Minggu, 12 April 2015

Jean Paul Sartre : Metode Refleksi


Jean Paul Sartre (1905-1980) Ialah seorang filsuf yang diangap mengembangkan aliaran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada di banding esensi (L'existence précède l'essence). Artinya, manusia akan memiliki esensi jika ia telah eksis terlebih dahulu dan esensinya itu akan muncul ketika manusia mati. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Jean Paul Sartre dalam pemikirannya banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger. Dari fenomenologi Husserl, Sartre melihat dua hal penting. Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan-kegiatan atau penyelidikan-penyelidikan filsafat. Kedua, pentingnya filsafat untuk “kembali kepada realitasnya sendiri” (Zu den sachen selbst). Sartre menulis dalam L’imagination bahwa “fenomenologi Husserl dengan gemilang membuka jalan untuk mengadakan studi-studi tentang kesadaran dengan bertolak dari titik nol, tanpa asumsi-asumsi, tanpa hipotesa-hipotesa, dan tanpa teori-teori prafenomenologis”. Menurut Sartre, gejala-gejala dasar manusia seperti kesadaran, emosi, imajinasi, dan fantasi memang harus diselidiki secara langsung, tanpa menggunakan asumsi-asumsi atau teori-teori prafenomenologis yang deterministik dan mekanistik. Akan tetapi, disamping pengakuannya tentang fenomenologi Husserl, ia mengecam idealisme Husserl yang tidak realistik, dimana kesadaran tidak dihubungkan dengan adanya dunia. Dunia (dan eksistensi) oleh Husserl justru direduksi (ditunda) dan tidak pernah ditempatkan lagi sebagai realitas yang menopang kesadaran.  Eksistensialisme mendasarkan diri pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip fenomenologi. Eksistensialisme Sartre terungkap dalam pernyataan bahwa eksistensi mendahului esensi. Artinya, menekankan eksistensiku sebagai subjek berkesadaran, bukan mengutamakan esensi yang berlaku pada diriku, seperti definisi mengenai aku dan segala penjelasan mengenai aku melalui berbagai ilmu pengetahuan. Dengan demikian, eksistensialisme menggarap persoalan mengenai manusia konkret, lokal dan bukan manusia abstrak, konseptual atau pun universal. Sartre menyatakan bahwa terdapat Ada yang transenden. Sartre menunjukkan Ada dalam dua bentuk, yaitu etre-en-soi (being-in-itself; ada-pada-dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself; ada-bagi-dirinya). Etre-en-soi (being-in-itself) identik dengan dirinya. Etre-en-soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, dan tidak negatif. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan, tidak mempunyai kemungkinan atau pun tujuan. Etre-en-soi sama sekali kontingen, artinya ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain. Etre-en-soi disebut sebagai Ada yang tidak sadar (non-conscious-being) sehingga ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. Etre-en-soi adalah benda-benda, objek yang memiliki kesatuan dengan dirinya sendiri. Etre-pour-soi (being-for-itself) bukanlah benda dan berbeda secara radikal dengan etre-en-soi. Etre-pour-soi memiliki ciri khas negativitas. Menurut etre-pour-soi, kesadaran berarti suatu jarak, distansi, non-identitas. Etre-pour-soi adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia adalah makhluk yang membawa ‘ketiadaan’. Aktivitas etre-pour-soi adalah ‘menidak’ apa yang ada. Sartre menyimpulkan bahwa ‘ketiadaan’ muncul dengan ‘menidak’ dunia. Jika dibandingkan kedua cara berada tersebut, etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi. Sedangkan, etre-pour-soi mempunyai relasi dengan etre-en soi, yaitu menidak etre-en-soi. Etre-pour-soi mempunyai keinginan untuk berada sebagai etre-en-soi, yakni mempunyai identitas dan kepenuhan Ada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar