The Politics of Military Reform in Post-Suharto
Indonesia :
Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance
Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance
Kekuatan
militer Indonesia Orde Baru :
Latar
belakang sejarah kemerdekaan suatu bangsa biasanya menjadi titik tolak bagi
militer untuk berkiprah dalam kehidupan politik, begitupun halnya dengan
kalangan militer di Indonesia yang cenderung memelihara doktrin tentang
kontribusi militer dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Selain itu, faktor
ketidakstabilan politik suatu bangsa dengan indikasi ketika regime sipil
berkuasa kemudian didiskriditkan karena tidak mampu menguasai keadaan sehingga
lambat laun kekerasan fisik bisa terjadi. Dengan demikian lambat laun militer
akan memasuki ruang kehidupan politik yang pada akhirnya akan menjadi salah satu
kekuatan politik.
Sejarah
keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir pemerintahan Soekarno dan
semakin begitu mendominasi kehidupan politik ketika Soeharto mengambil alih
pemerintahan yang kemudian berlangsung selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan
mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi
terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana
politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga -
lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan
berdasarkan like or dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan
pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat
politik militer dari AS, menilai bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi
negara intel. Model operasinya, Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko
dan hantam selalu dari belakang. Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang
dilakukan oleh aparat militer dipandang paling efektif. Represif militer hanya
menimbulkan kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya
adalah diluar batas kemanusiaan.
Sejak
Pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai keidupan non -
militer telah merupakan sebuah keniscayaan. Baik melalui doktrin peran sosial
politik ABRI maupun ketentuan perundangan yang mendasarinya, sampai ke
implementasi strukturalnya, kehadiran ABRI dalam berbagai kehidupan telah
menjadi tak terpisahkan dari perjalanan Republik ini. Dalam pemikiran William
Liddle, pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari
pelembagaan Piramida Orde Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan
yang sangat dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses
decision making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state - society
yang mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena tersebut
kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi
ABRI.
Dekonstruksi
dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI merupkan kebutuhan politik yang
mendesak disaat angin reformasi sedang berhembus. Ketika masyarakat mulai
sepakat mendefinisikan reformasi sebagai redemokratisasi, muncul beberapa
pertanyaan akan posisi ABRI dalam proses reformasi serta bagaiman seandainya
ABRI mempertahankan status quo. Beberapa pemikiran kemudian muncul untuk
melenyapkan militer dari panggung politik.
Kontroversi
dari Dwifungsi ABRI timbul karena adanya ekses negatif di masyarakat seperti
stabilitas menjadi tujuan, dinamika masyarakat menjadi terhambat, aspirasi akan
pluralitas dikalahkan keseragaman dan monoloyalitas, sementara asas
desentralisasi melemah bersama menguatnya sentralisasi, sehingga demokrasi
sulit dicapai karena adanya pelembagaan otoritarianisme.
Diawal orde Baru, korban- korban
kekerasan dan penyiksaan adalah para tersangka G 30 S dan pendukung Soekarno,
di era 70 - an korban penyiksaan bergeser ke mahasiswa kritis, lalu 80 - an
korban bergeser ke kalangan tokoh islam kritis, dan memasuki era 90 - an mahasiswa
dan aktivis Pro Demokrasi selalu menjadi korban dari praktek politik yang
militeristik. Pola - pola penyiksaan yang bertentangan dengan Deklarasi
Universal HAM tersebut terus berlangsung selama 32 tahun kekuasaan rezime Orde
Baru.
Reformasi
militer di era Presiden Habibie :
Era pemerintahan B J Habibie
dimulai dengan tuntutan rakyat Indonesia akan adanya reformasi pemerintahan
dari sistem otokrasi ke sistem demokrasi. Semangat demokratisasi pun digalakkan
untuk menggalang dukungan rakyat terhadap pemerintahannya. Namun, rakyat
Indonesia pada masa itu hanya melihat era pemerintahan Habibie sebagai era
transisioal pemerintahan Orde Baru dengan era reformasi yang dianggap masih
membawa carut marut Orde Baru. Di sisi lain, Habibie menghadapi sisa kebobrokan
Orde Baru yang meninggalkan krisis moneter di Indonesia. Fokus politik luar
negeri Indonesia kemudian ditata untuk membangun kembali ekonomi Indonesia dan
memperbaiki stabilitas keamanan di Indonesia. Instrumen yang digunakan Hbibie
untuk dapat memenuhi kepentingan nasional Indonesia dalam masa transisi antara
lain pengelolaan investasi swasta, diplomasi terhadap bantuan asing,
perdagangan bebas, kekuatan militer dan sistem politik yang demokratis
(Widhiasih, 2013).
Sementara itu, Indonesia juga harus
menyelesaikan berbegai persoalan yang menjadi warisan Orde Baru yang
menyebabkan munculnya krisis legitimasi yang cukup parah. Untuk mengatasi hal
tersebut, Habibie mencoba melakukan berbagai aksi untuk mendapatkan dukungan
internasional (Mashad, 2008:185). Diwarnai dengan isu penegakkan Hak Asasi
Manusia, Habibie merealisasikan kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat
dalam perundang-undangan. Cara yang ditempuh oleh Habibie adalah mendorong
ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak pekerja dan
pembentukan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Pada dasarnya, tindakan Habibie
telah menuai keberhasilan mengingat adanya ketertarikan internasional yang
diperlihatkan dengan terjalinnya hubungan Habibie dengan IMF dab Bank Dunia
yang bersedia mencairkan bantuannya untuk mengatasi krisis ekonomi. Namun, tak
semulus aksinya mendapat dukungan internasional, tindakan Habibie dalam
menghadapi persoalan Timor Timur ternyata mengantarkan Indonesia pada mimpi
buruk. Pasalnya, sebagai reslolusi konflik, Habibie menawarkan dua opsi kepada
masayarakat Timor Timur untuk mendapat otonomi luas atau bebas menentukan nasib
sendiri, yang pada akhirnya berujung pada lepasnya Timor Timur dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1998 seiring dengan hasil jejak pendapat
yang lebih tinggi untuk menentukan nasib sendiri. Mashad (2008:187) menyebutkan
bahwa akibat kebijakan tersebut, Habibie harus rela kehilangan legitimasi di
mata domestik maupun internasional. Hal ini dikarenakan tindakan Habibie telah
berkebalikan dengan upaya Indonesia yang berusaha mati-matian untuk
mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia pada era
Soeharto yang menunjukkan inkonsistensi Indonesia terhadap kasus Timor Timur.
Walaupun kebijaksanaan Habibie untuk memberikan opsi kepada masyarakat Timor
Timur telah berbuah dukungan internasional, implikasi aksi TNI pasca referendum
sebagai bentuk aksi pro-integrasi yang berdampak pada terjadinya pelanggaran
Hak Asasi Manusia di Timor Timur dan lepasnya Timor Timur ternyata telah
membawa Habibie ke akhir masa pemerintahannya.
Reformasi
militer tahap 2 oleh Presiden Abdurrahman Wahid :
Presiden Abdurrahman Wahid yang
menjadi presiden menggantikan Habibie, dengan proses depolatisasi militer
dengan pola hubungan sipil - militer mengarah kepada supremasi sipil dengan
intervensinya yang besar. Perubahan yang dilakukan Presiden di masa itu dilihat
dari bagian reformasi politik dengan menciptakan terminologi supremasi sipil.
Berikut beberapa kebijakan dalam implikasi penting terhadap hubungan sipil - militer
pada masa Pemerintahan
Abdurrahman Wahid, terutama di
bidang pertahanan :
a. Pemisahan Departemen Pertahanan
(sekarang dikenal dengan Kementerian) , dibagi menjadi 2. Departemen Pertahanan
mengurusi isu keamanan yang terkait pada ancaman intervensi militer luar negri,
sedangkan pada sector Keamanan dimasukkan dalam Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhumkam). Keamanaan yang diatur oleh
kementrian ini di fokuskan kepada pengurusan isu - isu domestic yang mengarah
pada keamanan sipil. Tanggung jawabnya sendiri di bebankan pada institusi
sipil, seperti : POLRI dan Satpol PP
.b. Pasca Orde Baru, dalam sejarah
pertama kalinya mengangkat seorang Mentri
Pertahanan yang berasal dari
kalangan sipil dan sama sekali tidak memiliki latar
belakang Militer dan juga bukan
seorang Purnawirawan Militer, yaitu Prof. Dr.
Juwono Sudarsono (1999 - 2000) dan
Prof. Mahmud MD (2000 - 2001).
c. Pemisahan antara TNI dan POLRI .
Pada masa sebelumnya dimana TNI memiliki empat angkatan, yaitu : Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Kemudian oleh Presiden
dipisahkan, dan TNI menjadi struktur kelembagaan tersendiri yang Mandiri. Pada
masa Presiden Abdurrahman Wahid , masalah pemberhentian ataupun pengangkatan
pejabat militer, relatif cenderung di bawah kendali Presiden, meskipun
pengaruhnya tidak sebesar Presiden Soeharto di masa Orde Baru. Presiden
Abdurrahman Wahid dalam hal ini mengklaimnya sebagai upaya penegakkan supremasi
sipil juga sebagai upaya meminimalisasi dominasi peran politik militer. Namun
intervensi Presiden Wahid yang terlalu jauh dalam masalah internal TNI dan
patronase yang diberikannya, puncaknya terjadi setelah Presiden Wahid
mengeluarkan Dekrit pada 23 Juli 2001, TNI pun tidak mematuhi isi dekrit
tersebut. Dalam kaitan hubungan sipil - militer menurut teori Huntington,
militer pada masa Abdurrahman wahid dapat diklasifikasikan pada control sipil
subyektif (subjective civilian control), karena Abdurrahman Wahid
mengkondisikan kekuasaan presiden sebagai kekuasaan tertinggi dalam mengontrol
militer.
Kekuatan
militer Indonesia saat ini :
Pergantian Presiden membawa
perubahan kebijakan pertahanan Indonesia. Tidak jelasnya program MEF bagian
kedua dalam rencana Kebijakan Presiden Jokowi membawa efek pada penurunan
drastis peringkat kekuatan Militer Indonesia. Terutama pembentukan BAKAMLA
(Badan Keamanan Laut) yang malah mereduksi kekuatan kapal tempur TNI AL.
:twisted:
Global Fire Power, situs yang
selama ini memberikan penilaiakan kekuatan militer sebuah negara pada sumber
daya alam, sumber daya manusia, luas teritori, anggaran militer dan inventori
Arsenal, tanpa melibatkan senjata nuklir. Saat ini menempatkan Indonesia pada
peringkat 19, padahal tahun lalu di peringkat 15 (2013). Indonesia disalip
Jepang, Taiwan, Kanada, dan Polandia.
Kendati anjlok TNI tetap memiliki
kekuatan terbesar di kawasan, terutama bila dibandingkan tetangga dari Asia
Tenggara. Kekuatan Indonesia pun masih setingkat di atas Australia.
Merujuk keterangan Power Index
versi situs Global Fire Power, penurunan ini lebih disebabkan karena belanja
pertahanan yang kalah agresif dibanding beberapa negara lainnya.
Tahun 2014 pemerintahan SBY memang
memilih mengalihkan anggaran pertahanan untuk menutup biaya Subsidi BBM yang
membengkak karena harga minyak dunia sempat menembus level $130/barrel.
Pada 2015 di era Pemerintahan
Jokowi yang seharusnya banjirr duit karena subsidi BBM dihapuskan. TNI hanya
kebagian jatah 96Trilliun dengan pembagian 68% untuk gaji dan hanya 32% untuk
belanja alutsista. Total APBN 2015 mencapai 2000Trilliun dan ada duit nganggur
dari penghapusan subsidi BBM sebesar 330Trilliun dalam APBN-P yang diajukan
Jokowi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar