Minggu, 03 Mei 2015

PARTAI POLITIK SEBAGAI KEKUATAN POLITIK DI INDONESIA


            Keterlibatan partai politik dalam sejarah perpolitikan di Indonesia sebenarnya sudah tak asing lagi didengar, melalui  partai politiklah gagasan tentang Indonesia merdeka terlahir dan bersemi pada era masa pergerakan nasional. Bahkan jauh hari sebelum Negara Indonesia merdeka.
            Menurut Neuman, (Budiharjo: 2007) partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan kekuatan-kekuatan idiologi sosial dengan pemerintahan yang resmi. Dalam konteks pelaksanaan Demokrasi, Partai Politik memiliki fungsi sebagai penyalur artikulasi dan agregasi kepentingan politik yang paling mapan dalam sebuah sistem politik modern. Sifat penting dari partai politik menjadi semakin terlihat manakala dihubungkan dengan kepentingan publik yang perlu didengar oleh pemerintah (pelaksana kekuasaan eksekutif) dan  parlemen (pemegang kekuasaan legislatif). Alasan utama dari pentingnya keberadaan partai  politik yang dianggap sebagai kekuatan politik di Indonesia, khususnya di pemerintahan dan di dalam masyarakat, partai politik merupakan salah satu pilar utama dan institusi demokrasi yang penting selain dari lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, pemilihan umum, serta pers yang independen dalam rangka membangun kehidupan politik yang berkualitas dan beradab.
            Pada era Demokrasi Parlementer, partai politik di Indonesia mendapatkan ruang gerak yang sangat luas. Partai politik dengan terbuka dapat mengekspresikan pilihan ideologinya melalui berbagai forum, media massa yang tersedia pada era tersebut. Garis ideologi yang ada di partai memiliki pengaruh yang kuat pada arah kebijakan pemerintah. Maka pada era ini Indonesia dikenal juga dengan lahirnya aliran politik. Hal inilah yang memunculkan lima aliran pemikiran politik yaitu Sosialisme Radikal (PSI), Nasionalis Radikal (PNI & PKI), Politik Islam Tradisional (Partai NU), Islam Modernis (Masyumi), Tradisionalis (Partai-partai politik lokal).
            Selain berfungsi untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat Indonesia unruk mendorong rakyat agar mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik, mendapatkan hak-hak politiknya pada satu sisi serta menjalankan kewajiban politik pada sisi yang lain dapat berjalan dengan baik.
            Sejarah mutakir partai politik Indonesia menunjukkan bahwa dasar dari sistem kepartaian orde baru terbentuk sejak sistem politik demokrasi terpimpin.1
            Namun pada masa demokrasi terpimpin tahun 1959 pasca dekrit presiden kekuatan partai  politik mengalami penurunan karena keputusan politik pada masa itu banyak ditentukan oleh  presiden. Berdasarkan penpers no. 7 tahun 1959 tanggal 31 desember 1959, kehidupan partai  politik ditata ulang dengan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik,  partai politik yang tidak memenuhi syarat dibubarkan. Dengan dikeluarkanya penpers itu, maka  parttai politik yang masig dapat bertahan anatara lain, PNI, Masyumi, Partai NU, PKI, Partai katolik, PARKINDO, PSI, Partai Murba, Partai IPKI, PSII, dan Partai Perti. Dalam keadaan seperti itu, kekuatan politik yang ada pada waktu itu adalah presiden dan ABRI, serta beberapa  partai terutama PKI.2
            Para era rezim orde baru, partai politik  pada era ini mengalami kebijakan yang sering disebut  sebagai kebijakan restruktriasi politik dan deideologi partai politik. Kebijakan-kebijakan pemerintah ini bertujuan untuk menjaga stabilitas politik. Kestabilan politik di masa orde baru didapat melalui kebijakan represi terhadap aktor politik yang memiliki potensi untuk melakukan kegiatan oposisi terhadap pemerintahan. Kebijakan politik yang terjadi adalah dwifungsi ABRI, penekanan terhadap Organisasi Non Pemerintah(Ornop), pembatasan pers, penyederhanaan partai politik, dan pembatasan kegiatan politik diluar ruangan, seperti kegiataan politik mahasiswa serta civil society.
Stabilitas politik dilakukan dengan mengatas namakan pembangunan, entah itu benar atau tidak, meski banyak wacana menyiratkan stabilitas yang terjadi pada masa orde baru adalah bentuk melanggengkan kekuasaan.
Pada masa itu, peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mencoba ditata melalui UU no. tahun 1973, partai politik yang jumlahnya cukup banyak ditata menjadi 3 kekuatan politik yang terdiri dari 2 parta politik yaitu PPP dan PDI serta 1 Golkar. 3
Partai politik di Indonesia pada masa orde baru merupakan sasaran dari kebijakan stabilitas politik. Karakteristik yang menonjol pada konstelasi partai politik saat itu adalah aksi penyederhanaan partai politik yang dilaksanakan oleh pemerintahan. Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanaan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan atau fungsi sejumlah partai.
Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu:
·         Partai yang memiliki basis ideologi Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan padatanggal 5 Januari 1973
·         Partai yang memiliki basis ideologi nasionalis, Partai yang Partai Demokrasi  Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
·         Golongan Karya (Golkar), yang terdiri dari tujuh Kelompok Induk Organisasi (Kino)yang bersifat kekaryan.
Sistem kepartaian yang terjadi masa orde baru dapat dikatakan sebagai sistem partai politik tripartai karena hanya terdapat tiga partai politik yang legal dan fungsional. Dalam masa orde baru, tidak diperkenankan istilah politik oposisi. Hal ini menyebabkan ruang gerak partai politik yang tidak dominan menjadi sulit untuk mengeluarkan aspirasi. Peran PDI dan PPP tidak signifikan dalam sejarah orde baru karena kedua partai dibuat sedemikian rupa sehingga kedua partai dapat didominasi oleh Soeharto sebagai eksekutif pemerintah yang menggenggam kekuasaaan legislatif juga. Matinya oposisi pada masa ini berdampak buruk pada citra demokrasi orde baru. Secara nyata, kedua partai PDI dan PPP hanya berfungsi secara semu dan sebagai pelengkap arti demokrasi kala itu.
Pada saat orde baru inilah posisi partai politik lebih tidak berdaya berhadapan dengan pemerintah. Partai politik hampir tidak memiliki peranan berarti, politik sama sekali tidak ditempatkan sebagai kekuatan politik namun lebih pada mesin politik pemerintah dan sebagai asseoris demokrasi. Meski keberadaan partai politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi partai politik.
Tumbangnya masa orde mulai memiliki peluang ada perbaikan ketika adanya peristiwa jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pembentukan partai politik yang sebelumnya dikungkung, kini terbuka lebar untuk membentuk partai politik. Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya. Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena partai politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa partai politik. Konsolidasi kehidupan politik menuju suatu tatanan yang demokratis antara lain ditandai dengan partisipasi 48 partai yang mengikuti Pemilu 1999, 24 partai yang mengikuti pemilu 2004, dan 40 partai politik yang mengikuti pemilu 2009. Hal ini mengindikasikan suburnya demokrasi yang terjadi di Indonesia, terlepas dari tercapainya fungsi partai politik tersebut.
            Pada era reformasi, partai politik mendapatkan ruang yang luas untuk mewujudkan wujud diri sebagai organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, yakni menjadi wahana bagi negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya di hadapan penguasa. Di negara demokrasi cara yang digunakan partai politik untuk mendapatkan dan memperhatakan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilihan umum. Apabila kekuasaan memerintah telah diperoleh, partai politik itu berperan pula sebagai pembuat keputusan politik. Sedangkan pada partai politik yang minoritas di badan perwakilan rakyat akan berperan sebagai pengontrol terhadap partai mayoritas atau berada dalam partai oposisi.
            Namun harapan ini membentur pada konflik antara partai politik dimana dalam pemilu 1999, terjadi penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya. Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap “Orde Baru”, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan “asal bukan” Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok “Poros Tengah”.
            Lalu pada dalam pemilihan umum  2004, partai Demokrat memenangkan pemilihan presiden secara langsung SBY berpasangan dengan JK dari partai Golkar. Peran partai politik semakin kuat dan semakin tidak terkontrol dalam pemilihan umum 2009.  Partai politk tetap menjadi lembaga yang sakral untuk menentukan karir politik para  politisi yang hendak mencalonkan diri. Atas prestasi pak SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau naik kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009, meskipun sebenarnya  kinerja mereka pun belum dapat dirasakan dengan maksimal.
            Kini partai politik lebih dikenal sebagai kendaraan politik yang mempunyai legitimasi yang kuat akan tetapi kepentingan rakyat sudah tidak lagi terlihat secara nyata sebab partai politik sudah menjadi alat elite politik.
Sumber: Alifia Imananda Putri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar