Berbicara
mengenai kontribusi Indonesia bagi ASEAN, dapat dipahami bahwa Indonesia
merupakan salah satu negara yang memprakarsai terbentuknya organisasi
internasional tersebut. Diwakili oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
saat itu, Adam Malik, bersama dengan keempat menteri luar negeri dari Malaysia,
Singapura, Thailand, dan Filipina, mendeklarasikan terciptanya ASEAN yang
tertuang dalam Dekalrasi ASEAN. Penandatanganan deklarasi tersebut menjadi hari
lahir dari ASEAN pada 8 Agustus 1967 di gedung utama Departemen Luar Negeri
Thailand di Bangkok. Sebagai salah satu pencetus ASEAN, Indonesia tentunya
memiliki banyak kontribusi terhadapnya. Pada saat itu, Adam Malik dalam
pidatonya mengatakan bahwa Indonesia memiliki pandangan terhadap ASEAN yaitu “a region which can stand on its own feet,
strong enough to defend itself against any negative influence from outside
region.”. Dari pendangan tersebut dapat dilihat bahwa
Indonesia memiliki keinginan agar Asia Tenggara ini dapat hidup secara mandiri
tanpa ketergantungan dari negara lain, dan dapat bertahan dari segala pengaruh
dari pihak asing. Sebagai wakil Indonesia, ia berharap dengan adanya ASEAN,
negara – negara Asia Tenggara akan dapat bekerja sama secara efektif, mengingat
wilayah Asia Tenggara ini memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang melimpah. Meskipun negara – negara Asia Tenggara ini memiliki banyak
perbedaan, namun perbedaan tersebut dapat diatasi dengan pemahaman dan niat
baik dari antar negara.
Erlina Widyaningsih
dan Chrisopher Roberts menyebutkan bahwa Indonesia sudah sejak lama
dipahami sebagai natural born leader,
atau setidaknya menjadi negara pertama yang berpengaruh dalam ASEAN. Dengan
berakhirnya konfrontasi dengan Malaysia dan adanya keinginan untuk membentuk
ASEAN, Indonesia seolah mendapat tempat yang krusial dari negara – negara Asia
Tenggara pada waktu itu, sesuai dengan kebijakan Presiden Soeharto yang ingin
menciptakan kerja sama yang baik antar negara dalam kawasan Asia Tenggara. Dewi
Fortuna Anwar mengatakan bahwa dengan adanya keinginan Indonesia untuk
membentuk ASEAN, hal tersebut menandai adanya keinginan untuk menahan diri dan
membatasi hegemoni Indonesia di kawasan Asia Tenggara sehingga Indonesia malah
menerima respek dan pengakuan dari negara – negara Asia Tenggara.
Lebih lanjut,
Widyaningsih dan Roberts secara umum
membagi peran Indonesia dalam sektor politik dan keamanan dalam tiga bagian. Bagian yang
pertama adalah peran Indonesia sebagai pihak yang menangani krisis dan sebagai
mediator dari konflik. Indonesia memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup
besar untuk mengambil peran dalam setiap konflik dan krisis yang dapat
mengancam stabilitas kawasan. Sebagai contoh, saat konflik antara Malaysia dan
Filipina pecah pada tahun 1968 yang dikarenakan Malaysia menganggap Filipina
mendanai gerakan separatisme di Sabah, Presiden Soeharto kemudian mengajukan
proposal dalam ASEAN Ministerial Meeting akan
adanya periode cooling-off diantara kedua negara yanbg berselisih. Sejak menjadi negara baru yang
demokrasi, Indonesia meningkatkan intensitasnya untuk iikut mengatasi krisis di
sektor kemanusiaan. Sebagai contoh, disaat Myanmar junta memblokir bantuan asing
yang diberikan untuk korban Badai Nargis pada 2008, Menteri Luar Negeri
Indonesia berhasil menegosiasikan hal tersebut dengan Menteri Luar Negeri
Myanmar yang mengatakan bahwa bantuan tersebut sudah menjadi tanggung jawab
dari ASEAN untuk membantu sesama. Contoh lain dapat diambil ketika Indonesia
menjadi mediator dari konflik antara Thaiiland dan Kamboja mengenai sengketa
kuil Preah Vihear pada 2011. Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia
pada saat itu, mengunjungi dan berdiplomasi dengan kedua negara. Indonesia
kemudian mengadakan ASEAN Informal
Foreign Ministerial Meeting di Jakarta pada 22 Februari 2011 demi
menyelesaikan kasus tersebut yang menghasilkan bahwa kedua negara setuju
militer dan observer dari Indonesia masuk untuk mengamati perkembangan kasus
tersbut di perbatasan kedua negara.
Peran yang kedua
dari Indonesia adalah pembentukan dan pengembangan norma dan institusi ASEAN. Dapat dibuktikan dengan pembentukan Treaty of Amity and Cooperation (TAC)
dan Perjanjian Bali I oleh Indonesia. Menurut dokumen perjanjian tersebut,
ASEAN harus berkomitmen untuk terciptanya tatanan regional dimana anggotanya
membagi harapan akan terciptanya perdamaian dan tidak menggunakan kekerasan
sebagai pemecahan masalah dengan tujuan terciptanya ASEAN Security Community. Pada Perjanjian Bali II pada 2003
terlahir sebuah tujuan untuk membentuk sebuah masyarakat ekonomi dan masyarakat
sosio-kultural dari negara – negara ASEAN. Lalu dengan lahirnya ASEAN Charter
pada 2007 membawa dampak signifikan yang membuat ASEAN memiliki status hukum
yang mengikat dari anggota ASEAN. Pada 2009, Indonesia mengusulkan dibentuknya
sebuah badan hukum yang menangani masalah hak asasi manusia yang disebut dengan
ASEAN Intergovernmental Commission on
Human Rights (AICHR) yang kemudian akan dibentuk diantara 2012 – 2015 yang
juga menjadi salah satu tujuan dari ASEAN Charter.
Peran ketiga
yang disebutkan oleh Widyaningsih dan Roberts adalah implikasi dari
ASEAN terhadap perkembangan kekuatan Indonesia. Terdapat usulan mengenai
pelebaran wilayah dari ASEAN hingga mencakup wilayah Indo-Pasifik. Dengan
adanya usulan untuk perjanjian Indo-Pasifik tersebut dimaksudkan untuk menjaga sentralitas
ASEAN dengan memperluas dan mengkonsolidasikan norma Asosiasi mengenai
penyelesaian sengketa secara damai dan tidak menggunakan kekuatan di wilayah Indo-Pasifik yang lebih
luas. Hal tersebut selaras dengan pandangan Natalegawa bahwa dengan memperluas regional architecture akan melibatkan
hubungan yang komprehensif dari negara dengan kekuatan kuat dan menengah untuk
aktif dalam sektor keamanan, politik, lngkungan, ekonomi, dan sosial-budaya.
Selain itu, kepemimpinan Indonesia juga menjadi vital dalam pembentukan
Konferensi Asia Timur dan ASEAN yang juga termasuk Australia, New Zealand,
Amerika Serikat dan Rusia. Munculnya pengaruh di Indonesia di luar batas
wilayah Asia Tenggara telah menyebabkan beberapa analis untuk menggambarkan itu
sebagai negara poros yang memiliki satu 'ketahanan' dan 'fleksibilitas' untuk
memposisikan dirinya untuk beradaptasi dengan pergeseran kebutuhan strategis,
yaitu, 'fleksibilitas untuk poros antara mitra potensial’. Peran Indonesia
sebagai “arsitek” yang menggagaskan ide – ide membuat ASEAN menjadi sebuah
organisasi yang dinamis sehingga dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dalam
permasalahan, baik intra-regional maupun extra-regional.