Minggu, 10 Mei 2015

Dinamika Buruh di Indonesia dari Masa ke Masa



Bangsa ini memiliki sejarah panjang mengenai keberadaan dan perjuangan serikat buruh. Serikat buruh adalah wadah organisasi bagi buruh/pekerja dalam satu tempat kerja, kawasan industri, lingkungan tempat tinggal, kota atau nasional yang menjadi alat kaum buruh untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh/pekerja.
Catatan sejarah menyebutkan bahwa organisasi-organisasi buruh Indonesia, terutama berakar pada sektor transportasi dan perkebunan, memerankan bagian penting dalam serangkaian babak perjuangan kemerdekaan negeri yang penuh kekerasan (Tedjasukmana, I958; Ingleson, 1986; Shiraishi, 1990). Serikat buruh berkembang seiring maraknya pembukaan perkebunan di Nusantara terutama sejak tanam paksa diberlakukan (1830-1870). Buruh di awal abad ke-20 yang cukup menonjol peranannya adalah Vereeniging von Spoor en Tramweg/VSTP tahun 1908 dan Personeel Fabriek Bond/PFB (1917) meski VSTP dilahirkan oleh orang kulit putih anggota mereka didominasi oleh kaum pribumi, bahkan seorang pimpinannya Semaun, menjadi salah satu tokoh penting nasional ketika Indonesia merdeka. Tercatat, sampai tahun 1923, ada 13.000 orang yang terdaftar sebagai anggota VSTP (Edy Cahyono: Gerakan Serikat Buruh dari Masa ke Masa: Kolonial Hindia Belanda sampai Orde Baru)
Masa emas gerakan serikat buruh di Indonesia terjadi pada periode 1950-1960 tercatat ada dua serikat buruh yang berpengaruh, Pertama, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berdiri tahun 1946. Organisasi ini merupakan serikat buruh terkuat di zamannya dengan jumlah anggota 2,5 juta orang. SOBSI sangat berpengaruh, misalnya, dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di akhir 1950an. Kedua, Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI), berdiri tahun 1947. Kedua serikat buruh ini menjadi kekuatan politik nasional selain partai politik (parpol) seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Masyumi. Namun, di tahun 1973, dibentuklah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang diketuai Agus Sudono. Dan berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), di tahun 1985. SPSI tidak berfungsi sebagai serikat buruh yang sesungguhnya karena ia justru digunakan untuk meredam perlawanan buruh.

 Perbedaan bentuk institusi yang muncul di setiap periode pemerintahan orde lama (1945-1965), Orde Baru (1965-1998), dan pasca Orde Baru (1998 –sekarang) muncul  mewakili perubahan logika dan akomodasi sementara antara kepentingan kelompok sepanjang waktu yang berbeda. Pada tahap awal masa Orde Lama (1945-1957) kebebasan tenaga kerja untuk membentuk serikat kerja memang sangat diapresiasi oleh pemerintah dikarenakan tujuan pemerintah yang ingin membuat iklim demokrasi dalam bernegara. Masuknya Indonesia kedalam ILO (International Labor Organization) semakin memberikan kesempatan bagi pengembangan buruh beserta kedudukan organisasinya. Disisi lain diberinya ruang serikat pekerja, juga merupakan tujuan negara saat itu guna memaksimalkan program-program nasionalisai terhadap perusahaan-perusahaan Belanda. Hal tersebut kemudian berdampak pada pertarungan kepentingan buruh yang melakukan pemogokan guna memberikan keuntungan bagi partai politiknya seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang berafiliasi dengan PKI yang kemudian menjatuhkan kabinet Natsir, KBKI (Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia) yang menuntut kenaikan upah dengan setengah hari, apabila pengusaha tersebut memberikan sumbangan kepada PNI dan SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslimin Indonesia).
 Strategi gerakan buruh pada era Orde Lama semakin didasari kepentingan sektarian, fragmentasi, dan diwarnai, pertentangan di antara halaun Komunis dan Non-Komunis, sehingga beberapa pemimpin buruh pada tahun 1950-an dan 1960-an mengatakan bahwa “The aim of improving the welfare workers often took second place to wider political objective that were set by political parties”(Mufti, Muslim. 2013: 188).  pada masa akhir Orde Lama (1957-1965), Soekarno merubah sistem pemerintahan yang bercorak Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin yang juga dibarengi dengan peningkatan kontrol atas hubungan kerja. Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958 tentang status perubahan perusahaan asing yang telah dinasionalisasi menjadi BUMN, membuat adanya konrol terhadap organisasi dengan dibentuknya BKS-BUMIL (Badan Koordinasi Buruh dan Militer)  (Djumadi. 2005:25). Undang-Undang Darurat Nomor 7 yang disahkan pada tahun 1963, melarang pemogokan di industri vital (Uwiyono. 2001). Sejak saat itu jumlah pemogokan dan pekerja yang terlibat terus-menurus menurun sepanjang waktu, dengan beberapa penyimpangan kecil pada tahun-tahun tertentu, dan mencapai nol pada tahun 1962.
Orde Baru sangat mengkontrol ketat kebebasan buruh. Hal tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah yang melakukan pembangunan dengan menjamin adanya stabilitas nasional, artinya, pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan seperti pemogokan kerja dan protes buruh seperti yang dilakukan pada masa Orde Lama. Pengawasan gerakan buruh serta sifat kooporatis pemerintah kemudian terwujud dari berdirinya FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) FBSI yang awalanya organisasi liberationist berubah menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang berbentuk unitaris (dengan 10 departemen) dan budaya dropping (mengangkat orang yang dekat dengan rezim sebagai pimpinan SPSI) (Mufti, Muslim. 2013: 191).
Serikat buruh independen dan kelompok-kelompok advokasi banyak bermunculan di era tahun 1990-an dan kemudian menjamur di bawah rejim pasca Orde Baru atau reformasi di mana pembatasan politik hampir tidak terjadi terhadap organisasi buruh. Studi Dan La Botz muncul dalam waktu yang tepat dalam memberikan sumbangan bagi perdebatan issu perburuhan pasca-Soeharto, dengan banyak bermunculannya organisasi buruh, dan berbagai halangan yang harus dihadapi organisasi-organisasi tersebut dalam memperjuangkan kepentingan buruh. Pendekatan yang dilakukan La Botz menyangkut tiga hal: pertama, ia mempersonifikasi perjuangan dengan memberikan cita rasanya lewat perhatiannya pada sejumlah aktor; kedua, memahami bahwa pengorganisasian yang harus dilakukan untuk menurunkan seorang diktator tidaklah terjadi dalam satu malam saja; dan ketiga, memberikan cita rasa pada issu mengenai kesulitan yang dihadapi para aktivis dalam upaya mereka untuk membangun organisasi buruh yang sejati. Terlepas dari berbagai situasi yang telah dikemukakan bekaitan dengan serikat buruh di Indonesia, tidak dapat ditampik bahwa posisi kaum buruh yang telah bekembang selama ini telah memberikan kontribusi yang sangat besar sebagai bagian bangsa Indonesia, baik sebagai warga negara maupun sebagai tulang punggung ekonomi bangsa. Sehingga, kesejahteraannya sudah selayaknya di perhatikan secara serius oleh pemerintah. gerakan buruh berhasil memperjuangkan nasibnya melalui jalan parlementer, dengan lahirnya sejumlah undang-undang menyangkut peningkatan hak-hak asasi manusia dan standar ketenanagakerjaan melalui UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan yang memberikan hak kepada serikat buruh untuk berunding secara kolektif (collective Bargaining). Hal tersebut menunjukan bahwa kehadiran dan perjuangan serikat buruh dinilai sebagai salah satu aktor penting sebagai upaya menciptakan kesejahteraan buruh di Indonesia.
Salah satu teori yang akan membantu untuk menjelaskan bagaimana buruh dalam politik adalah teori strukturasi. Pendekatan teori yang diajukan oleh Anthony Giddens dalam The Class Structure of Advanced Societies(1975). Teori strukturasi mengulas tentang agen struktur. Dalam teori ini ada pengaruh Marxian dan melihat The Constitution of Society sebagai cerminan dictum integratif yang melekat dalam pemikiran Marx terutama teori-teori yang menunjukkan kelemahan liberalisme dan kapitalisme yang merugikan kaum buruh. Revisi terhadap UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang dianggap merugikan mereka apalagi di tengah situasi sulit seperti sekarang,  tindakan dan makna disesuaikan dengan keunggulan pada penjelasan perilaku manusia, Namun bagi fungsionalisme dan strukturalisme, struktur memiliki keunggulan dibandingkan tindakan dan kualitas-kualitas pembatas struktur benar-benar diberi penekanan. Jadi, Giddens menjelaskan masalah agen-struktur secara historis, processual, dan dinamis. Giddens menekankan peran onterpretasi dan sistem makna dalam hidup manusia. Manusia adalah subjek dan pelaku sebagai dualitas yang saling mendukung. Manusia adalah subjek yang aktif dan kreatif. 
sumber:M. Helmy Adi Reza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar