Minggu, 26 Juli 2015

Rezim-Rezim Internasional: Rezim ASEAN Region Forum



Dunia internasional membutuhkan sebuah atau sekumpulan rezim guna mengatur dan menata tatanan dunia menjadi lebih teratur dan damai. Rezim yang dibuat dapat bertemakan berbagai aspek, seperti ekonomi, keamanan, politik, kelingkungan, dan rezim lainnya. Penulis akan membahas seputar rezim dalam ranah keamanan tingkat regional. Salah satu rezim yang terfokus pada keamanan regional ialah ASEAN Regional Forum (ARF). ARF merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan (Kemlu.go.id, tt). ARF merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lain seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Jepang, Rusia dan Uni Eropa (UE). ARF menyepakati bawa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional. Peserta ARF berjumlah 27 negara yang terdiri atas seluruh negara anggota ASEAN (Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina), 10 negara Mitra Wicara ASEAN (Amerika Serikat, Kanada, China, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Uni Eropa) serta beberapa negara di kawasan yaitu: Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara, Pakistan, Timor-Leste, Bangladesh dan Sri Lanka (Kemlu.go.id, tt).
ARF memiliki beberapa tujuan sebagai suatu wahana utama dalam mewujudkan tujuan ASEAN dalam menciptakan dan menjaga stabilitas serta keharmonisan kawasan, seperti mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama, serta memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujdkan confidence building dan preventive diplomacy di kawasan Asia Pasifik (Kemlu.go,id, tt). Meskipun termasuk dalam ARF, ia telah menjadi kontributor yang berharga bagi pemeliharaan harmoni dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. Kinerja ARF dilengkapi oleh aktivitas Track 2 yang dilakukan oleh entitas non-pemerintah dalam lingkup ARF. Track 2 dalam konteks ini ialah salah satu track dari konsep multi-track dalam strategi berdiplomasi, yang mencakup kalangan non-pemerintah atau professional dengan tindakan non-pemerintah yang professional untuk mencoba menganalisis, mencegah, mengatasi dan mengelola konflik internasional (McDonald, 2012).
ARF merupakan penolakan dari model keamanan ala Eropa yang didasarkan atas kombinasi kekuatan politik besar dan intitusionalisme yang terlegalkan (Garofano, 1999: 74). Sebaliknya, ASEAN menggunakan caranya sendiri, yakni ASEAN Way dalam setiap tindakannya. Tujuan dari ARF adalah untuk membantu perkembangan dialog yang konstruktif dan juga konsultasi dalam bidang politik-keamanan yang menjadi kepentingan dan fokus bersama, serta berkontribusi dalam upaya menuju pembangunan kepercayaan diri dan diplomasi preventif di wilayah Asia-Pasifik. Sebagai contoh, ARF ingin membangun interkonektivitas antar anggotanya. Beberapa hal yang kemudian disangsikan oleh berbagai pihak berkaitan dengan ARF ini adalah tentang isu gangguan keamanan kawasan. Seperti dalam kasus Laut Cina Selatan yang melibatkan negara kawasan Asia Timur yang belum tentu ingin berkompromi dengan ASEAN Way. Bukan hanya negara kawasan Asia Timur saja, negara-negara Asia-Pasifik pun belum tentu menerima cara yang ditawarkan ARF tersebut. Usulan dari Australia dan Kanada untuk membentuk hal yang serupa seperti di Eropa di tolak oleh ASEAN dengan alasan perbedaan dalam banyak hal antara Asia dan Eropa. Model Eropa yang menggunakan resolusi konflik dalam penyelesaian problematika internalnya tidak dapat digunakan di Asia, khususnya Asia Pasifik. Adanya gangguan stabilitas keamanan terkait perebutan wilayah territorial di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara harus ditanggapi dengan tindakan yang tepat, sebab akan mempengaruhi banyak hal.
Kembali pada konsep awal didirikannya ARF, bahwa seluruh anggota ARF menginginkan adanya wadah yang menampung berbagai macam pandangan mengenai isu-isu kemanan tradisional dan non-tradisional, ekonomi, hingga politik. Dalam Pertemuan Tingkat Meneri ke-27 ASEAN tahun 1994, para Menteri Luar Negeri menyetujui “ARF could become an effective consultative Asia-Pacific Forum for promoting open dialogue on political and security cooperation in the region”. Seluruh anggota ARF sepakat bahwa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional (www.ditpolkom.bappenas.go.id). Dalam pelaksanaannya, ARF menciptakan sebuah transparansi informasi sehingga meningkatkan rasa saling percaya diantara anggotanya. Dengan begitu, resiko akan salah pengertian dan saling curiga dapat terhindarkan, mengingat begitu majemuknya politik – keamanan di wilayah Asia-Pasifik. Di masa mendatang, ARF juga diarahkan untuk menjadi sarana bagi penyelesaian konflik. Dengan demikian, ARF dapat menjadi wahana utama untuk meningkatkan suatu budaya dialog, pengertian dan toleransi dengan cara damai.

PBB sebagai organisasi internasional menetapkan struktur global bagi setiap international Governmental Organization (IGO) dalam menangani isu keamanan. Kesadaran negara-negara terhadap isu keamanan internasional dibuktikan dari keberadaan setidaknya satu IGO di setiap lima wilayah kawasan geografi utama. Beberapa IGO pada tingkat regional tersebut antara lain NATO, CIS, WEU di kawasan Eropa; ASEAN dan ARF di kawasan Asia; Liga Arab dan GCC di Timur Tengah; AU dan ECOWAS di Afrika; dan OAS di kawasan Amerika Latin. Sedangkan pada tingkatan internasional, yang berada di bawah naungan PBB adalah Dewan Keamanan (Security Council) dengan International Atomic Energy and Agency (IAEA), Majelis Umum dengan Departement of Peacekeeping Operations (DPKO), Secretary-General dengan Office for Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), dan Internaional Court of Justice melalui High Commisssioner for Refugees (UNHCR). Selain IGO pada tingkatan regional maupun global, Non-Governmental Organization (NGO) juga telah sejak lama muncul dan menaruh perhatian pada penyelesaian konflik secara damai, disarmament, dan humanitarian relief. Beberapa diantaranya ialah Stockholm International Peace, Greenpeace, International Physicians for the Prevention of Nuclear War, Save the Children Federation, Catholic Relief Services, CARE, dan masih banyak lagi.

Dalam konteks ini ARF memiliki relasi yang erat dengan integrasinya yaitu ASEAN dan PBB. Sehingga  rezim yang berkaitan dengan kedua organisasi internasional tersebut memiliki pengaruh atau relasi dengan eksistensi ARF. Disini ARF memiliki peranan sebagai IGO pada tingkat regional dalam menangani isu keamanan.  Sehingga ARF sejalan dengan PBB, sebagai organisasi global, yang menetapkan struktur global bagi setiap international Governmental Organization (IGO) dalam menangani isu keamanan. Declaration on Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN, 1971) di ASEAN juga mendorong peran ARF sebagai eksekutor dari keamanan dan stabilitas ASEAN.

Keberadaan rezim ekonomi di ASEAN yaitu AFTA juga tak lepas dari pengaruh aspek keamanan dan politik. Logikanya bila stabilitas perpolitikan dan keamanan terpengaruh oleh peristiwa pemboman yang terjadi 11  September 2001 yang dilakukan oleh teroris maka mekanisme perekonomian pasti juga ikut labil dan tidak kondusif. Untuk itu dibutuhkan relasi peranan rezim keamanan ARF dan sejenisnya untuk mengembalikan kepercayaan investor dalam dan luar kawasan. ARF yang dibentuk pada tahun 1994 sebagai forum yang membahas mengenai stabilitas keamanan kawasan serta penyatuan pandangan bersama terhadap visi dan misi dari ASEAN itu sendiri. Dimana dengan dibentuknya ARF, diharapkan ASEAN menjadi komunitas yang sejati serta terlegitimasi di internasional dan menjadi lembaga yang kuat yang dapat menjaga stabilitas keamanan regionalnya dan saling menciptakan simbiosis mutualisme. Dalam Garofano (1999) disebutkan bahwa ARF terbentuk dengan harapan dalam bentukan komunitas sejati, lembaga yang kuat, dan yang terjadi hanya politik kekuasaan. Dalam hal ini dibentuknya ARF dipandang oleh kaum konstruktivis sebagai sebuah forum yang keberadaannya jelas menurut anggota-anggota yang terikat di dalamnya. Hal tersebut kemudian menciptakan sebuah kemanan dalam kawasannya dan juga bentuk kerjasama yang terjadi akan semakin kooperatif.

Lebih lanjut, korelasi ARF dalam legitimasi ASEAN tertuang dalam upaya mendorong RRC untuk melaksanakan tindakan positif di ranah internasional. Alasan yang mengarah pada keberadaan China tersebut karena China merupakan salah satu negara yang mengalami kebangkitan setelah Uni Soviet mengalami keruntuhan dan Amerika sebagai negara yang memiliki kemiliteran yang kuat menjadi jatuh pasa Perang Dingin (Garofano, 1999). Rezim ASEAN-China Free Trade Area juga menekankan kerjasama ekonomi antara kedua belah pihak. Sehubungan dengan ARF, pada mulanya China berperan sebagai mitra konsultatif karena adanya anggapan bahwa ARF tak ubahnya bentuk upaya Barat untuk menyebarkan nilai liberalisme dan kapitalisme. Namun seperti telah dijelaskan sebelumnya, China bersedia menjadi mitra dialog. Hal ini juga tak lepas dari adanya peranan Amerika Serikat yang relatif insignifikan dalam pengambilan keputusan di ARF. Dengan demikian, China turut berperan aktif dalam kerjasama dalam rangka mewujudkan keamanan, preservasi lingkungan hidup, dan pertumbuhan ekonomi. 

Keamanan, preservasi lingkungan hidup, dan pertumbuhan ekonomi oleh China tidak serta merta berarti ketiadaan konflik di antara China dan negara-negara ASEAN. Konflik Laut China Selatan yang menyimpan sumber daya berlimpah merupakan konflik panjang yang terjadi antara China dan ASEAN. Kepemilikian pulau Spratly dan Paracel yang menyimpan potensi ekonomis dan strategis, isu pelayaran, navigasi, dan batas territori nasional menjadi hal-hal yang diperebutkan dalam konflik ini. China yang pada awalnya menolak untuk membicarakan kasus ini secara multilateral, akhirnya setuju untuk menandatangani perjanjian The Declaration on the Conduct of Parties in South-China Sea. Ancaman militer Cina yang beroperasi di wilayah Laut China Selatan menjadi poin yang melatarbelakangi deklarasi ini. Deklarasi tersebut mengedepankan kerjasama dan prinsip-prinsip Treaty of Amity and Cooperation (TAC) in Southeast Asia. Meskipun demikian, status kepemilikian kedua pulau yang diperebutkan tersebut masih belum jelas, terutama dengan kedua belah pihak yang mempertahankan posisi. China berupaya untuk mempertahankan dominasinya melalui negosiasi bilateral, sementara ASEAN mengajukan proposal untuk melakukan perundingan secara multilateral. Keberadaan ARF yang juga menjadi alat pertemuan dari negara-negara besar yang menjadi bagian dari Mitra Wicara ASEAN menjadi sebuah bentukan yang mampu melaksanakan sebuah perimbangan dalam hal kekuatan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan keinginan ASEAN mengenai keberlanjutan dari kehadiran AS-Jepang dan RRC dan mengajak seluruh negara di kawasan Asia Pasifik untuk memberkan kontribusi terhadap kestabilan kawasan (Chandrawati 2008, 139).
Dalam konteks global kini, ARF menjadi amat rentan atas ancaman kepentingan sesaat negara-negara besar. ARF bisa jatuh ke dalam instrumen ”kepentingan sesaat” negara adidaya, seperti Amerika Serikat. Sedangkan dalam konteks ”perang melawan terorisme” mudah sekali bagi Amerika memanfaatkan ARF menjadi kepentingan politik luar negerinya. Bahkan dikhawatirkan ARF dapat menjadi sarana lobi Amerika untuk mencari dukungan kehadirannya di Irak. Kenyataan ini harus diwaspadai sebab selain mengkhawatirkan, juga ada tendensi meningkatkan kapabilitas militer dari negara ASEAN sebagai payung perlindungan untuk melakukan serangan terhadap terorisme. Sikap konsisten ASEAN amat diperlukan guna menjaga kredibilitas ASEAN sebagai organisasi multilateral.
Sebagai aktor di kawasan Asia Tenggara, ASEAN seharusnya tidak perlu mengikuti pilihan yang diambil Amerika Serikat, seperti pernah dilakukan ketiga negara ASEAN saat menanggapi wawancara Presiden AS George W. Bush dengan ABC News Desember 2001. Dalam wawancaranya, Bush ingin menempatkan pasukannya di Filipina, Malaysia, dan Indonesia guna memerangi terorisme yang berkaitan dengan jaringan Al-Qaeda di Asia Tenggara. Namun, ketiga negara ASEAN itu menolak dengan alasan, antara lain, konstitusi melarang, tidak sesuai kebijakan negara bersangkutan, dan mengganggu kedaulatan suatu negara. Penolakan ASEAN dinilai mampu menciptakan pengertian tentang pentingnya integritas nasional, stabilitas politik, dan pertahanan keamanan ke dalam lingkungan regional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar