Prasyarat sebuah negara
yang demokratis, menurut Huntington (1993) adalah bebasnya politik dari
intervensi-intervensi militer. Tuntutan sebuah proses politik yang demokratis
dan bebas dari intervensi militer, menjadikan posisi militer harus
diterjemahkan secara tepat. Pembahasan lain dari Huntington (1968), militer
tidak boleh mendapatkan posisi yang kuat sebagai praetorian guard atau penjaga
stabilitas rejim, karena rawan disalahgunakan fungsi-fungsinya oleh
tindakan-tindakan personal. Dengan kata lain, militer yang memiliki peran besar
dalam politik cenderung selaras dengan kediktatoran dan personalisme politik.
Militer tidak berurusan dengan politik, tetapi politik tidak dapat lepas dari
urusan-urusan militer seperti kebijakan tentang keamanan nasional. Karena itu
bahwa militer berkewajiban menjalankan tugas-tugas pengamanan Negara atas dasar
kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh politik.(Huntington, 1981)
Dirangkum oleh Almos Perlmutter (1998:167) bahwa
motivasi tentara untuk melakukan campur tangan jelas adalah politik, bahkan
kalau ia di dorong oleh kondisi-kondisi sosial yang tidak di lembagakan. Almos
Perlmutter juga menyebutkan ada dua kondisi yang bisa memberikan kesempatan
bagi militer untuk melakukan intervensi.
Pertama, kondisi sosial, Suatu Negara yang kondisi
sosialnya lemah maka kepentingan kelompok akan tersebar dalam frekuensi yang
sangat tinggi. Dan kalau struktur Negara lemah maka institusi-institusi politik
tidak berfungsi efektif dan demikian control sosial tidak efektif dan mengakibatkan
militer memiliki peluang untuk melakukan intervensinya.
Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul
dari persoalan sipil. Dalam banyak kasus kembalinya militer dikarenakan sipil
meminta dukungan ketika struktur politik terfragmantasi dalam faksi-faksi
politik dan perangkat konstitusi tidak berjalan.
Eric A.Nodlinger, juga melihat kemungkinan adanya
peran politik yang dimainkan oleh korps perwira, dalam hal ini Nodlinger
membagi dalam tiga kategori peran yaitu moderator, guardians, dan rullers. Militer
berkarakter moderator manakala hubungan sipil-militer sangat cair. Bidang
politik dan pemerintahan dipegang oleh sipil yang mempunyai patron atau back-up
dari militer. Guardians mengacu pada peran militer sebagai pengawal dan
pengawas jalannya pemerintahan. Militer terlibat dalam bidang politik hanya
pada tataran yang makro-strategis. Kategori rullers adalah keadaan ketika
militer menguasai semua bidang terutama bidang politik, dalam konteks inilah
dapat menimbulkan sebuah rezim militer.
Agenda pendemokratisasian sangat terkait dengan
upaya mereduksi peran militer dalam bertanggung jawab sosial dan politik, kalau
tidak menghilangkan sama sekali, yaitu mengembalikan TNI ke dalam fungsinya
(repositioning) dengan meningkatkan azas-azas profesionalisme.
Ahli militer Indonesia, Jenderal Susilo Bambang
Yudhoyono (1996) menyatakan bahwa seorang prajurit yang professional mempunyai
kriteria sebagai berikut; 1. Seorang patriot, 2. Seorang komandan, 3. Seorang
Pembina (manajer), 4. Seorang pemikir (strategist and tactician), 5. Seorang
yang ahli pada bidangnya atau kecabangannya. Selain itu, sosok dan kriteria
seorang prajurit TNI yang professional sesuai dengan hakikat dan filsafat Tri
sakti Wiratama, yaitu (1) harus mempunyai mental yang tangguh, (2) intelegensi
yang tinggi , dan (3) fisik yang kuat. Pendapat selanjutnya, tolak ukur
profesionalisme prajurit yaitu apabila mampu mengemban tugas pertahanan Negara
dengan baik, disiplin, loyal, dan penuh rasa tanggung jawab melaksanakan setiap
tugas yang di percayakan hanya karena motivasi panggilan, pengabdian demi
kepentingan bangsa dan Negara, bukan kepentingan pribadi, kelompok dan atau
kepentingan politik tertentu.
1.
Peran Militer
Pada Masa Soeharto
Pada
masa kepresidenan Jendral Soeharto, militer memiliki posisi dan peran yang
sangat strategis dalam kehidupan politik di Indonesia.Militer merupakan salah
satu instrument utama untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan, khususnya
di dalam menciptakan dan mempertahankan stabilitas politik.Posisi yang
strategis yang dimiliki oleh ABRI menyebabkan banyak sekali permasalahan yang
timbul dalam jalannya perpolitikan di Indonesia pada masa itu.Mulai banyak
intervensi intervensi yang dilakukan oleh pihak militer untuk mempertahankan
posisi strategis mereka dalam pemerintahan.Efek buruk yang ditimbulkan pada
masa itu salah satunya adalah hilangnya demokrasi pada masyarakat, pada masa
itu masyarakat sangat tertekan dengan adanya militer disekitar mereka.Namun
untuk mengaburkan keadaan tersebut pemerintah menciptakan sebuah kondisi yang
mana pada masyarakat dengan tanpa sadar telah menciptakan kondisi
militeristis.Tidak hanya pada mayarakat sipil yang di intervensi oleh
pemerintah pada masa itu, mahasiswa yang meruapakan pengawas jalannya
pemerintahan juga di tekan. Sehingga untuk menghalangi mahasiswa melakukan demo
pemerintah menciptakan peraturan (NKK/BKK)
, pemerintah menciptakan keadaan dinamis di kampus dan membentuk resimen
mahasiswa guna mengawasi jalannya peraturan tersebut.
Partai pengusung
Soeharto adalah partai Golkar, pada masa itu perta Golkar selalu memenagi
pemilihan di setiap daerah. Alasan utama adalah pada masa itu proses kampanye
yang dilakukan oleh Golkar berada dari kota hingga desa, namun utuk partai yang
lain hanya dibolehkan melakukan kampaye pada tingkat desa. Alasan lain adalah
para pegawai sipil (PNS) pada masa itu diwajibakan untuk memilih Golkar,
apabila ditemukan salah satu PNS itu tidak memilih partai Golkar maka dapat
dipastikan dia akan di pecat atau akan diturunkan pangkatnya.Sehingga pendapatan
suara Golkar disetiap daerah mampu melampaui 40% suara.
Orde Baru tampil dengan
mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi
terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana
politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga -
lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan
berdasarkan like or dislike dari keputusan para elit negara
telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru
yang militeristik. Kekuatan militer di zaman Soeharto berada dalam satu
komando.Bahkan militer memasuki hampir ke semua ranah kehidupan secara sangat
signifikan.Pos-pos penting selalu dipegang militer, bahkan di dunia bisnis
sekalipun. Hal itu terlihat dari 27 anggota cabinet yang diangkat Suharto pada
Juli 1966 terdapat 12 menteri yang merupakan anggota ABRI, yakni 6 menteri
berasal dari Angkatan Darat. Dan yang menduduki posisi strategis pada saat itu
di tingkat pusat misalnya, dari 20 departemen yang berurusan dengan sipil
terdapat 11 anggota ABRI yang menduduki jabatan Sekretaris Jendral.
Dengan
kekuasaan yang begitu besar, Soeharto harus mencari konsensus dalam banyak hal,
melakukan pertemuan panjang dengan para pemimpin dari berbagai kelompok sosial
dan politik serta sebisa mungkin agar mereka
menerima kehendaknya. Hingga
akhirnya untuk memperkokoh powernya serta untuk menciptakan
stabilitas politik dalam birokrasi, maka pemerintah Orde Baru memberikan peran
ganda kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian
terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI dikukuhkan Ketetapan
No.XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan,
Keputusan Presiden No/132/1967 (24 Agustus 1967) tentang pokok-pokok organisasi
Departemen Pertanahan dan Keamanan, yakni pertama menjaga keamanan dan
ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara pertama
menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan
mengatur negara.. Dwifungsi ABRI” mengandung arti bahwa ABRI mempunyai dua
tugas, yakni sebagai militer, dan juga sebagai sipil. Dengan kata lain,
disamping sebagai kekuatan pengamanan (stabilisator), juga bertindak sebagai
kekuatan penggerak pembangunan masyarakat (dinamisator).
Pada masa ini ABRI selain menjadi mitra masyarakat sipil
mereka juga masuk ke ranah politik, sehingga kekuatan ABRI sangat dominan mas
itu. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Dwi fungsi ABRI hanya sebuah dalih
yang buat oleh pemerintah agar militer menempati posisi yang srategis. Pendapat
lain menyatakan bahwa Dwifungsi ABRI ini tidak memiliki landasan yang kuat dan
sangat tidak demokrasi. Menurut pandangan para pengamat luar negeri pada masa
ORBA ini Indonesia tidak ada demokrasi yang diberikan pada
masyarakat.penempatan ABRI di posisi yang sangat strategis menurut pemerintah
merupakan sebuah langkah yang efektif agar masyarakat dapat dilayani secara
langsung, namun yang terjadi adalah sebaliknya, kecenderungan ABRI menggunakan security approach malah banyak
memunculkan banyak konflik dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam ABRI ada sebagian
yang menganggap bahwa setiap demonstrasi, unjuk rasa maupun berbagai bentuk
penyampaian aspirasi adalah sebuah hal yang harus ditindak dan dihentikan.Unjuk
rasa apabila tidak menimbulkan sebuah hal yang negatife maka tidak ada
pengamanan dari militer namun hal sebaliknya apabila demokrasi dan kerusuhan
yang menuntut keadilan.Kemungkinan terjadinya bentrok sangatlah besar apabila
demontrans berhadapan dengan militer pada masa itu. Sungguh kita sayangkan
militer menggunakan doktrin mereka “ to
killed or to be killed” dalam menghadapain anak bangsa yang melakukan demo,
para anak bangsa di anggap sebagai musuh oleh ABRI saat itu. Sanggat disayangkan tindakan
mereka, penggunaan doktrin itu digunakan tidak hanya dalam melawan para
separatis namun juga dalam menghadapai sipil dan mahasiswa yang seharusnya
mereka lindungi dalam berispirasi
Posisi militer masa ini
sangatlah tidak sesuai dan tidak seharusnya mereka duduki.Sehingga dalam
memberikan suatu strategi pembangunan mereka juga menggunakan strategi militer.
Dalam sebuah contoh dapat kita ambil ketika mereka membentuk kebijakan AMD(ABRI
Masuk Desa) sekilas tampak bahwa pemerintah memberikan pelayan secara langsung
kepada masyarakat. Namun semua itu hanya sebuah kedok militer guna
mengendalikan setiap sendi dalam masyarakat desa sehingga militer dapat
mengawasi segala bentuk gerakan gerakan yang membahayakan posisi pemerintah.
Pada masa ORBA sanggat
berpenggaruh dalam segala sendi sendi dalam masyarakat.Dalam politik terutama,
seperti yang telah saya sampaikan dalam sebuah contoh diatas bagaimana mereka
berpengaruh dalam pengambilan setiap kebijakan yang di keluarkan oleh
pemerintah pusat.Masalah kapasitas lembaga – lembaga yang baru dibuat untuk
mengendalikan sisa kekuatan angkatan bersenjata yang memungkinkan mempunyai
jatingan melalui non-institusional jaringan tersebut adalah politik( Herd dan
Tracy 2005). Setiap kelompok diawasi oleh militer, kelompok yang bertujuan
menjadi “watchdog” bagi pemerintah
apabila mereka tidak memiliki keahlian, pengalaman, dana, insfrastruktur,
dukungan teknologi serta informasi dapat menyebabkan lembaga tersebut runtuh
dan menjadikan merka lembaga yang disfungsional.
Dalam perekonomian
Indonesia pada masa ORBA ketahanan pangan Indonesia sangat stabil dengan
dibuktikan pada masa itu masyarakat dapat dikatan sejahtera. Pada masa itu juga
indonesia berhasilmencapai masa
swasembada pangan, sampai pula Indonesia melakukan export ke luar negeri. Pada
masa itu tidak begitu terlihat bagaimana
militer berpengaruh dalam perekonomian masa itu. Namun dapat dikatan bahwa masa
ORBA Indonesia mencapai swasembada pangan hingga di sibut dengan MACAN ASIA.
Saat masa akhir ORBA tahun 1996 Indonesia masuk ke krisis perekonomian, bahan
pangan dan bahan pokok lainnya melonjak naik, banyak terjadi kelaparan dimana
mana serta utang luar negeri Indonesia mencapai sekian triliun dolar.
Tahun 1998 setelah
runtuhnya masa ORBA terjadilah reformasi – reformasi dalam tubuh militer yang dilakukan oleh presiden-presiden
setelahnya, pada masa BJ. Habibie, Wahid Hasyim(Gus Dur), Mega Wati, Susilo
Bambang Yudhoyono yang memiliki andil dalam reformasi militer di Indonesia.Berikut
ulasan reformasi pasca ORBA.
2. Peran Militer Pada Masa
B.J. Habibie
Dalam pemerintahan sipil dibawah presiden B.J.
Habibie, kebijakan yang ditempuh dalam mengelola hubungan sipil-militer relatif
masih sama dengan periode Presiden Soeharto. Militer pada masa B.J. Habibie
tidak lain adalah militer warisan Presiden Soeharto yang peran politiknya hanya
pada tingkat doktrin. Organisasi TNI masih sepenuhnya dibawah kendali Panglima
Tinggi TNI yang dipimpin oleh Jendral TNI Wiranto.dengan mendukung penuh
kepemimpinan Habibie dengan memanfaatkan kesempatan besar. Pada tanggal 22 Mei,
kesempatan pertama Habibie dalam meningkatkan legitimasinya, Pengurangan jumlah
anggota ABRI yang duduk di MPR dari 75 menjadi 38 kursi . Kebijakan lain dengan
diakhirinya praktik perwira perwira militer aktif yang menduduki
jabatan-jabatan non militer. Selain itu juga militer secara struktural
melakukan pemutusan hubungan dengan Golkar. Perubahan nama ABRI ( Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada
bulan April 1999.
Tetapi perubahan yang telah terjadi di pusat belum
tersosialisasikan sampai pada tingkat daerah. Keberadaan komando territorial
yang berada di daerah berdiri sejajar dengan pemerintahan sipil dengan pengaruh
yang kuat. Maka melihat dari Pandangan Huntington tentang konsep kontrol sipil
yang dilakukan pemerintahan Habibie mengarah kepada memaksimalkan
profesionalisme militer dan menunjukkan adanya pembagian kekuasaan politik
antara kelompok militer dan sipil yang kondusif menuju perilaku professional.
Dengan Objective civilian dibawah pengawasan jenderal TNI masa itu Wiranto. 5
3. Peran Militer Pada
Masa Abdurrahman Wahid
Presiden Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden
menggantikan Habibie, dengan proses depolatisasi militer dengan pola hubungan
sipil-militer mengarah kepada supremasi sipil dengan intervensi nya yang besar
. Perubahan yang dilakukan Presiden di masa itu dilihat dari bagian reformasi
politik dengan menciptakan terminologi supremasi sipil. Berikut beberapa
kebijakan dalam implikasi penting terhadap hubungan sipil-militer pada masa
Pemerintahan Abdurrahman Wahid, terutama di bidang pertahanan:
a. Pemisahan Departemen Pertahanan (sekarang dikenal
dengan Kementerian) , dibagi menjadi 2. Departemen Pertahanan mengurusi isu
keamanan yang terkait pada ancaman intervensi militer luar negri, sedangkan
pada sector Keamanan dimasukkan dalam Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan (Menkopolhumkam). Keamanaan yang diatur oleh kementrian ini
di fokuskan kepada pengurusan isu-isu domestik yang mengarah pada keamanan
sipil. Tanggung jawabnya sendiri di bebankan pada institusi sipil, seperti :
POLRI dan Satpol PP.
b. Pasca Orde Baru, dalam sejarah pertama kalinya
mengangkat seorang Mentri Pertahanan yang berasal dari kalangan sipil dan sama
sekali tidak memiliki latar belakang Militer dan juga bukan seorang
Purnawirawan Militer, yaitu Prof. Dr. Juwono Sudarsono (1999-2000) dan Prof.
Mahmud MD (2000-2001).
c. Pemisahan antara TNI dan POLRI . Pada masa
sebelumnya dimana TNI memiliki empat angkatan, yaitu : Angkatan Darat, Angkatan
Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Kemudian oleh Presiden dipisahkan, dan
TNI menjadi struktur kelembagaan tersendiri yang Mandiri.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid , masalah
pemberhentian ataupun pengangkatan pejabat militer, relatif cenderung di bawah
kendali Presiden, Meskipun pengaruhnya tidak sebesar Presiden Soeharto di masa
Orde Baru. Presiden Abdurrahman Wahid dalam hal ini mengklaimnya sebagai upaya
penegakkan supremasi sipil juga sebagai upaya meminimalisasi dominasi peran
politik militer. Namun intervensi Presiden Wahid yang terlalu jauh dalam
masalah internal TNI dan patronase yang diberikannya, puncaknya terjadi setelah
Presiden Wahid mengeluarkan Dekrit pada 23 Juli 2001, TNI pun tidak mematuhi
isi dekrit tersebut.
Dalam kaitan hubungan sipil-militer menurut teori
Huntington, militer pada masa Abdurrahman wahid dapat diklasifikasikan pada
control sipil subyektif (subjective civilian control), karena Abdurrahman Wahid
mengkondisikan kekuasaan presiden sebagai kekuasaan tertinggi dalam mengontrol
militer.
4. Militer masa Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono
Hubungan sipil-militer pada masa ini lebih mengarah
kebentuk yang ideal , dengan sipil sebagai pemegang control dalam pemerintahan
SBY. Supremasi sipil yang dilakukan dalam menjaga hubungan keharmonisan antara
sipil dan militer, hal ini sangat disesuaikan dengan pokok-pokok pemikiran SBY
yang dikenal sebagai tentara Reformis dengan menegakkan nilai-nilai
profesionalisme Tentara. Langkah SBY dalam menjaga hubungan sipil-militer
dengan profesionalitas militer tidak terlepas dari penempatan kepada
orang-orang yang memiliki kapabalitas dalam pemahaman sipil dan militer.
Seperti Prof. Dr. Juwono Sudarsono sebagai Mentri Pertahanan mendapat mandat
dari Presiden Yudhoyono untuk melakukan dua hal , yakni menjaga netralitras TNI
dan penertiban sistematis mengenai pengadaan Alutsista di Departemen
Pertahanan.
Keberhasilan pemerintahan Yudhoyono dalam membatasi
peran militer dalam politik terhadap hubungan sipil-militer disebabkan oleh
pendekatan control sipil obyektif (objective civilian control) menurut
Huntington. Dengan rekam jejak Yudhono sebagai penggerak reformasi internal
dari tubuh TNI. Presiden juga menghindarkan diri terlibat lebih jauh dalam
masalah internal TNI . Militer pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhono lebih
berkarakter sebagai Moderator, Presiden Susilo memiliki back up militer dan
menjadikan militer mempunyai batasan yang jelas dalam pemerintahan.
Kekuatan militer di Indonesia saat ini sudah semakin
baik dengan dibuktikannya prestasi oleh KOPASSUS yaitu dengan dinobatkan
sebagai pasukan terbaik nomor 3 di dunia versi Discovery Channel Military. Jadi tidak dipungkiri beberapa kali
reformasi dilakukan di bidang militer ini memberi dampak yang sangat baik bagi
kedaulatan bangsa. Sekarang ini militer Indonesia bisa di sejajarkan dengan
negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Singapura padahal dulu
militer Indonesia sangat tertinggal pada negara-negara tersebut. Penambahan kekuatan
militer Indonesia melalui penambahan alutista TNI untuk ini bisa dikatakan
mengalami peningkatan signifakan di tahun 2014 ini sebagai hasil dari belanja
alutsista yang dilaksanakan pemerintah memalui program Minimum Essential
Force (MEF) Restra I yang sudah dijalankan pada tahun 2009 sampai 2014 ini.
Hasil dari belanja alutsista TNI pada MEF I ini bisa kita lihat dalam event HUT
TNI ke-69 yang dirayakan beberapa waktu lalu di Surabaya. Dalam event ini
terlihat jelas kekuatan
Militer Indonesia 2014 yang sebenarnya. Dalam
event ini ada banyak sekali alutsista kelas wahid yang baru tiba di Indonesia
yang dipamerkan kepada rakyat Indonesia, diantaranya MBT Leopard, KRI Bung Tomo
Class, Su-30/27, dan masih banyak lagi.
Namun penambahan kekuatan militer Indonesia ini
tidak akan berhenti hanya sampai tahun 2014 saja. Bisa dipastikan bahwa
kekuatan militer Indonesia 2015 nanti juga akan mengalami peningkatan terus
menerus bahkan sampai dengan tahun 2024 nanti. Jika tidak ada kendala berarti
kita akan melihat kekuatan militer Indonesia 2024 yang sangat ditakuti dan
disegani oleh negara lainnya.
Sumber : Moh. Giofani Fahrizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar