Di dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 7 /DPbS
Jakarta, 29 Februari 2012 disebutkan bahwa karakteristik Produk Qardh Beragun
Emas, bahwa tujuan dan produk qardh dengan beragun emas untuk membiayai
keperluan dana jangka pendek atau tambahan modal kerja jangka pendek untuk
golongan nasabah Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta tidak
dimaksudkan untuk tujuan investasi. Akad yang digunakan adalah akad qardh,
untuk pengikatan pinjaman dana yang disediakan Bank Syariah atau UUS kepada
nasabah, akad rahn, untuk pengikatan emas
sebagai agunan atas pinjaman dana; dan akad ijarah, untuk pengikatan
pemanfaatan jasa penyimpanan dan pemeliharaan emas sebagai agunan pinjaman
dana.
Biaya yang dapat dikenakan oleh Bank Syariah atau UUS
kepada nasabah antara lain biaya administrasi, biaya asuransi, dan biaya
penyimpanan dan pemeliharaan. Penetapan besarnya biaya penyimpanan dan
pemeliharaan agunan emas didasarkan pada berat agunan emas dan tidak dikaitkan
dengan jumlah pinjaman yang diterima nasabah. Sumber dana dapat berasal dari
bagian modal, keuntungan yang disisihkan, dan/atau dana pihak ketiga.
Pendapatan dan penyimpanan dan pemeliharaan emas yang berasal dari produk Qardh
Beragun Emas yang cumber dananya berasal dari dana pihak ketiga harus dibagikan kepada nasabah penyimpan dana.
Pemberian Qardh Beragun Emas wajib didukung kebijakan dan prosedur (Standard
Operating Procedure/SOP) tertulis secara memadai, termasuk penerapan manajemen
risiko. Bank Syariah atau UUS wajib menjelaskan secara lisan atau tertulis
(transparan) kepada nasabah antara lain karakteristik produk antara lain fitur,
risiko, manfaat, biaya, persyaratan, dan penyelesaian apabila terdapat
sengketa; hak dan kewajiban nasabah termasuk apabila terjadi eksekusi agunan
emas.
Akad qardh dalam fiqih Islam disebut "ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis
perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan". Secara
etimologi rahn berarti (tetap dan
lama) yakni tetap atau berarti (pengekangan dan keharusan), Sedangkan menurut
terminologi syara' rahn berarti -34P
- "Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan
sebagai pembayaran dari barang tersebut". Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu. Ada
yang menyatakan kata Rahn bermakna
tertahan dengan dasar firman Allah : "Tiap-tiap diri bertanggung jawab
(tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya" (QS. 74:38) kata Rahienah
bermakna tertahan. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena
yang tertahan itu tetap ditempatnya. Ibnu Faaris menyatakan: Huruf Raa, Haa'
dan Nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan
hak atau tidak. Dari kata ini adalah kata Al Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan. Adapun definisi Rahn dalam istilah Syari'at, dijelaskan
para ulama dengan ungkapan : menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang
untuk dilunasi dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu melunasinya, Atau
harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk dilunasi (hutang tersebut) dari
nilai barang jaminan tersebut apabila tidak mampu melunasinya dari orang yang
berhutang. memberikan harta sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai
pelunasan hutang dengan harta atau nilai harta tersebut bila pihak berhutang
tidak mampu melunasinya.
Sedangkan Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan hutang dengan barang
yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai
barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinidikan rahn (gadai) :
a.
Menurut ulama Syafi 'iyah :
"Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang
dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang".
b.
Menurut ulama Hanabilah :
"Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar
harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya
kepada pemberi pinjaman".
Ar-Rahn
merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan adalah jaminan
tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang
diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dari fasilitas pembayaran
yang diberikan atau menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak
(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik
seluruhnya maupun sebagiannya".
Ar-Rahn
didasarkan atas akad atau perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan
dari fasilitas pembayaran yang diberikan sebagai harta yang bersifat mengikat,
atau menjadikan sesuatu (harta benda/emas) sebagai jaminan terhadap hak
(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik
seluruhnya maupun sebagiannya atan tnezzLikan materi (harta benda/emas) sebagt
jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar man apabila orang yang berutang
tidak bisa membayar utangnya itu.
Hal sebagaimana tersebut di atas menunjukkan bahwa emus
ya dijadikan sebagai agunan gadai tersebut sebagai suatu penambah kepastian
stas kemampuan pemberi gadai untuk membayar pinjamannya melalui Prinsip
Syariah. Gadai bagi murtahin (pemberi utang sebagai jaminan utang dari
rahin (orang yang berutang debitur). Barang jaminan itu baru dapat
dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui oleh kedua belah pihak utang
tidak dapat dilunasi oleh debitur. Oleh sebab itu, hak kreditur terhadap barang
jaminan hanya apabila debitur tidak melunasi utangnya.
Perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan
utang. Kata rahn menurut bahasa
berarti "tetap", "berlangsung" dan "menahan".
Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut
pendangan syara' sebagai tanggungan utang; dengan adanya tanggungan utang itu
seluruh atau sebagaian utang dapat diterima (Basyir, 1983: 50).
Dalam buku lain juga didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak
yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang
bernilai ekonomis pada pendangan syari'ah sebagai kepercayaan atas hutang yang
memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian dari barang
itu.
Menurut ta'rif yang lain dalam bukunya dikemukakan
sebagai berikut: "menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimannya. Barang yang ditahan tersebut memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana
dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan hutang atau gadai.
Sedangkan menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshori dalam
kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn
sebagai berikut: "Menjadikan barang yang bersifat harta sebagai kepercayaan
dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari harga benda itu bila utang tidak
dibayar". Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya
Kifayatul Ahyar Fii Halli GhAyati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: "Akad/perjanjian
utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan
yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat is
menuntut haknya."
Rahn menurut sifatnya, secara umum rahn dikategorikan
sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin ) tidak ditukar dengan sesuatu.
Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas
barang yang digadaikan. Rahn juga
termasuk akad ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang
dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk
akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu), sesuai kaidah (tidak sempurna
tabarru, kecuali setelah pemegangan).
Sebagaui suatu transaksi, maka rahn atau gadai harus memenuhi rukun dan syarat. Pada umumnya aspek
hukum keperdataan Islam (fiqh mu'amalah)
dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, sewa-menyewa, gadai maupun
yang semacamnya mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi
gadai. Demikian juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan
transaksi gadai. Hal dimaksud diungkapkan sebagai berikut :
Dalam fikih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arba'ah) diungkapkan rukun gadai sebagai
berikut.
a. Aqid (orang
yang Berakad)
Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi 2 (dua)
arah, (a) Rahin (orang yang menggadaikan barangnya), dan (b) Murtahin (orang yang berpiutang dan menerima barang
gadai), atau penerima gadai. Hal dimaksud, didasari oleh shighat, yaitu ucapan berupa ijab
qabul (serah-terima antara penggadai dengan penerima gadai). Untuk
melaksanakan akad rahn yang memenuhi
'criteria syariat Islam, sehingga akad yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau
lebih harus memenuhi beberapa rukun dan syarat.
b. Ma'aud 'alaih (Barang yang Diakadkan)
Ma'qud 'alaih meliputi 2 (dua) hal, atau utang yang
karenanya diadakan akad rahn. Menurut
ulama Hanafi untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn, masih diperlukan apa yang disebut penguasaan barang oleh
kreditor (alQabdh), sementara kedua
pihak yang melaksanakan akad, dan harta yang dijadikan agunan atau jaminan,
dalam pandangan ulama Hanafi lebih tepat dimasukkan sebagai syarat rahn bukan rukun rahn. Menyangkut hal ini, penulis lebih sepakat pada pendapat
pertama, yang mengatakan bahwa 3 (tiga) hal terpenting dalam perjanjian rahn adalah aqid, ma'qud 'alaih; dan shighat dari akad, yang berupa ijab qabul
antara 2 (dua) orang yang berakad. Karena itu, syarat shighat menurut mazhab
Hanafi adalah is tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan tertentu atau dengan
sesuatu di masa depan, mengingat akad rahn
sama halnya akad jual beli. Apabila akad dimaksud disertai dengan persyaratan
tertentu, atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syarat itu menjadi
batal meski akadnya tetap sah. Misalnya, debitor mensyaratkan perihal tenggang
waktu pelunasan utang, dan manakala tenggang waktunya habis, Sedangkan utangnya
belum dilunasi maka rahn diperpanjang
satu bulan. Demikian juga bila kreditor mensyaratkan barang agunan untuk dapat
dimanfaatkannya.
Mengenai status barang gadai, para ulama fikih menyatakan
bahwa rahn baru dianggap sempurna
apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan penerima
gadai (murtahin /kreditor), dan uang
yang dibutuhkan telah diterima oleh pemberi gadai (rahin debitor). Kesempurnaan
rahn oleh ulama disebut sebagai al-qabdh al-marhun barang jaminan
dikuasai secara hukum, apabila agunan itu telah dikuasai oleh kreditor maka
akad rahn itu mengikat kedua belah
pihak. Karena itu, status hukum barang gadai terbentuk pada syarat terjadinya
akad atau kontrak utang-piutang yang dibarengi dengan penyerahan jaminan.
Misalnya, ketika seorang penjual meminta pembeli untuk menyerahkan jaminan
seharga tertentu untuk pembelian suatu barang dengan kredit.
Suatu gadai menjadi sah sesudah terjadinya utang. Para
ulama menilai hal dimaksud sah karena utang memang tetap menuntut pengambilan
jaminan. Maka dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan. Hal itu,
menunjukkan bahwa status gadai dapat terbentuk sebelum muncul utang, misalnya
seorang berkata; Saya gadaikan barang ini dengan uang pinjaman dari Anda sebesar
10 juta rupiah" Gadai tersebut sah, menurut pendapat mazhab Maliki dan
mazhab Hanafi seperti yang dikutip oleh Muhammad Syafi'i Antonio. Karena itu,
barang tersebut merupakan jaminan bagi hak tertentu.
Pedoman barang yang boleh digadaikan adalah tiap-tiap
barang yang boleh (sah) dijualbelikan, maka boleh digadaikan untuk menanggung
beberapa utang, ketika utang tersebut telah tetap berada dalam tanggungan
(waktu yang telah dijanj ikan).
Beberapa utang adalah mengecualikan status keadaan
barang-barang, maka tidak sah menggadaikan barang yang statusnya di-ghashab dan juga barang pinjaman dan
lain dari barang-barang yang dipertanggungkan.
Perihal jenis barang gadai, jenis barang gadai (marhun)
adalah barang yang dijadikan agunan oleh rahin
sebagai pengikat utang, dan dipegang oleh murtahin
sebagai jaminan utang. Menurut ulama
Hanafi, barang-barang yang dapat digadaikan adalah barang-barang yang memenuhi
kategori:
1.
Barang-barang yang
dapat dijual.
2.
Barang gadai harus
berupa harta menurut pandangan syara', tidak sah menggadaikan sesuatu yang
bukan harta, seperti bangkai, hasil tangkapan di Tanah Haram, arah, anjing,
serta babi. Semua barang ini tidak diperbolehkan oleh syara' dikaemakan
berstatus haram.
3.
Barang gadai
tersebut harus diketahui, tidak boleh menggadaikan sesuatu yang majhul tidak
dapat dipastikan ada atau tidaknya)
4.
Barang tersebut
merupakan milik rahin.
Selain hal-hal tersebut di atas, ada beberapa Prinsip
yang harus diperhatikan dalam akad rahn,
di antaranya sebagai berikut.
a)
Akad Rahn adalah Akad Tabarru'
Gadai (rahn)
merupakan salah satu akad tabarru'
(kebajikan)
Gadai (rahn)
merupakan salah satu akad tabarru'
(kebajikan). Sebab, pinjaman yang diberikan oleh murtahin tidak dihadapkan
dengan sesuatu yang lain. Berbeda dengan jual beli yang merupakan akad muawadah
(pertukaran), di antara penjual dan pembeli yang melakukan pertukaran harta
dengan barang, atau barang dengan barang.
b)
Hak dalam Gadai (Rahn) Bersifat Menyeluruh
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa rahn berkaitan dengan keseluruhan hak barang yang digadaikan dan
bagian lainnya, yaitu jika seseorang menggadaikan sejumlah barang tertentu
kemudian is melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai masih tetap di
tangan penerima gadai sampai orang yang menggadaikan itu melunasi utangnya.
Alasannya, bahwa barang tersebut tertahan oleh sesuatu hak, dan oleh karena itu
tertahan pula oleh setiap bagian dari hak tersebut.
c)
Musnahnya Barang Gadai
Para ulama berselisih pendapat tentang siapa yang harus
bertanggung jawab apabila barang gadai (marhun) musnah atau rusak di tangan
penerima gadai. Imam Syafi'i, ahmad Abu Saur, dan kebanyakan ulama hadis
berpendapat, bahwa penerima gadai tidak bertanggung jawab atas musnahnya barang
gadai.
d)
Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo
Penjualan barang gadai setelah jatuh tempo adalah sah.
Hal itu, sesuai dengan maksud dari pengertian hakikat gadai itu sendiri, yaitu
sebagai kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi harganya, bila yang
berutang tidak sanggup membayar utangnya dari orang yang berpiutang.
e)
Pemeliharaan Barang Gadai
Pemeliharaan dan penguasaan terhadap barang yang
digadaikan pada garis besarnya disepakati sebagai syarat gadai, hal tersebut
berdasarkan firman Allah SWT yang artinya:
Dan bila kamu tidak dapati seseorang penulis maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang).
(QS. Al-Baqarah (2) Ayat 283).
f)
Pemanfaatan Barang Gadai
Pemanfaatan barang gadai merupakan tuntutan syara' dalam memelihara
keutuhan fisik dan kemanfaatannya. Sebagai contoh dapat diungkapkan misalnya kendaraan bermotor kalau tidak dipakai dan dibiarkan untuk tidak dihidupkan maka dapat membuat mesinnya berkarat dan akhirnya menjadi rusak, begitu juga dengan tanah, sawah, rumah, dan sebagainya. Berdasarkan logika hukum dimaksud, maka pemanfaatan barang gadai bertujuan untuk memelihara keutuhan nilai dari barang gadai. Permasalahannya adalah pihak manakah yang berhak atas pemanfaatan barang gadai tersebut.
keutuhan fisik dan kemanfaatannya. Sebagai contoh dapat diungkapkan misalnya kendaraan bermotor kalau tidak dipakai dan dibiarkan untuk tidak dihidupkan maka dapat membuat mesinnya berkarat dan akhirnya menjadi rusak, begitu juga dengan tanah, sawah, rumah, dan sebagainya. Berdasarkan logika hukum dimaksud, maka pemanfaatan barang gadai bertujuan untuk memelihara keutuhan nilai dari barang gadai. Permasalahannya adalah pihak manakah yang berhak atas pemanfaatan barang gadai tersebut.
Gadai didasarkan atas transaksi atau akad pinjam
meminjam, yang berarti dapat berakhir. Mengenai berakhirnya transaksi (Akad) gadai, akad dalam transaksi rahn (gadai) akan berakhir bila
terpenuhi beberapa hal, yaitu (a) barang telah diserahkan kembali kepada
pemiliknya, (b) rahin membayar
utangnya, (c) barang gadai dijual dengan perintah hakim atas permintaan murtahin , (d) pembebasan utang dengan
cara apa pun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin , (e) pembatalan oleh murtahin
, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin, (f) rusaknya barang rahn bukan oleh tindakan/penggunaan murtahin , dan (g) memanfaatkan barang rahn sebagai penyewaan, hibah, atau
shadaqah baik dari pihak rahin maupun murtahin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar