Sabtu, 04 Juli 2015

Peran Militer Pra dan Pasca Reformasi “Dengan referensi dari E-book The Politic of Militarry Reform in Indonesia”



Prasyarat sebuah negara yang demokratis, menurut Huntington (1993) adalah bebasnya politik dari intervensi-intervensi militer. Tuntutan sebuah proses politik yang demokratis dan bebas dari intervensi militer, menjadikan posisi militer harus diterjemahkan secara tepat. Pembahasan lain dari Huntington (1968), militer tidak boleh mendapatkan posisi yang kuat sebagai praetorian guard atau penjaga stabilitas rejim, karena rawan disalahgunakan fungsi-fungsinya oleh tindakan-tindakan personal. Dengan kata lain, militer yang memiliki peran besar dalam politik cenderung selaras dengan kediktatoran dan personalisme politik. Militer tidak berurusan dengan politik, tetapi politik tidak dapat lepas dari urusan-urusan militer seperti kebijakan tentang keamanan nasional. Karena itu bahwa militer berkewajiban menjalankan tugas-tugas pengamanan Negara atas dasar kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh politik.(Huntington, 1981)
Dirangkum oleh Almos Perlmutter (1998:167) bahwa motivasi tentara untuk melakukan campur tangan jelas adalah politik, bahkan kalau ia di dorong oleh kondisi-kondisi sosial yang tidak di lembagakan. Almos Perlmutter juga menyebutkan ada dua kondisi yang bisa memberikan kesempatan bagi militer untuk melakukan intervensi.
Pertama, kondisi sosial, Suatu Negara yang kondisi sosialnya lemah maka kepentingan kelompok akan tersebar dalam frekuensi yang sangat tinggi. Dan kalau struktur Negara lemah maka institusi-institusi politik tidak berfungsi efektif dan demikian control sosial tidak efektif dan mengakibatkan militer memiliki peluang untuk melakukan intervensinya.
Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul dari persoalan sipil. Dalam banyak kasus kembalinya militer dikarenakan sipil meminta dukungan ketika struktur politik terfragmantasi dalam faksi-faksi politik dan perangkat konstitusi tidak berjalan.
Eric A.Nodlinger, juga melihat kemungkinan adanya peran politik yang dimainkan oleh korps perwira, dalam hal ini Nodlinger membagi dalam tiga kategori peran yaitu moderator, guardians, dan rullers. Militer berkarakter moderator manakala hubungan sipil-militer sangat cair. Bidang politik dan pemerintahan dipegang oleh sipil yang mempunyai patron atau back-up dari militer. Guardians mengacu pada peran militer sebagai pengawal dan pengawas jalannya pemerintahan. Militer terlibat dalam bidang politik hanya pada tataran yang makro-strategis. Kategori rullers adalah keadaan ketika militer menguasai semua bidang terutama bidang politik, dalam konteks inilah dapat menimbulkan sebuah rezim militer.
Agenda pendemokratisasian sangat terkait dengan upaya mereduksi peran militer dalam bertanggung jawab sosial dan politik, kalau tidak menghilangkan sama sekali, yaitu mengembalikan TNI ke dalam fungsinya (repositioning) dengan meningkatkan azas-azas profesionalisme.
Ahli militer Indonesia, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (1996) menyatakan bahwa seorang prajurit yang professional mempunyai kriteria sebagai berikut; 1. Seorang patriot, 2. Seorang komandan, 3. Seorang Pembina (manajer), 4. Seorang pemikir (strategist and tactician), 5. Seorang yang ahli pada bidangnya atau kecabangannya. Selain itu, sosok dan kriteria seorang prajurit TNI yang professional sesuai dengan hakikat dan filsafat Tri sakti Wiratama, yaitu (1) harus mempunyai mental yang tangguh, (2) intelegensi yang tinggi , dan (3) fisik yang kuat. Pendapat selanjutnya, tolak ukur profesionalisme prajurit yaitu apabila mampu mengemban tugas pertahanan Negara dengan baik, disiplin, loyal, dan penuh rasa tanggung jawab melaksanakan setiap tugas yang di percayakan hanya karena motivasi panggilan, pengabdian demi kepentingan bangsa dan Negara, bukan kepentingan pribadi, kelompok dan atau kepentingan politik tertentu.

1.                  Peran Militer Pada Masa Soeharto
Pada masa kepresidenan Jendral Soeharto, militer memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam kehidupan politik di Indonesia.Militer merupakan salah satu instrument utama untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan, khususnya di dalam menciptakan dan mempertahankan stabilitas politik.Posisi yang strategis yang dimiliki oleh ABRI menyebabkan banyak sekali permasalahan yang timbul dalam jalannya perpolitikan di Indonesia pada masa itu.Mulai banyak intervensi intervensi yang dilakukan oleh pihak militer untuk mempertahankan posisi strategis mereka dalam pemerintahan.Efek buruk yang ditimbulkan pada masa itu salah satunya adalah hilangnya demokrasi pada masyarakat, pada masa itu masyarakat sangat tertekan dengan adanya militer disekitar mereka.Namun untuk mengaburkan keadaan tersebut pemerintah menciptakan sebuah kondisi yang mana pada masyarakat dengan tanpa sadar telah menciptakan kondisi militeristis.Tidak hanya pada mayarakat sipil yang di intervensi oleh pemerintah pada masa itu, mahasiswa yang meruapakan pengawas jalannya pemerintahan juga di tekan. Sehingga untuk menghalangi mahasiswa melakukan demo pemerintah menciptakan peraturan (NKK/BKK)  , pemerintah menciptakan keadaan dinamis di kampus dan membentuk resimen mahasiswa guna mengawasi jalannya peraturan tersebut.
Partai pengusung Soeharto adalah partai Golkar, pada masa itu perta Golkar selalu memenagi pemilihan di setiap daerah. Alasan utama adalah pada masa itu proses kampanye yang dilakukan oleh Golkar berada dari kota hingga desa, namun utuk partai yang lain hanya dibolehkan melakukan kampaye pada tingkat desa. Alasan lain adalah para pegawai sipil (PNS) pada masa itu diwajibakan untuk memilih Golkar, apabila ditemukan salah satu PNS itu tidak memilih partai Golkar maka dapat dipastikan dia akan di pecat atau akan diturunkan pangkatnya.Sehingga pendapatan suara Golkar disetiap daerah mampu melampaui 40% suara.
Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or dislike dari keputusan para elit negara telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Kekuatan militer di zaman Soeharto berada dalam satu komando.Bahkan militer memasuki hampir ke semua ranah kehidupan secara sangat signifikan.Pos-pos penting selalu dipegang militer, bahkan di dunia bisnis sekalipun. Hal itu terlihat dari 27 anggota cabinet yang diangkat Suharto pada Juli 1966 terdapat 12 menteri yang merupakan anggota ABRI, yakni 6 menteri berasal dari Angkatan Darat. Dan yang menduduki posisi strategis pada saat itu di tingkat pusat misalnya, dari 20 departemen yang berurusan dengan sipil terdapat 11 anggota ABRI yang menduduki jabatan Sekretaris Jendral.
Dengan kekuasaan yang begitu besar, Soeharto harus mencari konsensus dalam banyak hal, melakukan pertemuan panjang dengan para pemimpin dari berbagai kelompok sosial dan politik serta sebisa mungkin agar mereka menerima kehendaknya. Hingga akhirnya untuk memperkokoh powernya serta untuk menciptakan stabilitas politik dalam birokrasi, maka pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI dikukuhkan  Ketetapan No.XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan, Keputusan Presiden No/132/1967 (24 Agustus 1967) tentang pokok-pokok organisasi Departemen Pertanahan dan Keamanan, yakni pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara.. Dwifungsi ABRI” mengandung arti bahwa ABRI mempunyai dua tugas, yakni sebagai militer, dan juga sebagai sipil. Dengan kata lain, disamping sebagai kekuatan pengamanan (stabilisator), juga bertindak sebagai kekuatan penggerak pembangunan masyarakat (dinamisator).
            Pada masa ini ABRI selain menjadi mitra masyarakat sipil mereka juga masuk ke ranah politik, sehingga kekuatan ABRI sangat dominan mas itu. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Dwi fungsi ABRI hanya sebuah dalih yang buat oleh pemerintah agar militer menempati posisi yang srategis. Pendapat lain menyatakan bahwa Dwifungsi ABRI ini tidak memiliki landasan yang kuat dan sangat tidak demokrasi. Menurut pandangan para pengamat luar negeri pada masa ORBA ini Indonesia tidak ada demokrasi yang diberikan pada masyarakat.penempatan ABRI di posisi yang sangat strategis menurut pemerintah merupakan sebuah langkah yang efektif agar masyarakat dapat dilayani secara langsung, namun yang terjadi adalah sebaliknya, kecenderungan ABRI menggunakan security approach malah banyak memunculkan banyak konflik dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam ABRI ada sebagian yang menganggap bahwa setiap demonstrasi, unjuk rasa maupun berbagai bentuk penyampaian aspirasi adalah sebuah hal yang harus ditindak dan dihentikan.Unjuk rasa apabila tidak menimbulkan sebuah hal yang negatife maka tidak ada pengamanan dari militer namun hal sebaliknya apabila demokrasi dan kerusuhan yang menuntut keadilan.Kemungkinan terjadinya bentrok sangatlah besar apabila demontrans berhadapan dengan militer pada masa itu. Sungguh kita sayangkan militer menggunakan doktrin mereka “ to killed or to be killed” dalam menghadapain anak bangsa yang melakukan demo, para anak bangsa di anggap sebagai musuh oleh ABRI  saat itu. Sanggat disayangkan tindakan mereka, penggunaan doktrin itu digunakan tidak hanya dalam melawan para separatis namun juga dalam menghadapai sipil dan mahasiswa yang seharusnya mereka lindungi dalam berispirasi
Posisi militer masa ini sangatlah tidak sesuai dan tidak seharusnya mereka duduki.Sehingga dalam memberikan suatu strategi pembangunan mereka juga menggunakan strategi militer. Dalam sebuah contoh dapat kita ambil ketika mereka membentuk kebijakan AMD(ABRI Masuk Desa) sekilas tampak bahwa pemerintah memberikan pelayan secara langsung kepada masyarakat. Namun semua itu hanya sebuah kedok militer guna mengendalikan setiap sendi dalam masyarakat desa sehingga militer dapat mengawasi segala bentuk gerakan gerakan yang membahayakan posisi pemerintah.
Pada masa ORBA sanggat berpenggaruh dalam segala sendi sendi dalam masyarakat.Dalam politik terutama, seperti yang telah saya sampaikan dalam sebuah contoh diatas bagaimana mereka berpengaruh dalam pengambilan setiap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah pusat.Masalah kapasitas lembaga – lembaga yang baru dibuat untuk mengendalikan sisa kekuatan angkatan bersenjata yang memungkinkan mempunyai jatingan melalui non-institusional jaringan tersebut adalah politik( Herd dan Tracy 2005). Setiap kelompok diawasi oleh militer, kelompok yang bertujuan menjadi “watchdog” bagi pemerintah apabila mereka tidak memiliki keahlian, pengalaman, dana, insfrastruktur, dukungan teknologi serta informasi dapat menyebabkan lembaga tersebut runtuh dan menjadikan merka lembaga yang disfungsional.
Dalam perekonomian Indonesia pada masa ORBA ketahanan pangan Indonesia sangat stabil dengan dibuktikan pada masa itu masyarakat dapat dikatan sejahtera. Pada masa itu juga indonesia  berhasilmencapai masa swasembada pangan, sampai pula Indonesia melakukan export ke luar negeri. Pada masa itu  tidak begitu terlihat bagaimana militer berpengaruh dalam perekonomian masa itu. Namun dapat dikatan bahwa masa ORBA Indonesia mencapai swasembada pangan hingga di sibut dengan MACAN ASIA. Saat masa akhir ORBA tahun 1996 Indonesia masuk ke krisis perekonomian, bahan pangan dan bahan pokok lainnya melonjak naik, banyak terjadi kelaparan dimana mana serta utang luar negeri Indonesia mencapai sekian triliun dolar.
Tahun 1998 setelah runtuhnya masa ORBA terjadilah reformasi – reformasi dalam tubuh militer  yang dilakukan oleh presiden-presiden setelahnya, pada masa BJ. Habibie, Wahid Hasyim(Gus Dur), Mega Wati, Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki andil dalam reformasi militer di Indonesia.Berikut ulasan reformasi pasca ORBA.

2. Peran Militer Pada Masa B.J. Habibie
Dalam pemerintahan sipil dibawah presiden B.J. Habibie, kebijakan yang ditempuh dalam mengelola hubungan sipil-militer relatif masih sama dengan periode Presiden Soeharto. Militer pada masa B.J. Habibie tidak lain adalah militer warisan Presiden Soeharto yang peran politiknya hanya pada tingkat doktrin. Organisasi TNI masih sepenuhnya dibawah kendali Panglima Tinggi TNI yang dipimpin oleh Jendral TNI Wiranto.dengan mendukung penuh kepemimpinan Habibie dengan memanfaatkan kesempatan besar. Pada tanggal 22 Mei, kesempatan pertama Habibie dalam meningkatkan legitimasinya, Pengurangan jumlah anggota ABRI yang duduk di MPR dari 75 menjadi 38 kursi . Kebijakan lain dengan diakhirinya praktik perwira perwira militer aktif yang menduduki jabatan-jabatan non militer. Selain itu juga militer secara struktural melakukan pemutusan hubungan dengan Golkar. Perubahan nama ABRI ( Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada bulan April 1999.
Tetapi perubahan yang telah terjadi di pusat belum tersosialisasikan sampai pada tingkat daerah. Keberadaan komando territorial yang berada di daerah berdiri sejajar dengan pemerintahan sipil dengan pengaruh yang kuat. Maka melihat dari Pandangan Huntington tentang konsep kontrol sipil yang dilakukan pemerintahan Habibie mengarah kepada memaksimalkan profesionalisme militer dan menunjukkan adanya pembagian kekuasaan politik antara kelompok militer dan sipil yang kondusif menuju perilaku professional. Dengan Objective civilian dibawah pengawasan jenderal TNI masa itu Wiranto. 5

3. Peran Militer Pada Masa Abdurrahman Wahid

Presiden Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden menggantikan Habibie, dengan proses depolatisasi militer dengan pola hubungan sipil-militer mengarah kepada supremasi sipil dengan intervensi nya yang besar . Perubahan yang dilakukan Presiden di masa itu dilihat dari bagian reformasi politik dengan menciptakan terminologi supremasi sipil. Berikut beberapa kebijakan dalam implikasi penting terhadap hubungan sipil-militer pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid, terutama di bidang pertahanan:
a. Pemisahan Departemen Pertahanan (sekarang dikenal dengan Kementerian) , dibagi menjadi 2. Departemen Pertahanan mengurusi isu keamanan yang terkait pada ancaman intervensi militer luar negri, sedangkan pada sector Keamanan dimasukkan dalam Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhumkam). Keamanaan yang diatur oleh kementrian ini di fokuskan kepada pengurusan isu-isu domestik yang mengarah pada keamanan sipil. Tanggung jawabnya sendiri di bebankan pada institusi sipil, seperti : POLRI dan Satpol PP.
b. Pasca Orde Baru, dalam sejarah pertama kalinya mengangkat seorang Mentri Pertahanan yang berasal dari kalangan sipil dan sama sekali tidak memiliki latar belakang Militer dan juga bukan seorang Purnawirawan Militer, yaitu Prof. Dr. Juwono Sudarsono (1999-2000) dan Prof. Mahmud MD (2000-2001).
c. Pemisahan antara TNI dan POLRI . Pada masa sebelumnya dimana TNI memiliki empat angkatan, yaitu : Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Kemudian oleh Presiden dipisahkan, dan TNI menjadi struktur kelembagaan tersendiri yang Mandiri.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid , masalah pemberhentian ataupun pengangkatan pejabat militer, relatif cenderung di bawah kendali Presiden, Meskipun pengaruhnya tidak sebesar Presiden Soeharto di masa Orde Baru. Presiden Abdurrahman Wahid dalam hal ini mengklaimnya sebagai upaya penegakkan supremasi sipil juga sebagai upaya meminimalisasi dominasi peran politik militer. Namun intervensi Presiden Wahid yang terlalu jauh dalam masalah internal TNI dan patronase yang diberikannya, puncaknya terjadi setelah Presiden Wahid mengeluarkan Dekrit pada 23 Juli 2001, TNI pun tidak mematuhi isi dekrit tersebut.
Dalam kaitan hubungan sipil-militer menurut teori Huntington, militer pada masa Abdurrahman wahid dapat diklasifikasikan pada control sipil subyektif (subjective civilian control), karena Abdurrahman Wahid mengkondisikan kekuasaan presiden sebagai kekuasaan tertinggi dalam mengontrol militer.

4. Militer masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Hubungan sipil-militer pada masa ini lebih mengarah kebentuk yang ideal , dengan sipil sebagai pemegang control dalam pemerintahan SBY. Supremasi sipil yang dilakukan dalam menjaga hubungan keharmonisan antara sipil dan militer, hal ini sangat disesuaikan dengan pokok-pokok pemikiran SBY yang dikenal sebagai tentara Reformis dengan menegakkan nilai-nilai profesionalisme Tentara. Langkah SBY dalam menjaga hubungan sipil-militer dengan profesionalitas militer tidak terlepas dari penempatan kepada orang-orang yang memiliki kapabalitas dalam pemahaman sipil dan militer. Seperti Prof. Dr. Juwono Sudarsono sebagai Mentri Pertahanan mendapat mandat dari Presiden Yudhoyono untuk melakukan dua hal , yakni menjaga netralitras TNI dan penertiban sistematis mengenai pengadaan Alutsista di Departemen Pertahanan.
Keberhasilan pemerintahan Yudhoyono dalam membatasi peran militer dalam politik terhadap hubungan sipil-militer disebabkan oleh pendekatan control sipil obyektif (objective civilian control) menurut Huntington. Dengan rekam jejak Yudhono sebagai penggerak reformasi internal dari tubuh TNI. Presiden juga menghindarkan diri terlibat lebih jauh dalam masalah internal TNI . Militer pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhono lebih berkarakter sebagai Moderator, Presiden Susilo memiliki back up militer dan menjadikan militer mempunyai batasan yang jelas dalam pemerintahan.
Kekuatan militer di Indonesia saat ini sudah semakin baik dengan dibuktikannya prestasi oleh KOPASSUS yaitu dengan dinobatkan sebagai pasukan terbaik nomor 3 di dunia versi Discovery Channel Military. Jadi tidak dipungkiri beberapa kali reformasi dilakukan di bidang militer ini memberi dampak yang sangat baik bagi kedaulatan bangsa. Sekarang ini militer Indonesia bisa di sejajarkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Singapura padahal dulu militer Indonesia sangat tertinggal pada negara-negara tersebut. Penambahan kekuatan militer Indonesia melalui penambahan alutista TNI untuk ini bisa dikatakan mengalami peningkatan signifakan di tahun 2014 ini sebagai hasil dari belanja alutsista yang dilaksanakan pemerintah memalui program Minimum Essential Force (MEF) Restra I yang sudah dijalankan pada tahun 2009 sampai 2014 ini. Hasil dari belanja alutsista TNI pada MEF I ini bisa kita lihat dalam event HUT TNI ke-69 yang dirayakan beberapa waktu lalu di Surabaya. Dalam event ini terlihat jelas kekuatan Militer Indonesia 2014 yang sebenarnya. Dalam event ini ada banyak sekali alutsista kelas wahid yang baru tiba di Indonesia yang dipamerkan kepada rakyat Indonesia, diantaranya MBT Leopard, KRI Bung Tomo Class, Su-30/27, dan masih banyak lagi.
Namun penambahan kekuatan militer Indonesia ini tidak akan berhenti hanya sampai tahun 2014 saja. Bisa dipastikan bahwa kekuatan militer Indonesia 2015 nanti juga akan mengalami peningkatan terus menerus bahkan sampai dengan tahun 2024 nanti. Jika tidak ada kendala berarti kita akan melihat kekuatan militer Indonesia 2024 yang sangat ditakuti dan disegani oleh negara lainnya.
Sumber : Moh. Giofani Fahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar