Bangsa ini
memiliki sejarah panjang mengenai keberadaan dan perjuangan serikat
buruh. Serikat buruh adalah wadah organisasi bagi buruh/pekerja dalam satu
tempat kerja, kawasan industri, lingkungan tempat tinggal, kota atau nasional
yang menjadi alat kaum buruh untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai
buruh/pekerja.
Catatan sejarah menyebutkan bahwa organisasi-organisasi buruh
Indonesia, terutama berakar pada sektor transportasi dan perkebunan, memerankan
bagian penting dalam serangkaian babak perjuangan kemerdekaan negeri yang penuh
kekerasan (Tedjasukmana, I958; Ingleson, 1986; Shiraishi, 1990). Serikat buruh
berkembang seiring maraknya pembukaan perkebunan di Nusantara terutama sejak
tanam paksa diberlakukan (1830-1870). Buruh di awal abad ke-20 yang cukup
menonjol peranannya adalah Vereeniging von Spoor en Tramweg/VSTP tahun 1908 dan
Personeel Fabriek Bond/PFB (1917) meski VSTP dilahirkan oleh orang kulit putih
anggota mereka didominasi oleh kaum pribumi, bahkan seorang pimpinannya Semaun,
menjadi salah satu tokoh penting nasional ketika Indonesia merdeka. Tercatat,
sampai tahun 1923, ada 13.000 orang yang terdaftar sebagai anggota VSTP (Edy Cahyono: Gerakan Serikat
Buruh dari Masa ke Masa: Kolonial Hindia Belanda sampai Orde Baru)
Masa emas gerakan
serikat buruh di Indonesia terjadi pada periode 1950-1960 tercatat ada dua
serikat buruh yang berpengaruh, Pertama, Sentral Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berdiri tahun 1946. Organisasi ini
merupakan serikat buruh terkuat di zamannya dengan jumlah anggota 2,5 juta
orang. SOBSI sangat berpengaruh, misalnya, dalam nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di akhir 1950an. Kedua, Sarekat Buruh
Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI), berdiri tahun 1947. Kedua serikat
buruh ini menjadi kekuatan politik nasional selain partai politik (parpol)
seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
Masyumi. Namun, di tahun 1973, dibentuklah Federasi Buruh Seluruh Indonesia
(FBSI) yang diketuai Agus Sudono. Dan berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI), di tahun 1985. SPSI tidak berfungsi sebagai serikat buruh
yang sesungguhnya karena ia justru digunakan untuk meredam perlawanan
buruh.
Perbedaan bentuk institusi yang muncul di setiap periode
pemerintahan orde lama (1945-1965), Orde Baru (1965-1998), dan pasca Orde Baru
(1998 –sekarang) muncul mewakili
perubahan logika dan akomodasi sementara antara kepentingan kelompok sepanjang
waktu yang berbeda. Pada tahap awal masa Orde Lama (1945-1957) kebebasan tenaga
kerja untuk membentuk serikat kerja memang sangat diapresiasi oleh pemerintah dikarenakan
tujuan pemerintah yang ingin membuat iklim demokrasi dalam bernegara. Masuknya
Indonesia kedalam ILO (International Labor Organization) semakin memberikan
kesempatan bagi pengembangan buruh beserta kedudukan organisasinya. Disisi lain
diberinya ruang serikat pekerja, juga merupakan tujuan negara saat itu guna
memaksimalkan program-program nasionalisai terhadap perusahaan-perusahaan
Belanda. Hal tersebut kemudian berdampak pada pertarungan kepentingan buruh
yang melakukan pemogokan guna memberikan keuntungan bagi partai politiknya
seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang berafiliasi
dengan PKI yang kemudian menjatuhkan kabinet Natsir, KBKI (Kesatuan Buruh
Kerakyatan Indonesia) yang menuntut kenaikan upah dengan setengah hari, apabila
pengusaha tersebut memberikan sumbangan kepada PNI dan SARBUMUSI (Serikat Buruh
Muslimin Indonesia).
Strategi gerakan buruh pada era
Orde Lama semakin didasari kepentingan sektarian, fragmentasi, dan diwarnai,
pertentangan di antara halaun Komunis dan Non-Komunis, sehingga beberapa
pemimpin buruh pada tahun 1950-an dan 1960-an mengatakan bahwa “The
aim of improving the welfare workers often took second place to wider political
objective that were set by political parties”(Mufti, Muslim. 2013: 188).
pada masa akhir Orde Lama (1957-1965), Soekarno merubah sistem
pemerintahan yang bercorak Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin
yang juga dibarengi dengan peningkatan kontrol atas hubungan kerja.
Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958 tentang status perubahan perusahaan asing
yang telah dinasionalisasi menjadi BUMN, membuat adanya konrol terhadap
organisasi dengan dibentuknya BKS-BUMIL (Badan Koordinasi Buruh dan
Militer) (Djumadi. 2005:25). Undang-Undang Darurat Nomor 7 yang disahkan
pada tahun 1963, melarang pemogokan di industri vital (Uwiyono. 2001). Sejak
saat itu jumlah pemogokan dan pekerja yang terlibat terus-menurus menurun
sepanjang waktu, dengan beberapa penyimpangan kecil pada tahun-tahun tertentu,
dan mencapai nol pada tahun 1962.
Orde Baru sangat mengkontrol ketat kebebasan buruh. Hal tersebut
terkait dengan kebijakan pemerintah yang melakukan pembangunan dengan menjamin
adanya stabilitas nasional, artinya, pemerintah tidak menghendaki adanya
gangguan seperti pemogokan kerja dan protes buruh seperti yang dilakukan pada
masa Orde Lama. Pengawasan gerakan buruh serta sifat kooporatis pemerintah
kemudian terwujud dari berdirinya FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) FBSI
yang awalanya organisasi liberationist berubah menjadi SPSI (Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia) yang berbentuk unitaris (dengan 10
departemen) dan budaya dropping (mengangkat orang yang dekat dengan
rezim sebagai pimpinan SPSI) (Mufti, Muslim. 2013: 191).
Serikat buruh independen dan kelompok-kelompok advokasi banyak
bermunculan di era tahun 1990-an dan kemudian menjamur di bawah rejim pasca
Orde Baru atau reformasi di mana pembatasan politik hampir tidak terjadi
terhadap organisasi buruh. Studi Dan La Botz muncul dalam waktu yang tepat
dalam memberikan sumbangan bagi perdebatan issu perburuhan pasca-Soeharto,
dengan banyak bermunculannya organisasi buruh, dan berbagai halangan yang harus
dihadapi organisasi-organisasi tersebut dalam memperjuangkan kepentingan buruh.
Pendekatan yang dilakukan La Botz menyangkut tiga hal: pertama, ia
mempersonifikasi perjuangan dengan memberikan cita rasanya lewat perhatiannya
pada sejumlah aktor; kedua, memahami bahwa pengorganisasian yang harus
dilakukan untuk menurunkan seorang diktator tidaklah terjadi dalam satu malam
saja; dan ketiga, memberikan cita rasa pada issu mengenai kesulitan yang
dihadapi para aktivis dalam upaya mereka untuk membangun organisasi buruh yang
sejati. Terlepas dari berbagai situasi yang telah dikemukakan bekaitan dengan
serikat buruh di Indonesia, tidak dapat ditampik bahwa posisi kaum buruh yang
telah bekembang selama ini telah memberikan kontribusi yang sangat besar
sebagai bagian bangsa Indonesia, baik sebagai warga negara maupun sebagai
tulang punggung ekonomi bangsa. Sehingga, kesejahteraannya sudah selayaknya di
perhatikan secara serius oleh pemerintah. gerakan buruh berhasil memperjuangkan
nasibnya melalui jalan parlementer, dengan lahirnya sejumlah undang-undang
menyangkut peningkatan hak-hak asasi manusia dan standar ketenanagakerjaan
melalui UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan yang memberikan hak
kepada serikat buruh untuk berunding secara kolektif (collective Bargaining).
Hal tersebut menunjukan bahwa kehadiran dan perjuangan serikat buruh dinilai
sebagai salah satu aktor penting sebagai upaya menciptakan kesejahteraan buruh
di Indonesia.
Salah satu teori
yang akan membantu untuk menjelaskan bagaimana buruh dalam politik adalah teori
strukturasi. Pendekatan teori yang diajukan oleh Anthony Giddens dalam The
Class Structure of Advanced Societies(1975). Teori strukturasi mengulas
tentang agen struktur. Dalam teori ini ada pengaruh Marxian dan melihat The
Constitution of Society sebagai cerminan dictum integratif yang
melekat dalam pemikiran Marx terutama teori-teori yang menunjukkan kelemahan
liberalisme dan kapitalisme yang merugikan kaum buruh. Revisi terhadap UU
Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang dianggap merugikan mereka apalagi di
tengah situasi sulit seperti sekarang,
tindakan dan makna disesuaikan dengan keunggulan pada penjelasan
perilaku manusia, Namun bagi fungsionalisme dan strukturalisme,
struktur memiliki keunggulan dibandingkan tindakan dan kualitas-kualitas
pembatas struktur benar-benar diberi penekanan. Jadi, Giddens menjelaskan
masalah agen-struktur secara historis, processual, dan dinamis. Giddens
menekankan peran onterpretasi dan sistem makna dalam hidup manusia. Manusia
adalah subjek dan pelaku sebagai dualitas yang saling mendukung. Manusia adalah
subjek yang aktif dan kreatif.
sumber:M. Helmy
Adi Reza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar