Sabtu, 04 Juli 2015

KEKUATAN MILITER DI INDONESIA



The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia : 
Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance
 
Kekuatan militer Indonesia Orde Baru :
Latar belakang sejarah kemerdekaan suatu bangsa biasanya menjadi titik tolak bagi militer untuk berkiprah dalam kehidupan politik, begitupun halnya dengan kalangan militer di Indonesia yang cenderung memelihara doktrin tentang kontribusi militer dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Selain itu, faktor ketidakstabilan politik suatu bangsa dengan indikasi ketika regime sipil berkuasa kemudian didiskriditkan karena tidak mampu menguasai keadaan sehingga lambat laun kekerasan fisik bisa terjadi. Dengan demikian lambat laun militer akan memasuki ruang kehidupan politik yang pada akhirnya akan menjadi salah satu kekuatan politik.

Sejarah keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir pemerintahan Soekarno dan semakin begitu mendominasi kehidupan politik ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan yang kemudian berlangsung selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat politik militer dari AS, menilai bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi negara intel. Model operasinya, Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan hantam selalu dari belakang. Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang dilakukan oleh aparat militer dipandang paling efektif. Represif militer hanya menimbulkan kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya adalah diluar batas kemanusiaan.

Sejak Pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai keidupan non - militer telah merupakan sebuah keniscayaan. Baik melalui doktrin peran sosial politik ABRI maupun ketentuan perundangan yang mendasarinya, sampai ke implementasi strukturalnya, kehadiran ABRI dalam berbagai kehidupan telah menjadi tak terpisahkan dari perjalanan Republik ini. Dalam pemikiran William Liddle, pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan Piramida Orde Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan yang sangat dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses decision making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state - society yang mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena tersebut kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi ABRI.

Dekonstruksi dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI merupkan kebutuhan politik yang mendesak disaat angin reformasi sedang berhembus. Ketika masyarakat mulai sepakat mendefinisikan reformasi sebagai redemokratisasi, muncul beberapa pertanyaan akan posisi ABRI dalam proses reformasi serta bagaiman seandainya ABRI mempertahankan status quo. Beberapa pemikiran kemudian muncul untuk melenyapkan militer dari panggung politik.

Kontroversi dari Dwifungsi ABRI timbul karena adanya ekses negatif di masyarakat seperti stabilitas menjadi tujuan, dinamika masyarakat menjadi terhambat, aspirasi akan pluralitas dikalahkan keseragaman dan monoloyalitas, sementara asas desentralisasi melemah bersama menguatnya sentralisasi, sehingga demokrasi sulit dicapai karena adanya pelembagaan otoritarianisme.

Diawal orde Baru, korban- korban kekerasan dan penyiksaan adalah para tersangka G 30 S dan pendukung Soekarno, di era 70 - an korban penyiksaan bergeser ke mahasiswa kritis, lalu 80 - an korban bergeser ke kalangan tokoh islam kritis, dan memasuki era 90 - an mahasiswa dan aktivis Pro Demokrasi selalu menjadi korban dari praktek politik yang militeristik. Pola - pola penyiksaan yang bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM tersebut terus berlangsung selama 32 tahun kekuasaan rezime Orde Baru.

Reformasi militer di era Presiden Habibie :
Era pemerintahan B J Habibie dimulai dengan tuntutan rakyat Indonesia akan adanya reformasi pemerintahan dari sistem otokrasi ke sistem demokrasi. Semangat demokratisasi pun digalakkan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap pemerintahannya. Namun, rakyat Indonesia pada masa itu hanya melihat era pemerintahan Habibie sebagai era transisioal pemerintahan Orde Baru dengan era reformasi yang dianggap masih membawa carut marut Orde Baru. Di sisi lain, Habibie menghadapi sisa kebobrokan Orde Baru yang meninggalkan krisis moneter di Indonesia. Fokus politik luar negeri Indonesia kemudian ditata untuk membangun kembali ekonomi Indonesia dan memperbaiki stabilitas keamanan di Indonesia. Instrumen yang digunakan Hbibie untuk dapat memenuhi kepentingan nasional Indonesia dalam masa transisi antara lain pengelolaan investasi swasta, diplomasi terhadap bantuan asing, perdagangan bebas, kekuatan militer dan sistem politik yang demokratis (Widhiasih, 2013).

Sementara itu, Indonesia juga harus menyelesaikan berbegai persoalan yang menjadi warisan Orde Baru yang menyebabkan munculnya krisis legitimasi yang cukup parah. Untuk mengatasi hal tersebut, Habibie mencoba melakukan berbagai aksi untuk mendapatkan dukungan internasional (Mashad, 2008:185). Diwarnai dengan isu penegakkan Hak Asasi Manusia, Habibie merealisasikan kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat dalam perundang-undangan. Cara yang ditempuh oleh Habibie adalah mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak pekerja dan pembentukan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Pada dasarnya, tindakan Habibie telah menuai keberhasilan mengingat adanya ketertarikan internasional yang diperlihatkan dengan terjalinnya hubungan Habibie dengan IMF dab Bank Dunia yang bersedia mencairkan bantuannya untuk mengatasi krisis ekonomi. Namun, tak semulus aksinya mendapat dukungan internasional, tindakan Habibie dalam menghadapi persoalan Timor Timur ternyata mengantarkan Indonesia pada mimpi buruk. Pasalnya, sebagai reslolusi konflik, Habibie menawarkan dua opsi kepada masayarakat Timor Timur untuk mendapat otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri, yang pada akhirnya berujung pada lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1998 seiring dengan hasil jejak pendapat yang lebih tinggi untuk menentukan nasib sendiri. Mashad (2008:187) menyebutkan bahwa akibat kebijakan tersebut, Habibie harus rela kehilangan legitimasi di mata domestik maupun internasional. Hal ini dikarenakan tindakan Habibie telah berkebalikan dengan upaya Indonesia yang berusaha mati-matian untuk mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia pada era Soeharto yang menunjukkan inkonsistensi Indonesia terhadap kasus Timor Timur. Walaupun kebijaksanaan Habibie untuk memberikan opsi kepada masyarakat Timor Timur telah berbuah dukungan internasional, implikasi aksi TNI pasca referendum sebagai bentuk aksi pro-integrasi yang berdampak pada terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur dan lepasnya Timor Timur ternyata telah membawa Habibie ke akhir masa pemerintahannya.

Reformasi militer tahap 2 oleh Presiden Abdurrahman Wahid :
Presiden Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden menggantikan Habibie, dengan proses depolatisasi militer dengan pola hubungan sipil - militer mengarah kepada supremasi sipil dengan intervensinya yang besar. Perubahan yang dilakukan Presiden di masa itu dilihat dari bagian reformasi politik dengan menciptakan terminologi supremasi sipil. Berikut beberapa kebijakan dalam implikasi penting terhadap hubungan sipil - militer pada masa Pemerintahan
Abdurrahman Wahid, terutama di bidang pertahanan :
a. Pemisahan Departemen Pertahanan (sekarang dikenal dengan Kementerian) , dibagi menjadi 2. Departemen Pertahanan mengurusi isu keamanan yang terkait pada ancaman intervensi militer luar negri, sedangkan pada sector Keamanan dimasukkan dalam Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhumkam). Keamanaan yang diatur oleh kementrian ini di fokuskan kepada pengurusan isu - isu domestic yang mengarah pada keamanan sipil. Tanggung jawabnya sendiri di bebankan pada institusi sipil, seperti : POLRI dan Satpol PP
.b. Pasca Orde Baru, dalam sejarah pertama kalinya mengangkat seorang Mentri
Pertahanan yang berasal dari kalangan sipil dan sama sekali tidak memiliki latar
belakang Militer dan juga bukan seorang Purnawirawan Militer, yaitu Prof. Dr.
Juwono Sudarsono (1999 - 2000) dan Prof. Mahmud MD (2000 - 2001).
c. Pemisahan antara TNI dan POLRI . Pada masa sebelumnya dimana TNI memiliki empat angkatan, yaitu : Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Kemudian oleh Presiden dipisahkan, dan TNI menjadi struktur kelembagaan tersendiri yang Mandiri. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid , masalah pemberhentian ataupun pengangkatan pejabat militer, relatif cenderung di bawah kendali Presiden, meskipun pengaruhnya tidak sebesar Presiden Soeharto di masa Orde Baru. Presiden Abdurrahman Wahid dalam hal ini mengklaimnya sebagai upaya penegakkan supremasi sipil juga sebagai upaya meminimalisasi dominasi peran politik militer. Namun intervensi Presiden Wahid yang terlalu jauh dalam masalah internal TNI dan patronase yang diberikannya, puncaknya terjadi setelah Presiden Wahid mengeluarkan Dekrit pada 23 Juli 2001, TNI pun tidak mematuhi isi dekrit tersebut. Dalam kaitan hubungan sipil - militer menurut teori Huntington, militer pada masa Abdurrahman wahid dapat diklasifikasikan pada control sipil subyektif (subjective civilian control), karena Abdurrahman Wahid mengkondisikan kekuasaan presiden sebagai kekuasaan tertinggi dalam mengontrol militer.

Kekuatan militer Indonesia saat ini :
Pergantian Presiden membawa perubahan kebijakan pertahanan Indonesia. Tidak jelasnya program MEF bagian kedua dalam rencana Kebijakan Presiden Jokowi membawa efek pada penurunan drastis peringkat kekuatan Militer Indonesia. Terutama pembentukan BAKAMLA (Badan Keamanan Laut) yang malah mereduksi kekuatan kapal tempur TNI AL. :twisted:
Global Fire Power, situs yang selama ini memberikan penilaiakan kekuatan militer sebuah negara pada sumber daya alam, sumber daya manusia, luas teritori, anggaran militer dan inventori Arsenal, tanpa melibatkan senjata nuklir. Saat ini menempatkan Indonesia pada peringkat 19, padahal tahun lalu di peringkat 15 (2013). Indonesia disalip Jepang, Taiwan, Kanada, dan Polandia.
Kendati anjlok TNI tetap memiliki kekuatan terbesar di kawasan, terutama bila dibandingkan tetangga dari Asia Tenggara. Kekuatan Indonesia pun masih setingkat di atas Australia.
Merujuk keterangan Power Index versi situs Global Fire Power, penurunan ini lebih disebabkan karena belanja pertahanan yang kalah agresif dibanding beberapa negara lainnya.
Tahun 2014 pemerintahan SBY memang memilih mengalihkan anggaran pertahanan untuk menutup biaya Subsidi BBM yang membengkak karena harga minyak dunia sempat menembus level $130/barrel.
Pada 2015 di era Pemerintahan Jokowi yang seharusnya banjirr duit karena subsidi BBM dihapuskan. TNI hanya kebagian jatah 96Trilliun dengan pembagian 68% untuk gaji dan hanya 32% untuk belanja alutsista. Total APBN 2015 mencapai 2000Trilliun dan ada duit nganggur dari penghapusan subsidi BBM sebesar 330Trilliun dalam APBN-P yang diajukan Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar