Dunia internasional membutuhkan
sebuah atau sekumpulan rezim guna mengatur dan menata tatanan dunia menjadi
lebih teratur dan damai. Rezim yang dibuat dapat bertemakan berbagai aspek,
seperti ekonomi, keamanan, politik, kelingkungan, dan rezim lainnya. Penulis
akan membahas seputar rezim dalam ranah keamanan tingkat regional. Salah satu
rezim yang terfokus pada keamanan regional ialah ASEAN Regional Forum (ARF).
ARF merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai
suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan
politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan
antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas
dan keamanan kawasan (Kemlu.go.id, tt). ARF merupakan satu-satunya forum di
level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat di kawasan
Asia Pasifik dan kawasan lain seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China,
Jepang, Rusia dan Uni Eropa (UE). ARF menyepakati bawa konsep keamanan
menyeluruh (comprehensive security)
tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional namun
juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu
keamanan non-tradisional. Peserta ARF berjumlah 27 negara yang terdiri atas
seluruh negara anggota ASEAN (Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos,
Vietnam, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina), 10 negara Mitra
Wicara ASEAN (Amerika Serikat, Kanada, China, India, Jepang, Korea Selatan,
Rusia, Selandia Baru, dan Uni Eropa) serta beberapa negara di kawasan yaitu:
Papua Nugini, Mongolia, Korea Utara, Pakistan, Timor-Leste, Bangladesh dan Sri
Lanka (Kemlu.go.id, tt).
ARF memiliki beberapa tujuan sebagai
suatu wahana utama dalam mewujudkan tujuan ASEAN dalam menciptakan dan menjaga
stabilitas serta keharmonisan kawasan, seperti mengembangkan
dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang
menjadi kepentingan dan perhatian bersama, serta memberikan
kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujdkan confidence building dan preventive
diplomacy di kawasan Asia Pasifik (Kemlu.go,id, tt). Meskipun termasuk
dalam ARF, ia
telah menjadi kontributor yang berharga bagi pemeliharaan harmoni dan
stabilitas di kawasan Asia Pasifik. Kinerja ARF dilengkapi oleh aktivitas Track
2 yang dilakukan oleh entitas non-pemerintah dalam lingkup ARF. Track 2 dalam
konteks ini ialah salah satu track dari konsep multi-track dalam strategi
berdiplomasi, yang mencakup kalangan non-pemerintah
atau professional dengan tindakan non-pemerintah yang professional untuk
mencoba menganalisis, mencegah, mengatasi dan mengelola konflik internasional
(McDonald, 2012).
ARF merupakan penolakan dari model keamanan ala Eropa yang
didasarkan atas kombinasi kekuatan politik besar dan intitusionalisme yang
terlegalkan (Garofano, 1999: 74). Sebaliknya, ASEAN menggunakan caranya
sendiri, yakni ASEAN Way dalam setiap tindakannya. Tujuan dari ARF adalah untuk
membantu perkembangan dialog yang konstruktif dan juga konsultasi dalam bidang
politik-keamanan yang menjadi kepentingan dan fokus bersama, serta
berkontribusi dalam upaya menuju pembangunan kepercayaan diri dan diplomasi
preventif di wilayah Asia-Pasifik. Sebagai contoh, ARF ingin membangun interkonektivitas antar anggotanya.
Beberapa hal yang kemudian disangsikan oleh berbagai pihak berkaitan dengan ARF
ini adalah tentang isu gangguan keamanan kawasan. Seperti dalam kasus Laut Cina
Selatan yang melibatkan negara kawasan Asia Timur yang belum tentu ingin
berkompromi dengan ASEAN Way. Bukan hanya negara kawasan Asia Timur saja,
negara-negara Asia-Pasifik pun belum tentu menerima cara yang ditawarkan ARF
tersebut. Usulan dari Australia dan Kanada untuk membentuk hal yang serupa
seperti di Eropa di tolak oleh ASEAN dengan alasan perbedaan dalam banyak hal
antara Asia dan Eropa. Model Eropa yang menggunakan resolusi konflik dalam
penyelesaian problematika internalnya tidak dapat digunakan di Asia, khususnya
Asia Pasifik. Adanya gangguan stabilitas keamanan terkait perebutan wilayah
territorial di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara harus ditanggapi dengan
tindakan yang tepat, sebab akan mempengaruhi banyak hal.
Kembali pada konsep awal didirikannya ARF, bahwa seluruh
anggota ARF menginginkan adanya wadah yang menampung berbagai macam pandangan
mengenai isu-isu kemanan tradisional dan non-tradisional, ekonomi, hingga
politik. Dalam Pertemuan Tingkat Meneri ke-27 ASEAN tahun 1994, para Menteri
Luar Negeri menyetujui “ARF could become an effective consultative
Asia-Pacific Forum for promoting open dialogue on political and security
cooperation in the region”. Seluruh anggota ARF sepakat bahwa konsep
keamanan menyeluruh (comprehensive security) tidak hanya mencakup aspek-aspek
militer dan isu keamanan tradisional namun juga terkait dengan aspek politik,
ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional (www.ditpolkom.bappenas.go.id). Dalam pelaksanaannya,
ARF menciptakan sebuah transparansi informasi sehingga meningkatkan rasa saling
percaya diantara anggotanya. Dengan begitu, resiko akan salah pengertian dan
saling curiga dapat terhindarkan, mengingat begitu majemuknya politik –
keamanan di wilayah Asia-Pasifik. Di masa mendatang, ARF juga diarahkan untuk
menjadi sarana bagi penyelesaian konflik. Dengan demikian, ARF dapat menjadi
wahana utama untuk meningkatkan suatu budaya dialog, pengertian dan toleransi
dengan cara damai.
PBB sebagai organisasi
internasional menetapkan struktur global bagi setiap international Governmental
Organization (IGO) dalam menangani isu keamanan. Kesadaran negara-negara
terhadap isu keamanan internasional dibuktikan dari keberadaan setidaknya satu
IGO di setiap lima wilayah kawasan geografi utama. Beberapa IGO pada
tingkat regional tersebut antara lain NATO, CIS, WEU di kawasan Eropa; ASEAN
dan ARF di kawasan Asia; Liga Arab dan GCC di Timur Tengah; AU dan ECOWAS di
Afrika; dan OAS di kawasan Amerika Latin. Sedangkan pada tingkatan
internasional, yang berada di bawah naungan PBB adalah Dewan Keamanan (Security Council) dengan International
Atomic Energy and Agency (IAEA), Majelis Umum dengan Departement of
Peacekeeping Operations (DPKO), Secretary-General dengan Office
for Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), dan Internaional
Court of Justice melalui High Commisssioner for Refugees (UNHCR).
Selain IGO pada tingkatan regional maupun global, Non-Governmental
Organization (NGO) juga telah sejak lama muncul dan menaruh perhatian pada
penyelesaian konflik secara damai, disarmament, dan humanitarian
relief. Beberapa diantaranya ialah Stockholm International Peace,
Greenpeace, International Physicians for the Prevention of Nuclear War, Save
the Children Federation, Catholic Relief Services, CARE, dan masih banyak
lagi.
Dalam konteks ini ARF
memiliki relasi yang erat dengan integrasinya yaitu ASEAN dan PBB. Sehingga rezim yang berkaitan dengan kedua organisasi
internasional tersebut memiliki pengaruh atau relasi dengan eksistensi ARF.
Disini ARF memiliki peranan sebagai IGO pada tingkat regional dalam menangani
isu keamanan. Sehingga ARF sejalan
dengan PBB, sebagai organisasi global, yang menetapkan struktur global bagi
setiap international Governmental Organization (IGO) dalam menangani isu
keamanan. Declaration on Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN, 1971)
di ASEAN juga mendorong peran ARF sebagai eksekutor dari keamanan dan
stabilitas ASEAN.
Keberadaan rezim
ekonomi di ASEAN yaitu AFTA juga tak lepas dari pengaruh aspek keamanan dan
politik. Logikanya bila stabilitas perpolitikan dan keamanan terpengaruh oleh
peristiwa pemboman yang terjadi 11 September 2001 yang dilakukan
oleh teroris maka mekanisme perekonomian pasti juga ikut labil dan tidak
kondusif. Untuk itu dibutuhkan relasi peranan rezim keamanan ARF dan sejenisnya
untuk mengembalikan kepercayaan investor dalam dan luar kawasan. ARF yang
dibentuk pada tahun 1994 sebagai forum yang membahas mengenai stabilitas
keamanan kawasan serta penyatuan pandangan bersama terhadap visi dan misi dari
ASEAN itu sendiri. Dimana dengan dibentuknya ARF, diharapkan ASEAN menjadi
komunitas yang sejati serta terlegitimasi di internasional dan menjadi lembaga
yang kuat yang dapat menjaga stabilitas keamanan regionalnya dan saling
menciptakan simbiosis mutualisme. Dalam Garofano (1999) disebutkan bahwa ARF
terbentuk dengan harapan dalam bentukan komunitas sejati, lembaga yang kuat,
dan yang terjadi hanya politik kekuasaan. Dalam hal ini dibentuknya ARF
dipandang oleh kaum konstruktivis sebagai sebuah forum yang keberadaannya jelas
menurut anggota-anggota yang terikat di dalamnya. Hal tersebut kemudian
menciptakan sebuah kemanan dalam kawasannya dan juga bentuk kerjasama yang
terjadi akan semakin kooperatif.
Lebih lanjut, korelasi
ARF dalam legitimasi ASEAN tertuang dalam upaya mendorong RRC untuk
melaksanakan tindakan positif di ranah internasional. Alasan yang mengarah pada
keberadaan China tersebut karena China merupakan salah satu negara yang
mengalami kebangkitan setelah Uni Soviet mengalami keruntuhan dan Amerika
sebagai negara yang memiliki kemiliteran yang kuat menjadi jatuh pasa Perang
Dingin (Garofano, 1999). Rezim ASEAN-China Free Trade Area juga menekankan
kerjasama ekonomi antara kedua belah pihak. Sehubungan dengan ARF, pada mulanya
China berperan sebagai mitra konsultatif karena adanya anggapan bahwa ARF tak
ubahnya bentuk upaya Barat untuk menyebarkan nilai liberalisme dan kapitalisme.
Namun seperti telah dijelaskan sebelumnya, China bersedia menjadi mitra dialog.
Hal ini juga tak lepas dari adanya peranan Amerika Serikat yang relatif
insignifikan dalam pengambilan keputusan di ARF. Dengan demikian, China turut
berperan aktif dalam kerjasama dalam rangka mewujudkan keamanan, preservasi
lingkungan hidup, dan pertumbuhan ekonomi.
Keamanan, preservasi
lingkungan hidup, dan pertumbuhan ekonomi oleh China tidak serta merta berarti
ketiadaan konflik di antara China dan negara-negara ASEAN. Konflik Laut China
Selatan yang menyimpan sumber daya berlimpah merupakan konflik panjang yang
terjadi antara China dan ASEAN. Kepemilikian pulau Spratly dan Paracel yang
menyimpan potensi ekonomis dan strategis, isu pelayaran, navigasi, dan batas
territori nasional menjadi hal-hal yang diperebutkan dalam konflik ini. China
yang pada awalnya menolak untuk membicarakan kasus ini secara multilateral,
akhirnya setuju untuk menandatangani perjanjian The Declaration on the Conduct of Parties in South-China Sea.
Ancaman militer Cina yang beroperasi di wilayah Laut China Selatan menjadi poin
yang melatarbelakangi deklarasi ini. Deklarasi tersebut mengedepankan kerjasama
dan prinsip-prinsip Treaty of Amity and
Cooperation (TAC) in Southeast Asia. Meskipun demikian, status kepemilikian
kedua pulau yang diperebutkan tersebut masih belum jelas, terutama dengan kedua
belah pihak yang mempertahankan posisi. China berupaya untuk mempertahankan
dominasinya melalui negosiasi bilateral, sementara ASEAN mengajukan proposal
untuk melakukan perundingan secara multilateral. Keberadaan ARF yang juga
menjadi alat pertemuan dari negara-negara besar yang menjadi bagian dari Mitra Wicara
ASEAN menjadi sebuah bentukan yang mampu melaksanakan sebuah perimbangan dalam
hal kekuatan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan keinginan ASEAN
mengenai keberlanjutan dari kehadiran AS-Jepang dan RRC dan mengajak seluruh
negara di kawasan Asia Pasifik untuk memberkan kontribusi terhadap kestabilan
kawasan (Chandrawati 2008, 139).
Dalam konteks
global kini, ARF menjadi amat rentan atas ancaman kepentingan sesaat
negara-negara besar. ARF bisa jatuh ke dalam instrumen ”kepentingan sesaat” negara
adidaya, seperti Amerika Serikat. Sedangkan dalam konteks ”perang melawan
terorisme” mudah sekali bagi Amerika memanfaatkan ARF menjadi kepentingan
politik luar negerinya. Bahkan dikhawatirkan ARF dapat menjadi sarana lobi
Amerika untuk mencari dukungan kehadirannya di Irak. Kenyataan ini harus
diwaspadai sebab selain mengkhawatirkan, juga ada tendensi meningkatkan
kapabilitas militer dari negara ASEAN sebagai payung perlindungan untuk
melakukan serangan terhadap terorisme. Sikap konsisten ASEAN amat diperlukan
guna menjaga kredibilitas ASEAN sebagai organisasi multilateral.
Sebagai aktor di kawasan Asia Tenggara, ASEAN seharusnya tidak perlu
mengikuti pilihan yang diambil Amerika Serikat, seperti pernah dilakukan ketiga
negara ASEAN saat menanggapi wawancara Presiden AS George W. Bush dengan ABC
News Desember 2001. Dalam wawancaranya, Bush ingin menempatkan pasukannya di
Filipina, Malaysia, dan Indonesia guna memerangi terorisme yang berkaitan
dengan jaringan Al-Qaeda di Asia Tenggara. Namun, ketiga negara ASEAN itu
menolak dengan alasan, antara lain, konstitusi melarang, tidak sesuai kebijakan
negara bersangkutan, dan mengganggu kedaulatan suatu negara. Penolakan ASEAN
dinilai mampu menciptakan pengertian tentang pentingnya integritas nasional,
stabilitas politik, dan pertahanan keamanan ke dalam lingkungan regional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar