Kontrak secara
umum menggam-barkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang
memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya de-ngan konsekuensi adanya
tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Tindakan untuk membuat kontrak tersebut
secara umum dilakukan berdasarkan tingkat pengamatan yang berbeda, pada titik
waktu yang tidak sama, dan juga berdasarkan derajat timbal balik yang
berlainan. Bahkan hubungan kontrak itu
sendiri mempunyai perbedaan terhadap kesinambungannya. Untuk alasan ini, pelaku-pelaku dalam kontrak
tersebut memiliki derajat insentif kesukarelaan alami yang berbeda untuk
menyetujui isi atas kontrak yang dibuat
(Dixit, 1996:48; dalam Yustika, 2006:64). Institusi dari kontrak tersebar luas. Kontrak digunakan dalam beragam situasi, dari
batas sederhana hingga pertukaran kompleks semisal peminjaman dan kon-trak
ketenagakerjaan. Sebuah kontrak ada-lah
suatu relasi antara dua atau lebih pihak yang melibatkan pelaksanaan kewajiban
secara legal di antara mereka. Kontrak
dihasilkan dari kesepakatan antara pihak-pihak untuk bertukar janji atau performa,
cotohnya satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu (atau tidak
melakukannya), atau memberikan sesuatu (atau tidak memberikannya) kepada pihak
lain (Kinsella, 2003:12).
Menurut Ritcher,
konsep kontrak sebetulnya berkaitan dengan konsep mengenai hak kepemilikan
(property rights) yang dalam banyak hal lebih luas diban-ding dengan konsep
hukum tentang kon-trak. Asumsi dasarnya,
masing-masing jenis dari pertukaran hak kepemilikan dapat dimodelkan sebagai
transaksi yang mengatur kontrak tersebut (Birner, 1999:48; dalam Yustika,
2006:65). Bickenbach, dkk., (1993:3-4;
dalam Yustika, 2006:65) berar-gumentasi bahwa meski menurut teori standar
(neoklasik), kontrak biasanya dia-sumsikan dalam kondisi lengkap (complete
contract) yang dapat dibuat dan ditegakkan tanpa biaya (costlessly). Namun dalam re-alitasnya, untuk membuat dan
menegakkan kontrak yang komplet sangatlah sulit (untuk tidak mengatakan
mustahil) karena adanya biaya transaksi.
Secara umum tidaklah mungkin untuk menghitung selu-ruh potensi ketidakpastian
dalam membuat kontrak. Salah satu jalan
yang mung-kin hanyalah mencoba memodelkan persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan informasi yang terbatas, untuk kemudian menjadikan hal
itu sebagai bahan untuk membuat kontrak yang menyeluruh (com-prehensive
contract). Mungkin saja suatu kontrak
dibuat dengan syarat hanya men-cakup hal-hal yang dapat diamati oleh
masing-masing pelaku (parties) sehingga jika terjadi sesuatu (misalnya
penyim-pangan atau penipuan) dapat diselesaikan oleh pihak ketiga (seperti
pengadilan). Tetapi Klein (1980:356-358;
dalam Yustika, 2006:65-66) memiliki penjelasan mengapa kontrak selalu tidak
lengkap. Pertama, adanya ketidakpastian
(unce-rtainty) menyebabkan terbukanya peluang yang cukup besar bagi munculnya
conti-ngencies sehingga hal itu berimplikasi kepada munculnya biaya untuk
menge-tahui dan mengidentifikasi dalam rangka merespon seluruh kemungkinan
ketidak-pastian tersebut. Kedua, kinerja
kontrak khusus (particular contractual performance), misalnya menentukan jumlah
energi yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan yang rumit (complex
task), mung-kin membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan pengukuran. Oleh ka-rena itu, adanya pelanggaran kontrak
seringkali menyulitkan pihak ketiga (pengadilan) untuk memberikan bukti
se-bagai dasar keputusan. Hampir seluruh
kesepakatan kontrak yang aktual berisi kombinasi eksplisit dan implisit dari
meka-nisme penegakan. Beberapa elemen dari
kinerja dispesifikasi dan dipaksakan oleh pihak ketiga. Sebagai tambahan, biaya kontrak, mengandaikan
adanya ketidak-lengkapan dari kontrak yang eksplisit, membutuhkan kehadiran
‘biaya sewa semu’ (quasi rent) yang dapat digunakan bagi perusahaan/korporasi
untuk mela-kukan investasi.
Secara fundamental, kontrak dapat disusun sebagai
suatu bentuk dari pan-duan perilaku secara institusional yang dibuat untuk
mengurangi kompeksitas dari perubahan sosial (Vincent-Jones, 2006:4). Menurut Williamson (1979:236), sistem apapun
terkait hukum kontrak memiliki tujuan untuk memfasilitasi pe-rubahan. Hadirnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua diharapkan akan menjadi fasilitas bagi perubahan
menuju kondisi yang lebih baik bagi masyarakat Papua. Oleh karena itu pelaksanaan aturan main yang
benar dalam pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Papua menjadi keharusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar