuk ke krisis perekonomian, bahan pangan dan bahan pokok lainnya melonjak naik, banyak terjadi kelaparan dimana mana serta utang luar negeri Indonesia mencapai sekian triliun dolar.
Tahun 1998 setelah runtuhnya masa ORBA terjadilah reformasi – reformasi dalam tubuh militer  yang dilakukan oleh presiden-presiden setelahnya, pada masa BJ. Habibie, Wahid Hasyim(Gus Dur), Mega Wati, Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki andil dalam reformasi militer di Indonesia.Berikut ulasan reformasi pasca ORBA.
Pada masa BJ.Habibie pada tahun 1998-1999, merupakan titik awal dalam perkembangan reformasi militer dalam pemerintah pasca ORBA. Banyak sekali reformasi yang dilakukan oleh Bj habibie yang berdampak pada angkatan bersenjata secara langsung, menolak pradigma militer yang tertanam dari korporatisme politik dan control sosial, Meskipun pemotongan ini ke traditional daerah hegemoni militer, bagaimanapun, pemerintahan Habibie membuatkonsesi kepada angkatan bersenjata kepemimpinan di bawah Wiranto cukup luas.Kompromi mencerminkan karakter ambivalen dari perubahan rezim,yang telah meninggalkan unsure Orde Baru dan memungkinkanangkatan bersenjata untuk terus memberikan pengaruh terhadap politik yang cukup besar.
Hubungan antara bersenjata dan BJ habibie adalah salinge ketergantungan satu dengan yang lain. BJ Habibie mengandalkan dukungan dari kekuatan militer gunan menstabilkan pemerintahannya, menangkis tantangan sosial legitimasi, dan mencegah petugas individu yang ingin merusak kebijakan reformasinya dalam tata usaha. Disisi lain militer menginginkan kebijakan dari presinden agar diberikan kekuasaan konstitusional untuk menunjuk pimpinan, mendistribusikan sumber daya , serta mnegatur agenda politik. saling menguntungkan ini menghasilkan sebuah keselarasan dalam pengambilan kebijakan penting. Sejauh reformasi militer, militer diberikan hak untuk merumuskan agenda reformasi sendiri. Dengan tibal balik militer akan berjanji mendukung pemerintahan BJ habibie
Transfer kekuasaan dari masa soeharto ke BJ Habibie telah memberikan perubahan perubahan yang sangat berarti dalam relasi militer dengan politik Indonesia. Sehingga dapat mengidentifikasikan bahwa adanya transfer pemerintah yang otoriter ke pemerintah yang dikendalikan oleh sipil dengan simbolnya dalah BJ habibie. Perubahan ini tidak lepas dari banyaknya tuntutan yang dilayangkan oleh masyarakat agar ABRI melakukan reformasi besar – besaran dalam dirinya dari kelompok kelompok prodemokrasi atau oleh Alfred Stepen disibut civil society.Hal ini dilakukan agar militer tidak terlibat terlalu jauh dalam politik Indonesia dan yang telah menghalangi adanya demokrasi selama lebih dari tiga dekade.Sebagian kalangan beranggapan bahwa militer adalah sumber dari matinya demokrasi di Indonesia. Militer selama orba juga dianggap sebagai penyebab berbagai masalah-masalah  pelanggaran HAM  yang terjadi di berbagi daerah terutama daerah daerah Aceh dan Papua. Selain itu militer terlalu jauh dalam merambah pekerjaan diluar ranah militer.
TNI merespon tuntutan tersebut dengan serius, dapat dilihat bagai mana para perwira perwira yang sebagai kunci gerak militer melakukan diskusi  tentang apa yang harus mereka lakukan dalam pemerintahan yang baru. Diskusi tersebut terfokus pada” redifikasi, rposisi dan reaktualisasi” peran militer dalam masyarakat.Hasil dari diskusi internal itu, pada tahap awal dirumuskan ke dalam empat paradigm baru ABRI sebagaimana diumumkan oleh panglima ABRI Jenderal Wiranto pada akhir Agustus 1998.Keempat paradigm baru ABRI itu bahkan kemudian menajdi dokumen resmi keputusan Mabes ABRI sebagaimana diumumkan pada 5 Oktober 1999. Keempat paradigm baru itu adalah sebagai berikut :
Pertama, militer akan mengubah posisi dan metode tidak selalu harus di depan dan mendominsai. Posisi yang mereka dapatkan saat mas orba mereka serahkan pada institusional yang lebih berkopeten. Kedua mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi.Artinya kedudukan militer harus dibatasi tidak sperti masa ORBA saat mereka memiliki posisi yang strategis.Mempengaruhi disini tidak berarti dalam mengintervensi, tetapi lebih ke bagaimana kontribusi militer dalam pembangunan. Ketiga, mengubah cara memengaruhi secara langsung (direct influence) menjadi tidak langsung (indirect influence). Hal ini bertujuan untuk menghindarkan militer terlibat dalam kegiatan diluar tugas utama mereka. Keempat kesediaan untuk secara bersama – sama melakukan pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan (political and role sharing) dengan komponen bangsa lainnya (Haramain, 2004: 125-26 dalam buku Sistem Politik Indonesia, Prof. Dr. Kacung Marijan). Upaya tersu dilakukan agar ABRI dapat sesuai dengan tuntuta reformasi yang dilakukan pemerintah yang baru.Salah satu konsentrasi dalam ABRI adalah membangun ABRI pada masalah masalah pertahanan, pada 1 April 1999, secara resmi ABRI melepaskan polisi dari kesatuan.Ini merupakan jawaban dari tuntutan yang diajukan oleh masyarakat yang mengkritik selama pemeritahan ORBA TNI terlalu terlibat jauh dalam masalah keamanan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari satuan kepolisian.
Pada bulan November 1998, kebijakan baru ditetapkan tidak akan ada perwira aktif yang diperbolehkan memegang posisi sipil dalam birokrasi. Dalam kedudukan di DPR angkatan bersenjata mengurangi jumlahlegislatif mereka, dari  38 delegasi di parlemen(turundari 75 persen ) dan 10 persen dari kursi DPRD. Wiranto pula yang meprakarsai pemisahan polisi dengan militer semenjak tahun 1962 ini sehingga wiranto dapat mengubah nama ABRI (angkatan bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI ( Tentara Nasioanal Indonesia).
Secara formal TNI menyatakan bahwa perubahan ini bukan dikarenakan sebuah tekanan tekanan dari oknum oknum tertentu melainkan dikarenakan suatu kesadaran dari diri militer itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh markas bersat TNI :
            “Reformasi internal TNI lahir, bukanlah karena adanya tekanan dan desakan dari pihak luar, dan tidak juga karena adanya tuntutan reformasi dan demokratisasi. Tetapi, lebih dari itu, hakikat reformasi internal ini merupakan komitmen dan kesadaran TNI untuk menjawab tantanan masa depan bangsa  dalam era globalisasi yang penuh persaingan antar bangsa”(Mabes, TNI 2001a: 2; huruf cetak tebal diambil asli dari pernyataan itu)
Pandanagn seperti ini meruapakn upaya TNI dalam memperbaiki citra buruk mereka yang dianggap sebagai antireformasi, melaikan ikut andil dalam melakukan perubahan-perubahan.
            Setelah masa jabatn BJ Habibie telah habis dan dilanjutkan oleh presiden Abdurahman Wahid.Warisan yang diberikan kepada presiden Wahid untuk reformasi militer di Indonesia bisa hampir tidak berlebihan.Hal ini berlaku untuk kedua kebijakan reformis itu dalam menggugat dan konsekuensi terjadi kegagalan. Dalam pemerintahan Abdurahman Wahid meluncurkan reformasi yang paling berani  di beberapa dekade, hanya untuk menyaksikan keruntuhan yang memicu stagnasi dan kemunduran. Pada masa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid memberikan kunci untuk memahami konsolidasi kepercayaan diri militer setelah tahun 2001, kebangkitan ideologi konservatisme seluruh elit penguasa, dan munculnya pensiunan jenderal sebagai pesaing politik.Prospek yang lebih baik untuk reformasi sipil-militer dipercepat.Dimulai dengan pembentukan eksekutif yang dipilih secara demokratis sejak tahun 1955 dihapus.Selain itu, partisipasi sebagian besar partai politik di kabinet muncul untuk memberikan "kesatuan tujuan demokrasi di kalangan sipil elite "yang oleh Diamond dan Plattner dilihat sebagai prasyaraant untuk suksesnya reformasi militer dalam transisi demokrasi.
            TNI juag mengalami kekalahan di Timor Timur, yang menyebabkan benyak tekanan dari dalam tubuh Indonesia untuk mereformasi militer. Pada akhirnya presiden memiliki mandat politik tersendiri mengenai apa yang diperlukan dalam mempercepat reformasi militer. Abdurahman Wahid secara luas dipandang sebagai demografi dalam pembaruan demokrasi, meskipun peran yang kontroversi pada masa akhir ORBA.Wiranto dianggap oleh AbdurahmanWahid sebagai kendala dalam reformasi militer dan dapat menjadi penyebab kehancuran utama dalam reformasi militer dan menhancurkan penyebaran jaringan patronase. Dalam masalah ini beliau meminta kepercayaan kepada Matori Abdul Djalil, ketua PKB NU, ia dimintai oleh Abdurahman Wahid guna memberikan rekomendasi terhadap perwira yang dapat diharapkan untuk memimpin dan membenai struktural kelembagaan militer. Dari 21 daftar yang di ajukan oleh Matori Abdul Jalil yang memdapatkan rekomendasi tertinggi adalah Agus Wirahadikusumah, salh satu anggota lingkaran kecil reformasi militer pada masa akhir akhir pemerintahan Soeharto.Ia pula tidak puas dengan lambatnya wiranto dalam faktor internal reformasi.
            Faksionalisme pada masa Abdurahman Wahid belum pernah terjadi sebelunya dan ruang lingkupnya upaya reformasi dipicu oleh fragmentasi yang paling luas dari elit militer sejak Mei 1998.Pasukan bersejanta yang berada di bawah Wiranto relatife homogen pada masa peralihan Habibie, tekana untuk melakukan reformasi membawa perbedaan dalam paradigm dalam perwira.ketidak sepakatan antara para jenderal yang sebelumnya berada di bawah wiranto, pada masa lalu telah dipersiapkan untuk melakukan oposisi oleh Prabowo, sekarang memunculkan beberapa faksi yang berbeda dan antagonis. Agus Wirahadikusumah, yang menurut Bourchier dan Hadiz (2003: 280) adalah "mendukung reformasi jauh lebih luas daripada komandannya petugas siap untuk wajah, "memimpin faksi reformis yang cepat.Tujuan kelompok ini adalah untuk mempercepat asimilasi struktur militer dan norma-norma dengan kondisi pemerintahan demokratis yang baru. Untuk mencapai hal ini, Wirahadikusumah bertujuan untuk berinteraksi dengan para politisi dan lembaga-lembaga negara, menciptakan citra publik yang menguntungkan di media, dan mengembangkan hubungan dengan sipil kelompok masyarakat
Para reformis melakukan definisi terhadap agenda mereka guna melawan saingan utama mereka, para petugas konservatif yang menentang secara luas para milis reformasi militer. Dikompromikan sebagian besar jendral memiliki kekuatan hubungan dengan wiranto, sacara dominan dalam kubu ini adalah bahwa reformasi yang telah dilakukan semenjak tahun 1998 telah memadai, dan dalam beberapa kasus bahkan dilakukan dengan cara berlebihan. Banyak petugas di kamp percaya bahwa pengahapusan Soeharto tidak dapat dilakukan.Militer harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang sekarang, jika mereka mau bertahan hidup meraka harus ikut dalam rezim reformasi baru.Mereka juga harus memastikan bahwa tidak ada campur tangan pemerintah dan sipil agar tidak merusak reformasi militer kedepannya.Jenderala Wiranto telah di hapuskan jabatannya dari pimpinan militer dan di dalam cabinet.Para loyali wiranto secara bertahap di gantikan oleh para reformis.Para jenderal konservatif mulai melihat agenda mereka sebagai ancaman, tetapi juga mulai takut dengan karir mereka masing masing.Kelompok yang di anggap sebagai reformis mualai melakukan pengorbanan kepentingan TNI guna tujuan pribadi mereka dan menentang secara keras untuk mendorong Wirahadikusumah mempercepat perubahan dalam angkatan bersenjata.
            Setelah pemberentian terhadapa wiranto, Djaja Suparman muncul sebagai pemimpin informal-faktor konservatif.Tidak hanya kehilangan perintah dari kostradnya untuk Wirahadikusumah, tetapi juga menjadi sasaran tuduhan korupsi yang diprakarsai dan dipublikasikan oleh penggantinya. Suparman merasa bahwa reputasi dan karir telah hancur, dan ia menuduh Wirahadikusumah bertanggung jawab untuk ini.
            Selama perjalanan reformasi yang berani dan kegagalan yang cukup daramatis ini, Presiden Abdurahman Wahid terkena dua realitas antara sipil dan militer di transisi postuthoritarian Indonesia.Pertama , militer yang berada di ranah politik naik dan turun secara dengan tingkat konflik dalam sipil. Dengan dukungan dari partai pengusung dan koalisinya, presiden dengan berani meluncurkan program reformasi terhadap satuan bersenjata secara ambisus di awal masa jabatan beliau.Sebagai aliansi berantakan, begitu pula prospek substansial mereformasi angkatan bersenjata.Rizal Sukma dan Edi Prasetyono (2002: 25) menyimpulkan bahwa ini "ketegangan berlarut-larut dan persaingan di antara kekuatan politik sipil dan elit "yang membahayakan" tawar posisi warga sipil TNI.Studi lain bahwa "meskipun ada komitmen formal untuk mengakhiri keterlibatan militer pragmatis dan mencari dukungan dari TNI untuk menghadapi lawan politik mereka” (Anwar 2002: 213).
Kedua, peran sentral yang dimiliki oleh militer dalam reformasi masa kepresidenan Abdurahman Wahid mengungkapkan terdapat batasan dari generasi pertama reformasi militer.Kepemimpinan TNI mampu menggunakan pengaruh politik yang signifikan meskipun lembaga yang sedang berlangsung depolitisasi nasional angkatan bersenjata, menunjukkan bahwa kekuatan mereka beristirahat lebih pada fungsi keamanan tradisional mereka dari pada jumlah kabinet atau kursi parlemen yang mereka miliki.Untuk elit militer, keadaan ini memberikan bukti bahwa kepentingan yang sempurna dengan struktur dan dinamika pemerintahan yang demokratis.Tidak ada pemerintah mampu mengasingkan angkatan bersenjata, dan kelompok-kelompok oposisi teratur mendekati pemimpin militer untuk menarik mereka ke pihak mereka.Apapun hasil dari konflik politik, angkatan bersenjata yang tertentu untuk mendapatkan keuntungan dari mereka.Setelah mengulas reformasi militer pada pemerintahan pasca orde baru, disini juga mengulas bagaimana reformasi militer saat ini, apakah tetap ada perubahan, atau malah tetap atau bahkan kembali seperti era orde baru.
Tahap selanjutanya terjadi pada masa pemerintahan SBY, pada masa ini presiden beranggapan bahwa Jenderal Ryamizard Ryacudu yang berasal dari pasukan elite senagai salah satu tokoh yang anti terhadap reformasi dalam tubuh militer.Ryacudu sering berbicara tentang isu-isu mulai dari kekurangan sipil dalam pemerintahan terhadap ancaman disintegrasi nasional (Liddle dan Mujani 2005: 124). Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, ia tidak hanya sebagai simbol yang terlihat keengganan militer untuk lebih reformasi, tetapi ia juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi hasil penting proses kebijakan.
Pada masa jabatan presiden SBY dapat dianggap pencapaian yang paling berhasil dalam reformasi militer. Dapat kita ambil contoh sebagai bukti keberhasilan itu dari kasus pemberontakan  GAM, terlihat bagaimana militer bekerja sama dalam jalannya ketertiban disana. Semua ini tidak lepas dari pencopotan okmun-oknum yang dianggap persinden sebagai oknum yang menghalangi jalannya reformasi militer di Indonesia.Karena keberhasilan ini, militer Indonesia mendapatkan banyak pujian dari militer internasional atas hal ini.sudah dapat dikatakan bahwa pada saat ini militer Indonesia sudah terdapat banyak sekali perubahan dari masa ORBA dan pada saat awal awal reformasi. Sekarang suadah dapat kita saksikan bagai mana sipil dan militer mulai bekerja sama dan hidup dengan harmonis serta saling membantu dalam integrasi dan pertahan Indonesia. Kerjasama dalam penjagaan dalam maupun luar negeri.Sipil maupun militer disini sudah memiliki weweang masing – masing dan menjalankan wewenang tersebut agar terciptanya sebuah keadaan yang harmonis, demi terwujudnya keadaan Indonesia yang lebih baik.
Pada tahap awal reformasi dalam tubuh militer pasca ORBA, dimana didahului dengan bagaimana keadaan dan posisi militer masa ORBA, sehingga kita dapat membandingkan militer masa ORBA dengan militer yang telah di reformasi saat ini.patutlah kita berbangga dengan keberhasilan reformasi militer di Indonesia, dan kita patutlah mendukung keberhasilan tersebut dengan menjalankan setiap wewenang kita pada tempatnya dan ikut menjaga keamanan nasional Indonesia.
Sumber: Moh. Giofani Fahrizal




Tidak ada komentar:

Posting Komentar