Kakao merupakan tanaman perkebunan
penghasil devisa yang penting bagi negara-negara penghasil kakao termasuk
Indonesia karena kakao merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling
banyak diperdagangkan di dunia internasional. Nilai ekonomi dan volume perdagangan
komoditas kakao terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, produksi kakao dunia meningkat cukup tajam,
yaitu dari sekitar 3,2 juta ton pada Tahun 2001 menjadi sekitar 3,7 juta ton
pada Tahun 2005 (FAO, 2007).
Indonesia merupakan negara produsen
utama kakao dunia. Luas areal tanaman kakao Indonesia tercatat 1,4 juta hektar
dengan produksi kurang lebih 500 ribu ton pertahun, menempatkan Indonesia
sebagai negara produsen terbesar ketiga dunia setelah Evory Coast (Pantai
Gading) dan Ghana. Pantai Gading, dengan luas area 1,6 Ha dan produksinya sebesar
1,3 juta ton per tahun dan Ghana sebesar 900 ribu ton per tahun.
Secara umum terdapat sekitar 50 negara
produsen kakao, yang terbagi dalam 3 benua yaitu Afrika yang menguasai sekitar
65 persen kakao dunia, Asia sekitar 20 persen dan Amerika latin sekitar 15
persen. Sedangkan dari sisi industri (world cocoa brinding), Indonesia berada
di nomor tujuh dunia dibawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia
dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat sepanjang 5
tahun terakhir. Dengan demikian peluang peningkatan produksi terbuka luas
termasuk penambahan nilai tambah produk-produk dari kakao.
Suplai kakao dunia telah meningkat
sekitar 2,2% per tahun selama periode 1980/1981 – 2007/2008. Dalam kurun waktu
2003/2004 – 2007/2008, 70% dari total produksi kakao dunia berasal dari Afrika,
sementara Amerika dan Asia berkontribusi masing-masing sekitar 10% dan 20%.
Tiga negara penghasil kakao terbesar dunia (Pantai Gading, Ghana, dan
Indonesia) menyuplai sekitar 70% dari total produksi dunia. Pada 10 tahun
terakhir, produksi kakao Pantai Gading hanya meningkat sekitar 0.88% per tahun sementara
dalam kurun waktu yang sama produksi kakao di Ghana dan Indonesia masing-masing
meningkat sebesar 6% dan 3.46% per tahun.
Sama halnya dengan produksi kakao di
Indonesia berpotensi meningkat dengan pesat dalam beberapa tahun yang akan
datang karena adanya perluasan areal pertanaman kakao oleh petani dan kegiatan
rehabilitasi pertanaman kakao yang sudah rusak atau tua melalui program Gernas.
Daerah sentra produksi kakao Indonesia terutama berada di Sulawesi Selatan
(20,7%), Sulawesi Tengah (17,7 %), Sulawesi Tenggara (11,6%), Sulawesi Barat
(11,2 %) dan, Sumatera Utara (6,4%) dan daerah lain (10,5%) (Suryani dan
Zulfebriansyah, 2007).
Dari uraian di atas memperlihatkan
potensi produksi dan peluang pengembangan kakao sesungguhnya sangat besar di
Sulawesi Selatan. Namun dalam hal pengolahan biji menjadi produk olahan kakao
seperti lemak (butter) dan bubuk (powder) kelihatannya masih menghadapi
kendala, di mana kapasitas terpasang industri pengolahan belum terpenuhi. Hal
mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1) produksi biji kakao masih
di-dominasi untuk peruntukkan ekspor, sehingga pabrik-pabrik pengolahan sulit
bersaing dalam hal memperoleh bahan baku; (2) pasar produk dari proses
peng-olahan biji kakao masih terbatas, hal ini dapat terkait dengan kondisi
pasar domestik, dimana produk olahan dalam negeri berkompetisi dengan produk
impor, atau kondisi pasar dunia dimana produk olahan kakao dari Indonesia masih
kalah bersaing dengan produk ekspor dari negara lain. Kedua faktor tersebut
dapat mempengaruhi skala usaha pengolahan kakao yang menyebabkan industri
pengolahan di Sulawesi Selatan beroperasi pada skala usaha yang belum ekonomis
atau tidak efisien.
Biji kakao maupun produk olahan kakao
merupakan komoditi yang diperdagangkan secara internasional. Indonesia termasuk
negara pengekspor penting dalam perdagangan biji kakao. Sedangkan untuk produk
olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya, ekspor Indonesia belum menunjukkan
perkembangan yang berarti. Perdagangan luar negeri komoditi tersebut sejalan
dengan kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang diterapkan oleh
pemerintah Indonesia. Luas perkebunan tersebut meningkat menjadi 1.432.558 Ha
(tahun 2009). Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di Indonesia
dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar 8 persen. Untuk pengembangan
dan peningkatan daya saing produk kakao, pemerintah telah mengeluarkan
serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan daya
saing dengan meningkatkan produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao
di Indonesia hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan
negara-negara produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan baku
yang memadai, seperti Malaysia. Pengembangan daya saing diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar
ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Peningkatan daya
saing dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya produksi dan pemasaran,
peningkatan mutu dan konsistensi standar mutu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar