Kamis, 09 April 2015

Teori Kontrak



Kontrak secara umum menggam-barkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya de-ngan konsekuensi adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran.  Tindakan untuk membuat kontrak tersebut secara umum dilakukan berdasarkan tingkat pengamatan yang berbeda, pada titik waktu yang tidak sama, dan juga berdasarkan derajat timbal balik yang berlainan.  Bahkan hubungan kontrak itu sendiri mempunyai perbedaan terhadap kesinambungannya.  Untuk alasan ini, pelaku-pelaku dalam kontrak tersebut memiliki derajat insentif kesukarelaan alami yang berbeda untuk menyetujui isi atas kontrak yang dibuat  (Dixit, 1996:48; dalam Yustika, 2006:64).  Institusi dari kontrak tersebar luas.  Kontrak digunakan dalam beragam situasi, dari batas sederhana hingga pertukaran kompleks semisal peminjaman dan kon-trak ketenagakerjaan.  Sebuah kontrak ada-lah suatu relasi antara dua atau lebih pihak yang melibatkan pelaksanaan kewajiban secara legal di antara mereka.  Kontrak dihasilkan dari kesepakatan antara pihak-pihak untuk bertukar janji atau performa, cotohnya satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu (atau tidak melakukannya), atau memberikan sesuatu (atau tidak memberikannya) kepada pihak lain (Kinsella, 2003:12).
Menurut Ritcher, konsep kontrak sebetulnya berkaitan dengan konsep mengenai hak kepemilikan (property rights) yang dalam banyak hal lebih luas diban-ding dengan konsep hukum tentang kon-trak.  Asumsi dasarnya, masing-masing jenis dari pertukaran hak kepemilikan dapat dimodelkan sebagai transaksi yang mengatur kontrak tersebut (Birner, 1999:48; dalam Yustika, 2006:65).  Bickenbach, dkk., (1993:3-4; dalam Yustika, 2006:65) berar-gumentasi bahwa meski menurut teori standar (neoklasik), kontrak biasanya dia-sumsikan dalam kondisi lengkap (complete contract) yang dapat dibuat dan ditegakkan tanpa biaya (costlessly).  Namun dalam re-alitasnya, untuk membuat dan menegakkan kontrak yang komplet sangatlah sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) karena adanya biaya transaksi.  Secara umum tidaklah mungkin untuk menghitung selu-ruh potensi ketidakpastian dalam membuat kontrak.  Salah satu jalan yang mung-kin hanyalah mencoba memodelkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan informasi yang terbatas, untuk kemudian menjadikan hal itu sebagai bahan untuk membuat kontrak yang menyeluruh (com-prehensive contract).  Mungkin saja suatu kontrak dibuat dengan syarat hanya men-cakup hal-hal yang dapat diamati oleh masing-masing pelaku (parties) sehingga jika terjadi sesuatu (misalnya penyim-pangan atau penipuan) dapat diselesaikan oleh pihak ketiga (seperti pengadilan).  Tetapi Klein (1980:356-358; dalam Yustika, 2006:65-66) memiliki penjelasan mengapa kontrak selalu tidak lengkap.  Pertama, adanya ketidakpastian (unce-rtainty) menyebabkan terbukanya peluang yang cukup besar bagi munculnya conti-ngencies sehingga hal itu berimplikasi kepada munculnya biaya untuk menge-tahui dan mengidentifikasi dalam rangka merespon seluruh kemungkinan ketidak-pastian tersebut.  Kedua, kinerja kontrak khusus (particular contractual performance), misalnya menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan yang rumit (complex task), mung-kin membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan pengukuran.  Oleh ka-rena itu, adanya pelanggaran kontrak seringkali menyulitkan pihak ketiga (pengadilan) untuk memberikan bukti se-bagai dasar keputusan.  Hampir seluruh kesepakatan kontrak yang aktual berisi kombinasi eksplisit dan implisit dari meka-nisme penegakan.  Beberapa elemen dari kinerja dispesifikasi dan dipaksakan oleh pihak ketiga.  Sebagai tambahan, biaya kontrak, mengandaikan adanya ketidak-lengkapan dari kontrak yang eksplisit, membutuhkan kehadiran ‘biaya sewa semu’ (quasi rent) yang dapat digunakan bagi perusahaan/korporasi untuk mela-kukan investasi.
 Secara fundamental, kontrak dapat disusun sebagai suatu bentuk dari pan-duan perilaku secara institusional yang dibuat untuk mengurangi kompeksitas dari perubahan sosial (Vincent-Jones, 2006:4).  Menurut Williamson (1979:236), sistem apapun terkait hukum kontrak memiliki tujuan untuk memfasilitasi pe-rubahan.  Hadirnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua diharapkan akan menjadi fasilitas bagi perubahan menuju kondisi yang lebih baik bagi masyarakat Papua.  Oleh karena itu pelaksanaan aturan main yang benar dalam pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Papua menjadi keharusan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar