Minggu, 19 April 2015

Karakteristik Rahn Emas



Di dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 7 /DPbS Jakarta, 29 Februari 2012 disebutkan bahwa karakteristik Produk Qardh Beragun Emas, bahwa tujuan dan produk qardh dengan beragun emas untuk membiayai keperluan dana jangka pendek atau tambahan modal kerja jangka pendek untuk golongan nasabah Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang­Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta tidak dimaksudkan untuk tujuan investasi. Akad yang digunakan adalah akad qardh, untuk pengikatan pinjaman dana yang disediakan Bank Syariah atau UUS kepada nasabah, akad rahn, untuk pengikatan emas sebagai agunan atas pinjaman dana; dan akad ijarah, untuk pengikatan pemanfaatan jasa penyimpanan dan pemeliharaan emas sebagai agunan pinjaman dana.
Biaya yang dapat dikenakan oleh Bank Syariah atau UUS kepada nasabah antara lain biaya administrasi, biaya asuransi, dan biaya penyimpanan dan pemeliharaan. Penetapan besarnya biaya penyimpanan dan pemeliharaan agunan emas didasarkan pada berat agunan emas dan tidak dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diterima nasabah. Sumber dana dapat berasal dari bagian modal, keuntungan yang disisihkan, dan/atau dana pihak ketiga. Pendapatan dan penyimpanan dan pemeliharaan emas yang berasal dari produk Qardh Beragun Emas yang cumber dananya berasal dari dana pihak ketiga harus  dibagikan kepada nasabah penyimpan dana. Pemberian Qardh Beragun Emas wajib didukung kebijakan dan prosedur (Standard Operating Procedure/SOP) tertulis secara memadai, termasuk penerapan manajemen risiko. Bank Syariah atau UUS wajib menjelaskan secara lisan atau tertulis (transparan) kepada nasabah antara lain karakteristik produk antara lain fitur, risiko, manfaat, biaya, persyaratan, dan penyelesaian apabila terdapat sengketa; hak dan kewajiban nasabah termasuk apabila terjadi eksekusi agunan emas.
Akad qardh dalam fiqih Islam disebut "ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan". Secara etimologi rahn berarti (tetap dan lama) yakni tetap atau berarti (pengekangan dan keharusan), Sedangkan menurut terminologi syara' rahn berarti -34P - "Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut". Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu. Ada yang menyatakan kata Rahn bermakna tertahan dengan dasar firman Allah : "Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya" (QS. 74:38) kata Rahienah bermakna tertahan. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. Ibnu Faaris menyatakan: Huruf Raa, Haa' dan Nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini adalah kata Al Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan. Adapun definisi Rahn dalam istilah Syari'at, dijelaskan para ulama dengan ungkapan : menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk dilunasi dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu melunasinya, Atau harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk dilunasi (hutang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut apabila tidak mampu melunasinya dari orang yang berhutang. memberikan harta sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai pelunasan hutang dengan harta atau nilai harta tersebut bila pihak berhutang tidak mampu melunasinya.
Sedangkan Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinidikan rahn (gadai) :
a.                    Menurut ulama Syafi 'iyah :
"Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang".
b.                   Menurut ulama Hanabilah :
"Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman".
Ar-Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dari fasilitas pembayaran yang diberikan atau menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya".
Ar-Rahn didasarkan atas akad atau perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan sebagai harta yang bersifat mengikat, atau menjadikan sesuatu (harta benda/emas) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya atan tnezzLikan materi (harta benda/emas) sebagt jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar man apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.
Hal sebagaimana tersebut di atas menunjukkan bahwa emus ya dijadikan sebagai agunan gadai tersebut sebagai suatu penambah kepastian stas kemampuan pemberi gadai untuk membayar pinjamannya melalui Prinsip Syariah. Gadai bagi murtahin  (pemberi utang sebagai jaminan utang dari rahin (orang yang berutang debitur). Barang jaminan itu baru dapat dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui oleh kedua belah pihak utang tidak dapat dilunasi oleh debitur. Oleh sebab itu, hak kreditur terhadap barang jaminan hanya apabila debitur tidak melunasi utangnya.
Perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti "tetap", "berlangsung" dan "menahan". Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pendangan syara' sebagai tanggungan utang; dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagaian utang dapat diterima (Basyir, 1983: 50).
Dalam buku lain juga didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pendangan syari'ah sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu.
Menurut ta'rif yang lain dalam bukunya dikemukakan sebagai berikut: "menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimannya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.
Sedangkan menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshori dalam kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn sebagai berikut: "Menjadikan barang yang bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari harga benda itu bila utang tidak dibayar". Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli GhAyati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: "Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat is menuntut haknya."
Rahn menurut sifatnya, secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin ) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin  kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikan. Rahn juga termasuk akad ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu), sesuai kaidah (tidak sempurna tabarru, kecuali setelah pemegangan).
Sebagaui suatu transaksi, maka rahn atau gadai harus memenuhi rukun dan syarat. Pada umumnya aspek hukum keperdataan Islam (fiqh mu'amalah) dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, sewa-menyewa, gadai maupun yang semacamnya mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi gadai. Demikian juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi gadai. Hal dimaksud diungkapkan sebagai berikut :
Dalam fikih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arba'ah) diungkapkan rukun gadai sebagai berikut.
a. Aqid (orang yang Berakad)
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi 2 (dua) arah, (a) Rahin (orang yang menggadaikan barangnya), dan (b) Murtahin  (orang yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau penerima gadai. Hal dimaksud, didasari oleh shighat, yaitu ucapan berupa ijab qabul (serah-terima antara penggadai dengan penerima gadai). Untuk melaksanakan akad rahn yang memenuhi 'criteria syariat Islam, sehingga akad yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih harus memenuhi beberapa rukun dan syarat.
b. Ma'aud 'alaih (Barang yang Diakadkan)
Ma'qud 'alaih meliputi 2 (dua) hal, atau utang yang karenanya diadakan akad rahn. Menurut ulama Hanafi untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn, masih diperlukan apa yang disebut penguasaan barang oleh kreditor (al­Qabdh), sementara kedua pihak yang melaksanakan akad, dan harta yang dijadikan agunan atau jaminan, dalam pandangan ulama Hanafi lebih tepat dimasukkan sebagai syarat rahn bukan rukun rahn. Menyangkut hal ini, penulis lebih sepakat pada pendapat pertama, yang mengatakan bahwa 3 (tiga) hal terpenting dalam perjanjian rahn adalah aqid, ma'qud 'alaih; dan shighat dari akad, yang berupa ijab qabul antara 2 (dua) orang yang berakad. Karena itu, syarat shighat menurut mazhab Hanafi adalah is tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan tertentu atau dengan sesuatu di masa depan, mengingat akad rahn sama halnya akad jual beli. Apabila akad dimaksud disertai dengan persyaratan tertentu, atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syarat itu menjadi batal meski akadnya tetap sah. Misalnya, debitor mensyaratkan perihal tenggang waktu pelunasan utang, dan manakala tenggang waktunya habis, Sedangkan utangnya belum dilunasi maka rahn diperpanjang satu bulan. Demikian juga bila kreditor mensyaratkan barang agunan untuk dapat dimanfaatkannya.
Mengenai status barang gadai, para ulama fikih menyatakan bahwa rahn baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan penerima gadai (murtahin /kreditor), dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh pemberi gadai (rahin debitor). Kesempurnaan rahn oleh ulama disebut sebagai al-qabdh al-marhun barang jaminan dikuasai secara hukum, apabila agunan itu telah dikuasai oleh kreditor maka akad rahn itu mengikat kedua belah pihak. Karena itu, status hukum barang gadai terbentuk pada syarat terjadinya akad atau kontrak utang-piutang yang dibarengi dengan penyerahan jaminan. Misalnya, ketika seorang penjual meminta pembeli untuk menyerahkan jaminan seharga tertentu untuk pembelian suatu barang dengan kredit.
Suatu gadai menjadi sah sesudah terjadinya utang. Para ulama menilai hal dimaksud sah karena utang memang tetap menuntut pengambilan jaminan. Maka dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan. Hal itu, menunjukkan bahwa status gadai dapat terbentuk sebelum muncul utang, misalnya seorang berkata; Saya gadaikan barang ini dengan uang pinjaman dari Anda sebesar 10 juta rupiah" Gadai tersebut sah, menurut pendapat mazhab Maliki dan mazhab Hanafi seperti yang dikutip oleh Muhammad Syafi'i Antonio. Karena itu, barang tersebut merupakan jaminan bagi hak tertentu.
Pedoman barang yang boleh digadaikan adalah tiap-tiap barang yang boleh (sah) dijualbelikan, maka boleh digadaikan untuk menanggung beberapa utang, ketika utang tersebut telah tetap berada dalam tanggungan (waktu yang telah dijanj ikan).
Beberapa utang adalah mengecualikan status keadaan barang-barang, maka tidak sah menggadaikan barang yang statusnya di-ghashab dan juga barang pinjaman dan lain dari barang-barang yang dipertanggungkan.
Perihal jenis barang gadai, jenis barang gadai (marhun) adalah barang yang dijadikan agunan oleh rahin sebagai pengikat utang, dan dipegang oleh murtahin  sebagai jaminan utang. Menurut ulama Hanafi, barang-barang yang dapat digadaikan adalah barang-barang yang memenuhi kategori:
1.                   Barang-barang yang dapat dijual.
2.                   Barang gadai harus berupa harta menurut pandangan syara', tidak sah menggadaikan sesuatu yang bukan harta, seperti bangkai, hasil tangkapan di Tanah Haram, arah, anjing, serta babi. Semua barang ini tidak diperbolehkan oleh syara' dikaemakan berstatus haram.
3.                   Barang gadai tersebut harus diketahui, tidak boleh menggadaikan sesuatu yang majhul tidak dapat dipastikan ada atau tidaknya)
4.                   Barang tersebut merupakan milik rahin.

Selain hal-hal tersebut di atas, ada beberapa Prinsip yang harus diperhatikan dalam akad rahn, di antaranya sebagai berikut.
a)                   Akad Rahn adalah Akad Tabarru'
Gadai (rahn) merupakan salah satu akad tabarru' (kebajikan)
Gadai (rahn) merupakan salah satu akad tabarru' (kebajikan). Sebab, pinjaman yang diberikan oleh murtahin  tidak dihadapkan dengan sesuatu yang lain. Berbeda dengan jual beli yang merupakan akad muawadah (pertukaran), di antara penjual dan pembeli yang melakukan pertukaran harta dengan barang, atau barang dengan barang.
b)                  Hak dalam Gadai (Rahn) Bersifat Menyeluruh
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa rahn berkaitan dengan keseluruhan hak barang yang digadaikan dan bagian lainnya, yaitu jika seseorang menggadaikan sejumlah barang tertentu kemudian is melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai masih tetap di tangan penerima gadai sampai orang yang menggadaikan itu melunasi utangnya. Alasannya, bahwa barang tersebut tertahan oleh sesuatu hak, dan oleh karena itu tertahan pula oleh setiap bagian dari hak tersebut.
c)                   Musnahnya Barang Gadai
Para ulama berselisih pendapat tentang siapa yang harus bertanggung jawab apabila barang gadai (marhun) musnah atau rusak di tangan penerima gadai. Imam Syafi'i, ahmad Abu Saur, dan kebanyakan ulama hadis berpendapat, bahwa penerima gadai tidak bertanggung jawab atas musnahnya barang gadai.
d)                  Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo
Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo adalah sah. Hal itu, sesuai dengan maksud dari pengertian hakikat gadai itu sendiri, yaitu sebagai kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya dari orang yang berpiutang.
e)                   Pemeliharaan Barang Gadai
Pemeliharaan dan penguasaan terhadap barang yang digadaikan pada garis besarnya disepakati sebagai syarat gadai, hal tersebut berdasarkan firman Allah SWT yang artinya:
Dan bila kamu tidak dapati seseorang penulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). (QS. Al-Baqarah (2) Ayat 283).
f)                      Pemanfaatan Barang Gadai
Pemanfaatan barang gadai merupakan tuntutan syara' dalam memelihara
keutuhan fisik dan kemanfaatannya. Sebagai contoh dapat diungkapkan misalnya kendaraan bermotor kalau tidak dipakai dan dibiarkan untuk tidak dihidupkan maka dapat membuat mesinnya berkarat dan akhirnya menjadi rusak, begitu juga dengan tanah, sawah, rumah, dan sebagainya. Berdasarkan logika hukum dimaksud, maka pemanfaatan barang gadai bertujuan untuk memelihara keutuhan nilai dari barang gadai. Permasalahannya adalah pihak manakah yang berhak atas pemanfaatan barang gadai tersebut.
Gadai didasarkan atas transaksi atau akad pinjam meminjam, yang berarti dapat berakhir. Mengenai berakhirnya transaksi (Akad) gadai, akad dalam transaksi rahn (gadai) akan berakhir bila terpenuhi beberapa hal, yaitu (a) barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya, (b) rahin membayar utangnya, (c) barang gadai dijual dengan perintah hakim atas permintaan murtahin , (d) pembebasan utang dengan cara apa pun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin , (e) pembatalan oleh murtahin , meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin, (f) rusaknya barang rahn bukan oleh tindakan/penggunaan murtahin , dan (g) memanfaatkan barang rahn sebagai penyewaan, hibah, atau shadaqah baik dari pihak rahin maupun murtahin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar