Keterlibatan partai politik dalam sejarah perpolitikan di
Indonesia sebenarnya sudah tak asing lagi didengar, melalui partai politiklah gagasan tentang Indonesia
merdeka terlahir dan bersemi pada era masa pergerakan nasional. Bahkan jauh
hari sebelum Negara Indonesia merdeka.
Menurut Neuman, (Budiharjo: 2007) partai politik
merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan kekuatan-kekuatan
idiologi sosial dengan pemerintahan yang resmi. Dalam konteks pelaksanaan
Demokrasi, Partai Politik memiliki fungsi sebagai penyalur artikulasi dan
agregasi kepentingan politik yang paling mapan dalam sebuah sistem politik
modern. Sifat penting dari partai politik menjadi semakin terlihat manakala
dihubungkan dengan kepentingan publik yang perlu didengar oleh pemerintah
(pelaksana kekuasaan eksekutif) dan
parlemen (pemegang kekuasaan legislatif). Alasan utama dari pentingnya
keberadaan partai politik yang dianggap
sebagai kekuatan politik di Indonesia, khususnya di pemerintahan dan di dalam
masyarakat, partai politik merupakan salah satu pilar utama dan institusi
demokrasi yang penting selain dari lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif,
pemilihan umum, serta pers yang independen dalam rangka membangun kehidupan
politik yang berkualitas dan beradab.
Pada era Demokrasi Parlementer, partai politik di
Indonesia mendapatkan ruang gerak yang sangat luas. Partai politik dengan
terbuka dapat mengekspresikan pilihan ideologinya melalui berbagai forum, media
massa yang tersedia pada era tersebut. Garis ideologi yang ada di partai
memiliki pengaruh yang kuat pada arah kebijakan pemerintah. Maka pada era ini
Indonesia dikenal juga dengan lahirnya aliran politik. Hal inilah yang
memunculkan lima aliran pemikiran politik yaitu Sosialisme Radikal (PSI),
Nasionalis Radikal (PNI & PKI), Politik Islam Tradisional (Partai NU),
Islam Modernis (Masyumi), Tradisionalis (Partai-partai politik lokal).
Selain berfungsi untuk melakukan pendidikan politik
kepada masyarakat Indonesia unruk mendorong rakyat agar mampu berpartisipasi
dalam kehidupan politik, mendapatkan hak-hak politiknya pada satu sisi serta
menjalankan kewajiban politik pada sisi yang lain dapat berjalan dengan baik.
Sejarah mutakir partai politik Indonesia menunjukkan
bahwa dasar dari sistem kepartaian orde baru terbentuk sejak sistem politik
demokrasi terpimpin.1
Namun pada masa demokrasi terpimpin tahun 1959 pasca
dekrit presiden kekuatan partai politik
mengalami penurunan karena keputusan politik pada masa itu banyak ditentukan
oleh presiden. Berdasarkan penpers no. 7
tahun 1959 tanggal 31 desember 1959, kehidupan partai politik ditata ulang dengan menetapkan syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh partai politik,
partai politik yang tidak memenuhi syarat dibubarkan. Dengan
dikeluarkanya penpers itu, maka parttai
politik yang masig dapat bertahan anatara lain, PNI, Masyumi, Partai NU, PKI,
Partai katolik, PARKINDO, PSI, Partai Murba, Partai IPKI, PSII, dan Partai
Perti. Dalam keadaan seperti itu, kekuatan politik yang ada pada waktu itu
adalah presiden dan ABRI, serta beberapa
partai terutama PKI.2
Para era rezim orde baru, partai politik pada era ini mengalami kebijakan yang sering
disebut sebagai kebijakan restruktriasi
politik dan deideologi partai politik. Kebijakan-kebijakan pemerintah ini
bertujuan untuk menjaga stabilitas politik. Kestabilan politik di masa orde
baru didapat melalui kebijakan represi terhadap aktor politik yang memiliki
potensi untuk melakukan kegiatan oposisi terhadap pemerintahan. Kebijakan
politik yang terjadi adalah dwifungsi ABRI, penekanan terhadap Organisasi Non
Pemerintah(Ornop), pembatasan pers, penyederhanaan partai politik, dan
pembatasan kegiatan politik diluar ruangan, seperti kegiataan politik mahasiswa
serta civil society.
Stabilitas
politik dilakukan dengan mengatas namakan pembangunan, entah itu benar atau
tidak, meski banyak wacana menyiratkan stabilitas yang terjadi pada masa orde
baru adalah bentuk melanggengkan kekuasaan.
Pada
masa itu, peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mencoba
ditata melalui UU no. tahun 1973, partai politik yang jumlahnya cukup banyak
ditata menjadi 3 kekuatan politik yang terdiri dari 2 parta politik yaitu PPP
dan PDI serta 1 Golkar. 3
Partai
politik di Indonesia pada masa orde baru merupakan sasaran dari kebijakan
stabilitas politik. Karakteristik yang menonjol pada konstelasi partai politik
saat itu adalah aksi penyederhanaan partai politik yang dilaksanakan oleh
pemerintahan. Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanaan jumlah partai
tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan
penggabungan atau fungsi sejumlah partai.
Sehingga
pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas
persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan
sosial-politik, yaitu:
·
Partai yang memiliki basis ideologi
Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU,
Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan padatanggal 5 Januari 1973
·
Partai yang memiliki basis ideologi
nasionalis, Partai yang Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba,
IPKI, dan Parkindo
·
Golongan Karya (Golkar), yang terdiri
dari tujuh Kelompok Induk Organisasi (Kino)yang bersifat kekaryan.
Sistem
kepartaian yang terjadi masa orde baru dapat dikatakan sebagai sistem partai politik
tripartai karena hanya terdapat tiga partai politik yang legal dan fungsional.
Dalam masa orde baru, tidak diperkenankan istilah politik oposisi. Hal ini
menyebabkan ruang gerak partai politik yang tidak dominan menjadi sulit untuk
mengeluarkan aspirasi. Peran PDI dan PPP tidak signifikan dalam sejarah orde
baru karena kedua partai dibuat sedemikian rupa sehingga kedua partai dapat
didominasi oleh Soeharto sebagai eksekutif pemerintah yang menggenggam
kekuasaaan legislatif juga. Matinya oposisi pada masa ini berdampak buruk pada
citra demokrasi orde baru. Secara nyata, kedua partai PDI dan PPP hanya
berfungsi secara semu dan sebagai pelengkap arti demokrasi kala itu.
Pada
saat orde baru inilah posisi partai politik lebih tidak berdaya berhadapan
dengan pemerintah. Partai politik hampir tidak memiliki peranan berarti,
politik sama sekali tidak ditempatkan sebagai kekuatan politik namun lebih pada
mesin politik pemerintah dan sebagai asseoris demokrasi. Meski keberadaan
partai politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti dalam sistem
ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi partai politik.
Tumbangnya
masa orde mulai memiliki peluang ada perbaikan ketika adanya peristiwa jatuhnya
rezim Soeharto pada tahun 1998. Pembentukan partai politik yang sebelumnya
dikungkung, kini terbuka lebar untuk membentuk partai politik. Era Reformasi
yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai
yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya.
Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena partai politik adalah
alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi
kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa partai politik. Konsolidasi
kehidupan politik menuju suatu tatanan yang demokratis antara lain ditandai
dengan partisipasi 48 partai yang mengikuti Pemilu 1999, 24 partai yang
mengikuti pemilu 2004, dan 40 partai politik yang mengikuti pemilu 2009. Hal
ini mengindikasikan suburnya demokrasi yang terjadi di Indonesia, terlepas dari
tercapainya fungsi partai politik tersebut.
Pada era reformasi, partai politik mendapatkan ruang yang
luas untuk mewujudkan wujud diri sebagai organisasi yang memiliki peran dan
fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus
memberi legitimasi pada proses-proses politik, yakni menjadi wahana bagi negara
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan
kepentingannya di hadapan penguasa. Di negara demokrasi cara yang digunakan
partai politik untuk mendapatkan dan memperhatakan kekuasaan ialah ikut serta
dalam pemilihan umum. Apabila kekuasaan memerintah telah diperoleh, partai
politik itu berperan pula sebagai pembuat keputusan politik. Sedangkan pada
partai politik yang minoritas di badan perwakilan rakyat akan berperan sebagai
pengontrol terhadap partai mayoritas atau berada dalam partai oposisi.
Namun harapan ini membentur pada konflik antara partai
politik dimana dalam pemilu 1999, terjadi penolakan terhadap Habibie juga
Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya. Penolakan
terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap “Orde Baru”, yang
memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap Megawati, penolakan
dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram”
presiden wanita. Gerakan “asal bukan” Habibie atau Megawati yang akhirnya
melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai
Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok “Poros Tengah”.
Lalu pada dalam pemilihan umum 2004, partai Demokrat memenangkan pemilihan
presiden secara langsung SBY berpasangan dengan JK dari partai Golkar. Peran
partai politik semakin kuat dan semakin tidak terkontrol dalam pemilihan umum
2009. Partai politk tetap menjadi
lembaga yang sakral untuk menentukan karir politik para politisi yang hendak mencalonkan diri. Atas
prestasi pak SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau naik
kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun
2009, meskipun sebenarnya kinerja mereka
pun belum dapat dirasakan dengan maksimal.
Kini partai politik lebih dikenal sebagai kendaraan
politik yang mempunyai legitimasi yang kuat akan tetapi kepentingan rakyat
sudah tidak lagi terlihat secara nyata sebab partai politik sudah menjadi alat
elite politik.
Sumber: Alifia Imananda Putri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar