Minggu, 26 Juli 2015

Kontribusi Indonesia bagi ASEAN



Berbicara mengenai kontribusi Indonesia bagi ASEAN, dapat dipahami bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memprakarsai terbentuknya organisasi internasional tersebut. Diwakili oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia saat itu, Adam Malik, bersama dengan keempat menteri luar negeri dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, mendeklarasikan terciptanya ASEAN yang tertuang dalam Dekalrasi ASEAN. Penandatanganan deklarasi tersebut menjadi hari lahir dari ASEAN pada 8 Agustus 1967 di gedung utama Departemen Luar Negeri Thailand di Bangkok. Sebagai salah satu pencetus ASEAN, Indonesia tentunya memiliki banyak kontribusi terhadapnya. Pada saat itu, Adam Malik dalam pidatonya mengatakan bahwa Indonesia memiliki pandangan terhadap ASEAN yaitu “a region which can stand on its own feet, strong enough to defend itself against any negative influence from outside region.”. Dari pendangan tersebut dapat dilihat bahwa Indonesia memiliki keinginan agar Asia Tenggara ini dapat hidup secara mandiri tanpa ketergantungan dari negara lain, dan dapat bertahan dari segala pengaruh dari pihak asing. Sebagai wakil Indonesia, ia berharap dengan adanya ASEAN, negara – negara Asia Tenggara akan dapat bekerja sama secara efektif, mengingat wilayah Asia Tenggara ini memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Meskipun negara – negara Asia Tenggara ini memiliki banyak perbedaan, namun perbedaan tersebut dapat diatasi dengan pemahaman dan niat baik dari antar negara.
Erlina Widyaningsih dan Chrisopher Roberts menyebutkan bahwa Indonesia sudah sejak lama dipahami sebagai natural born leader, atau setidaknya menjadi negara pertama yang berpengaruh dalam ASEAN. Dengan berakhirnya konfrontasi dengan Malaysia dan adanya keinginan untuk membentuk ASEAN, Indonesia seolah mendapat tempat yang krusial dari negara – negara Asia Tenggara pada waktu itu, sesuai dengan kebijakan Presiden Soeharto yang ingin menciptakan kerja sama yang baik antar negara dalam kawasan Asia Tenggara. Dewi Fortuna Anwar mengatakan bahwa dengan adanya keinginan Indonesia untuk membentuk ASEAN, hal tersebut menandai adanya keinginan untuk menahan diri dan membatasi hegemoni Indonesia di kawasan Asia Tenggara sehingga Indonesia malah menerima respek dan pengakuan dari negara – negara Asia Tenggara.
Lebih lanjut, Widyaningsih dan Roberts  secara umum membagi peran Indonesia dalam sektor politik dan  keamanan dalam tiga bagian. Bagian yang pertama adalah peran Indonesia sebagai pihak yang menangani krisis dan sebagai mediator dari konflik. Indonesia memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk mengambil peran dalam setiap konflik dan krisis yang dapat mengancam stabilitas kawasan. Sebagai contoh, saat konflik antara Malaysia dan Filipina pecah pada tahun 1968 yang dikarenakan Malaysia menganggap Filipina mendanai gerakan separatisme di Sabah, Presiden Soeharto kemudian mengajukan proposal dalam ASEAN Ministerial Meeting akan adanya periode cooling-off  diantara kedua negara yanbg berselisih. Sejak menjadi negara baru yang demokrasi, Indonesia meningkatkan intensitasnya untuk iikut mengatasi krisis di sektor kemanusiaan. Sebagai contoh, disaat Myanmar junta memblokir bantuan asing yang diberikan untuk korban Badai Nargis pada 2008, Menteri Luar Negeri Indonesia berhasil menegosiasikan hal tersebut dengan Menteri Luar Negeri Myanmar yang mengatakan bahwa bantuan tersebut sudah menjadi tanggung jawab dari ASEAN untuk membantu sesama. Contoh lain dapat diambil ketika Indonesia menjadi mediator dari konflik antara Thaiiland dan Kamboja mengenai sengketa kuil Preah Vihear pada 2011. Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu, mengunjungi dan berdiplomasi dengan kedua negara. Indonesia kemudian mengadakan ASEAN Informal Foreign Ministerial Meeting di Jakarta pada 22 Februari 2011 demi menyelesaikan kasus tersebut yang menghasilkan bahwa kedua negara setuju militer dan observer dari Indonesia masuk untuk mengamati perkembangan kasus tersbut di perbatasan kedua negara.
Peran yang kedua dari Indonesia adalah pembentukan dan pengembangan norma dan institusi ASEAN. Dapat dibuktikan dengan pembentukan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan Perjanjian Bali I oleh Indonesia. Menurut dokumen perjanjian tersebut, ASEAN harus berkomitmen untuk terciptanya tatanan regional dimana anggotanya membagi harapan akan terciptanya perdamaian dan tidak menggunakan kekerasan sebagai pemecahan masalah dengan tujuan terciptanya ASEAN Security Community. Pada Perjanjian Bali II pada 2003 terlahir sebuah tujuan untuk membentuk sebuah masyarakat ekonomi dan masyarakat sosio-kultural dari negara – negara ASEAN. Lalu dengan lahirnya ASEAN Charter pada 2007 membawa dampak signifikan yang membuat ASEAN memiliki status hukum yang mengikat dari anggota ASEAN. Pada 2009, Indonesia mengusulkan dibentuknya sebuah badan hukum yang menangani masalah hak asasi manusia yang disebut dengan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) yang kemudian akan dibentuk diantara 2012 – 2015 yang juga menjadi salah satu tujuan dari ASEAN Charter.
Peran ketiga yang disebutkan oleh Widyaningsih dan Roberts adalah implikasi dari ASEAN terhadap perkembangan kekuatan Indonesia. Terdapat usulan mengenai pelebaran wilayah dari ASEAN hingga mencakup wilayah Indo-Pasifik. Dengan adanya usulan untuk perjanjian Indo-Pasifik tersebut dimaksudkan untuk menjaga sentralitas ASEAN dengan memperluas dan mengkonsolidasikan norma Asosiasi mengenai penyelesaian sengketa secara damai dan tidak menggunakan  kekuatan di wilayah Indo-Pasifik yang lebih luas. Hal tersebut selaras dengan pandangan Natalegawa bahwa dengan memperluas regional architecture akan melibatkan hubungan yang komprehensif dari negara dengan kekuatan kuat dan menengah untuk aktif dalam sektor keamanan, politik, lngkungan, ekonomi, dan sosial-budaya. Selain itu, kepemimpinan Indonesia juga menjadi vital dalam pembentukan Konferensi Asia Timur dan ASEAN yang juga termasuk Australia, New Zealand, Amerika Serikat dan Rusia. Munculnya pengaruh di Indonesia di luar batas wilayah Asia Tenggara telah menyebabkan beberapa analis untuk menggambarkan itu sebagai negara poros yang memiliki satu 'ketahanan' dan 'fleksibilitas' untuk memposisikan dirinya untuk beradaptasi dengan pergeseran kebutuhan strategis, yaitu, 'fleksibilitas untuk poros antara mitra potensial’. Peran Indonesia sebagai “arsitek” yang menggagaskan ide – ide membuat ASEAN menjadi sebuah organisasi yang dinamis sehingga dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dalam permasalahan, baik intra-regional maupun extra-regional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar