Minggu, 05 April 2015

KAKAO



Kakao merupakan tanaman perkebunan penghasil devisa yang penting bagi negara-negara penghasil kakao termasuk Indonesia karena kakao merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling banyak diperdagangkan di dunia internasional. Nilai ekonomi dan volume perdagangan komoditas kakao terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi kakao dunia meningkat cukup tajam, yaitu dari sekitar 3,2 juta ton pada Tahun 2001 menjadi sekitar 3,7 juta ton pada Tahun 2005 (FAO, 2007).
Indonesia merupakan negara produsen utama kakao dunia. Luas areal tanaman kakao Indonesia tercatat 1,4 juta hektar dengan produksi kurang lebih 500 ribu ton pertahun, menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar ketiga dunia setelah Evory Coast (Pantai Gading) dan Ghana. Pantai Gading, dengan luas area 1,6 Ha dan produksinya sebesar 1,3 juta ton per tahun dan Ghana sebesar 900 ribu ton per tahun.
Secara umum terdapat sekitar 50 negara produsen kakao, yang terbagi dalam 3 benua yaitu Afrika yang menguasai sekitar 65 persen kakao dunia, Asia sekitar 20 persen dan Amerika latin sekitar 15 persen. Sedangkan dari sisi industri (world cocoa brinding), Indonesia berada di nomor tujuh dunia dibawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat sepanjang 5 tahun terakhir. Dengan demikian peluang peningkatan produksi terbuka luas termasuk penambahan nilai tambah produk-produk dari kakao.
Suplai kakao dunia telah meningkat sekitar 2,2% per tahun selama periode 1980/1981 – 2007/2008. Dalam kurun waktu 2003/2004 – 2007/2008, 70% dari total produksi kakao dunia berasal dari Afrika, sementara Amerika dan Asia berkontribusi masing-masing sekitar 10% dan 20%. Tiga negara penghasil kakao terbesar dunia (Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia) menyuplai sekitar 70% dari total produksi dunia. Pada 10 tahun terakhir, produksi kakao Pantai Gading hanya meningkat sekitar 0.88% per tahun sementara dalam kurun waktu yang sama produksi kakao di Ghana dan Indonesia masing-masing meningkat sebesar 6% dan 3.46% per tahun.
Sama halnya dengan produksi kakao di Indonesia berpotensi meningkat dengan pesat dalam beberapa tahun yang akan datang karena adanya perluasan areal pertanaman kakao oleh petani dan kegiatan rehabilitasi pertanaman kakao yang sudah rusak atau tua melalui program Gernas. Daerah sentra produksi kakao Indonesia terutama berada di Sulawesi Selatan (20,7%), Sulawesi Tengah (17,7 %), Sulawesi Tenggara (11,6%), Sulawesi Barat (11,2 %) dan, Sumatera Utara (6,4%) dan daerah lain (10,5%) (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).
Dari uraian di atas memperlihatkan potensi produksi dan peluang pengembangan kakao sesungguhnya sangat besar di Sulawesi Selatan. Namun dalam hal pengolahan biji menjadi produk olahan kakao seperti lemak (butter) dan bubuk (powder) kelihatannya masih menghadapi kendala, di mana kapasitas terpasang industri pengolahan belum terpenuhi. Hal mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1) produksi biji kakao masih di-dominasi untuk peruntukkan ekspor, sehingga pabrik-pabrik pengolahan sulit bersaing dalam hal memperoleh bahan baku; (2) pasar produk dari proses peng-olahan biji kakao masih terbatas, hal ini dapat terkait dengan kondisi pasar domestik, dimana produk olahan dalam negeri berkompetisi dengan produk impor, atau kondisi pasar dunia dimana produk olahan kakao dari Indonesia masih kalah bersaing dengan produk ekspor dari negara lain. Kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi skala usaha pengolahan kakao yang menyebabkan industri pengolahan di Sulawesi Selatan beroperasi pada skala usaha yang belum ekonomis atau tidak efisien.
Biji kakao maupun produk olahan kakao merupakan komoditi yang diperdagangkan secara internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan biji kakao. Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya, ekspor Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Perdagangan luar negeri komoditi tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Luas perkebunan tersebut meningkat menjadi 1.432.558 Ha (tahun 2009). Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar 8 persen. Untuk pengembangan dan peningkatan daya saing produk kakao, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing dengan meningkatkan produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di Indonesia hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai, seperti Malaysia. Pengembangan daya saing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya produksi dan pemasaran, peningkatan mutu dan konsistensi standar mutu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar